Selasa, 11 Februari 2020

Jalan Pandegiling Awal Tahun 2020

Seorang perempuan menyebrang di jalan Pandegiling 


In Surabaya, as throughout Indonesia, the day begins very early. As color creeps into the sky and streetlights fade, the streets begin to came to life. By the time the sun peeps over the over the horizon, around 5 A.M., there is already bustle in the local markets as women arrive on foot or by becak to buy daily needs of vegetables, fruit, eggs, chicken, soybean curd (tahu), and soybean cake (tempe). (Dick, 2002:19)

Dari jembatan Pandegiling, tempat manis menyaksikan matahari terbit, sejumlah perempuan bergantian keluar dari gang Kupang Segunting I, berpakaian santai membawa tas belanja, menyebrang jalan, berjalan kaki menuju pasar pagi di Pandegiling Tengah. Mereka masuk pasar melalui gang Pandegiling Stal dengan mushollah dan warung kopi (warkop) menjadi pintu. 

Surabaya, kota pelabuhan sekaligus kota terbesar kedua di Indonesia, hari dimulai sebelum pukul 06.00. Sebelum ratusan sepeda motor mencuat dari arah barat mendominasi jalan Pandegiling, sebelum polusi udara kembali datang, saya bersama sejumlah warga pria menikmati kopi panas di warkop di mulut gang informal pasar Pandegiling. Rombong kopi bercat biru dengan satu meja dan beberapa kursi panjang di trotoar, berhadapan langsung dengan pertigaan jalan Imam Bonjol dan Pandegiling dengan traffic light yang baru dipasang awal Februari 2020. Sama seperti traffic light di persimpangan lainnya di Surabaya, tidak ada fasilitas pedestrian,a car-centric culture. Perempuan-perempuan yang berjalan kaki keluar dari kampung Grudo dan Kupang Segunting merasa terancam hanya dengan menyebrang melalui zebra cross ke sisi utara jalan Pandegiling. 

Anak-anak sekolah berjalan kaki dan bersepeda kayuh menuju sekolah. Ada sejumlah sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di kampung Grudo, Kupang Segunting, dan Pandegiling. Mereka masuk sekolah pukul 07.00 dan pulang setelah pukul 12.00. Jalan Pandegiling tidak memiliki rambu kawasan sekolah, tidak ada speed-bump di area sekolah, tidak ada zebra cross di depan sekolah atau persimpangan yang dilalui oleh anak-anak.  

Saat saya makan siang di warung nasi mbak Yuyun, terlihat anak-anak sekolah menyebrang tanpa ada perlindungan dari gang Kupang Prajan III ke Tempel Sukorejo IV, sementara kendaraan bermotor terus melaju tidak mau mengalah dengan pejalan kaki. Jalan Pandegiling hanya ada rambu CCTV, dilarang parkir, dilarang berhenti, dilarang berjualan di trotoar, dilarang parkir di trotoar, dan selembar kertas pemberitahuan dari pihak kelurahan untuk tidak berjualan di sepanjang jalan Pandegiling. Kendaraan bermotor yang membahayakan bukan PKL.

Jalan Pandegiling dirancang oleh pemerintah kota Surabaya sebagai salah satu jalur utama dari Surabaya Timur ke Surabaya Barat. Pelebaran jalan di bagian timur sudah selesai dikerjakan di awal tahun 2020, dari 14 meter menjadi 20 meter dengan trotoar selebar 3 meter. Pemasangan lampu jalan, median jalan, trotoar, pohon peneduh, rambu lalu-lintas, dan CCTV dengan fitur face-recognation di sepanjang persimpangan Imam Bonjol hingga Urip Sumoharjo.

Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) sudah berdiri sebelum ada pemasangan zebra cross dan trotoar di jalan Pandegiling. JPO yang seharusnya diruntuhkan karena tidak selaras dengan zebra cross di persimpangan jalan Raya Darmo-Pandegiling, malah tahun 2019 dipercantik dengan lift mewah di kedua sisi tangga, JPO ini menghalangi fasad bangunan hotel Olympic, bangunan penting pasca-kemerdekaan. Memiliki bentuk menyerupai anjungan kapal, hotel ini dibangun tahun 1950-an sebagai salah satu upaya warga kota Surabaya untuk lepas dari pengaruh arsitektur bergaya Belanda. JPO sebagai tanda kita kembali dijajah, penjajahan oleh kendaraan bermotor, menjadikan car centric Surabaya. 

In Surabaya in 2010, construction was to begin on 13 new link roads that would cut through kampungs and market areas, five new malls were under construction, and street stall traders were being dragged away from roadsides and public parks during daily clearance operations (Peters, 2013: 15).

Jalan Pandegiling adalah salah satu jalan dengan kekuatan ekonomi yang signifikan. Memiliki empat pasar; pasar Keputran Selatan, pasar Pandegiling (pagi), pasar Pandegiling (sore), dan pasar Kupang. Masyarakat setempat banyak bergerak di sektor ekonomi informal, seperti warung nasi, warung kopi, tambal ban, toko kelontong, kedai jamu, rumah kost, penjahit, tukang becak, dan depot daur ulang plastik. Ekonomi kerakyatan tidak hanya nyata di sepanjang jalan Pandegiling, juga hadir di gang-gang kampung sekitarnya, 
alley-based informal economy.  

Jalan Pandegiling dan kampung-kampung yang bermuara di jalan tersebut didukung oleh fasilitas umum seperti puskesmas, pos pemadam kebakaran, apotek 24 jam, convenience store 24 jam, kantor polisi, masjid, gereja, dan vihara. Satu hal penting yang belum ada adalah transportasi umum. Ketiadaan transportasi massal di Surabaya adalah penyakit yang bersarang di kota ini sudah puluhan tahun. Bahkan transportasi informal pun enggan beroperasional di jalan Pandegiling, semata-mata becak. Warga terpaksa membeli sepeda motor, bagi yang tidak mampu membeli mobilitasnya dipasung.   

The inflation in transport costs restricted poor people’s movement around the city. Lacking money to pay the higher bus or bemo fares, poor Dinoyo residents lingered along the alleyways or adjacent streets; others walked or rode bicycles to get around the city, and some stakes a claim to patches of street side where the hawked, begged, busked, collected garbage or parked their becaks (Peters, 2013:119).   

Februari 2020, Pemerintah Kota Surabaya kembali “membersihkan” jalan Pandegiling dari rombong-rombong pedagang kaki lima (PKL). Pemerintah menyarankan warga untuk tidak menaruh furnitur atau barang-barang lainnya di trotoar yang baru saja dibangun. Sehari-hari warga kampung Pandegiling dan Keputran Panjunan secara natural menjadikan trotoar sebagai teras rumah dan suatu kesempatan baik untuk mendapatkan uang. 

Street vendors were now deemed to “not exist” and have no rights along the street. Surabaya’s director of administration for markets pointed this out early 2008 for the 1,200 traders along Jl. Pandegiling: “their market does not exist … there is no market building there” (Radar Surabaya, 16 January 2008). This logic of non-existence justified the pamong praja’s destruction of trader stalls (Peters, 2013:191). 

Pelebaran jalan dan urban beautification yang dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya merubah jalan Pandegiling dari tempat untuk menikmati masa, tempat untuk berlama-lama, tempat cangkruk  menjadi tempat yang hanya dilewati saja. Betapa membosankan dan mengerikan jika jalan Pandegiling tidak lagi menjadi tempat berkumpul warga, hanya sebagai jalan kendaraan bermotor.  

Street stalls, itinerant vendors and becaks were disappearing from the city and were now more commonly brought to life on canvas, being conjured from the painter’s memory or photographs (Peters, 2013:184).

Sebagai warga kampung Grudo, saya sangat dibantu oleh PKL. Saya sarapan kopi di warkop, makan siang di warung nasi mbak Yuyun, dan makan malam di rombong nasi di Keputran Panjunan V, makan dan minum di trotoar. Mereka menyediakan makanan dan minuman dengan harga terjangkau. Makan dan minum kopi di sepanjang jalan Pandegiling adalah sehari-hari warga, membuat jalan ini hidup. Bayangan menyedihkan di masa depan warga hanya bisa menyaksikan warung tenda, rombong, dan PKL di museum, dia atas kanvas, melalui foto dan film, atau di acara-acara nostalgia. 

Mobilitas warga dan ekonomi informal sepanjang jalan Pandegiling perlu didukung dengan fasilitas untuk pedestrian dan pedagang kaki lima. Trotoar yang baru selesai dibangun di awal tahun 2020 di sisi utara bagian timur jalan Pandegiling tidak bisa menampung semangat pedagang kaki lima dan mobilitas warga setempat. Trotoar hanya 2-3 meter perlu diperlebar, lajur kendaraan bermotor dikurangi, batas kecepatan kendaraan bermotor dibawah 40KM/jam, dan transportasi massal diadakan. 


REFERENSI
Basundoro, Purnawan. 2013. Merebut Ruang Kota, Aksi Rakyat Miskin kota Surabaya 1900-1960an. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Dick, H.W. 2003. Surabaya City of Work, A Socioeconomic History, 1900-2000. Singapore: NUS Press.
Peters, Robbie. 2013. Surabaya 1945-2010: Neighbourhood, State, and Economy in Indonesia’s City of Struggle. Singapore: NUS Press.  

Kawasan Pandegiling Surabaya Kini Makin Cantik. beritajatim.com. 28 Januari 2020. 10 Februari 2020. 

2 komentar:

  1. Salam kunjungan dari Malaysia. Follow disini ya :)

    BalasHapus
  2. Izin promo ya Admin^^
    bosan tidak ada yang mau di kerjakan, mau di rumah saja suntuk,
    mau keluar tidak tahu mesti kemana, dari pada bingung
    mari bergabung dengan kami di ionqq^^com, permainan yang menarik dan menguras emosi
    ayo ditunggu apa lagi.. segera bergabung ya dengan kami...
    add Whatshapp : +85515373217 ^_~

    BalasHapus