Minggu, 01 Desember 2019

Warung Kopi Keliling Cak Muhari



Hari Jumat bersama warung kopi keliling Cak Muhari di depan bekas toko buku Sahabat Ilmu dan di samping Masjid Serang 

Saat menuju Ampel, pasar dini hari di jalan Songoyudan masih ramai, belum genap jam 6 pagi. Sementara itu jalan KH Mas Mansyur lenggang menyambut matahari. Warga setempat sudah keluar rumah, dominan berpakaian putih atau batik dan sarung menyambut hari penting untuk beribadah sholat Jumat. Hari menjelang akhir pekan bagi buruh dengan upah mingguan, besok bayaran! 

Sebelum matahari terbit, Cak Muhari mendorong rombong kopinya dari depan Polsek Semampir di jalan Danakarya (sekarang jalan Sultan Iskandar Muda) ke jalan KH Mas Mansyur, 30 menit kemudian rombongnya manggon di depan bangunan dua lantai bekas toko buku Sahabat Ilmu, bersebelahan dengan Hotel Kemajuan—tetenger kampung Ampel di Surabaya Utara. 

Sejumlah pria sudah di sana menyambut kedatangan Cak Muhari, siap memulai hari dengan kopi dan silahturahmi. Lapak-lapak pasar kaget mulai bergerak di sepanjang jalan KH Mas Mansyur, menandai hari ini telah dimulai dengan semangat mencari rejeki. Rombong kopi Cak Muhari ditemani penjual minyak yang konon ampuh melawan kolesterol, asam urat, dan stroke. Samping rombong ada penjual batu akik yang sudah siap dengan daftar lagu-lagu dangdut pilihan menemaninya berdagang sepanjang pagi.   

Kompor dinyalakan, air mendidih, Cak Muhari meracik pesanan kopi susu. Satu gelas kecil kopi susu senilai 2000 rupiah diracik dari 1 sendok makan gula pasir, 2 sendok (sangat) kecil kopi robusta giling cap Oto Terbang – racikan pabrik kopi asal Gresik, dan susu kental manis cap Carnation secukupnya. Jika pesan kopi celeng alias kopi hitam, 1 sendok makan gula pasir ditambah 2 sendok kecil kopi robusta, diseduh dengan air mendidih. Bau karamel hasil pertemuan air mendidih dengan gula pasir mendominasi rombong, segera diaduk cepat dengan sendok kecil yang gagangnya panjang. 

Cak Muhari menemukan sendok kecil gagang panjang dengan label buatan Inggris di kampungnya, di pinggir jalan. Dia sempat membuang sendok tersebut, namun tak lama dia jumpa lagi dengan sang sendok, seperti pertanda untuk menyimpan dan menggunakan sendok ini dengan baik. Ada satu sendok wasiat lainnya, sendok makan buatan Inggris, hibah dari pemilik toko buku Sahabat Ilmu, kini menjadi sendok untuk takaran gula. Hibah yang berharga lainnya adalah 4 gelas kecil dari Arab Saudi, satu kata dengan aksara Arab tertera di dasar gelas, tapi sayang kami tidak bisa membacanya. Gelas tersebut hibah dari warga penghuni gang Kalimas Udik 1a, tempat manggon rombong Cak Muhari. 

Cak Muhari selalu menyajikan kopi pesanan saya dengan gelas tersebut. Gelas kecil dengan aksara Arab di dasar gelas membuat minum kopi sambil membayangkan warung kopi (warkop) di Mekah yang sudah ada sejak awal tahun 1500-an.    

Writing in about 1530, Ibn Abd al-Ghaffar notes that, by the beginning of the 1500’s, there were many coffee shops in cities, especially near the Great Mosque in Makkah and the central mosque of Al-Azhar in Cairo.[1]

Pelanggan mulai datang tak berhenti. Seorang pelanggan yang adalah majikan dari toko kitab Sumber Ilmu (tempat kerja anak lelaki dari Cak Muhari) di jalan Panggung, membawa satu tas besar isi nasi bungkus, menunya sego pecel. Hari Jumat adalah hari baik untuk sedekah, nasi bungkus sego pecel menjadi berkat bagi para pelanggan warkop Cak Muhari yang kebanyakan tukang becak, pasukan kuning, buruh pasar, pengemis, pedagang kaki lima (PKL), rakyat kecil! Tentu saja pelanggan dari kelompok pemilik modal di kampung Ampel juga menjadi pelanggan setia warkop keliling ini. 

But al-Jaziri mentions, as if it were something unusual, that the people of Madinah preferred to drink their coffee at home. He describes coffee as having spread rapidly once it left Yemen, first being drunk publicly by the fuqaha, or scholars, teachers and students, but soon adopted by large numbers of people. He also tells us that, although terra-cotta bowls were standard, in the Red Sea port of Jiddah coffee drinkers used porcelain from China.[2]

“Kopi, jajan telu, piro?”, tanya seorang pelanggan.
“Limo ngewu.”, jawab Cak Muhari 

Cak Muhari menyajikan kopi dalam gelas beling dengan tatakan beling dan tutup gelas dari bahan plastik. Ada 3 ukuran kopi, gelas kecil senilai 2000 rupiah, gelas tanggung 3000 rupiah, gelas jumbo 5000 rupiah. Warkop keliling ini juga menyediakan kopi dan teh dibungkus dengan plastik. Selain kopi dan teh panas, juga menyediakan es sirup susu. Gorengan, donat, pisang kepok rebus siap menemani pelanggan minum kopi, semuanya 1000 rupiah, hasil karya beberapa perempuan warga Ampel.  

Ide awal jualan kopi dari mana atau dari siapa?
Direktur Sahabat Ilmu, dia yang kasih saran supaya saya jualan kopi di depan tokonya. Sahabat Ilmu sudah bangkrut, saya tetap jualan di depan bekas tokonya. Saya jualan kopi sejak 1985. Bapak saya sebelumnya hanya jualan es, tapi kalo jualan es pas musim ujan gak laku, jadi saya jualan kopi, laris di segala musim. 

“Ini warkop misbar, hujan datang langsung bubar.”, sahut seorang pelanggan. 
“Ini warkop jahanam, pembelinya setan semua.”, balas Cak Muhari.

Signase toko kitab Sahabat Ilmu hanya tersisa bekas huruf-huruf di dinding atap. Di depan toko tertancap 2 meja besi bercat biru ditemani kursi kayu panjang. Sejumlah pelanggan duduk di kursi tersebut, tapi lebih banyak yang cangkruk jongkok di depan bangunan yang kosong dan berdiri di mengelilingi rombong. Warung tenda Gule Roti Maryam di seberang masih melayani pelanggan terakhir, mereka segera tutup jam 6 pagi, sudah menyajikan gulai kambing kacang hijau sejak tengah malam. Warkop di seberang jalan, di depan gang Kalimas Udik 1c, belum buka tapi para pelanggannya sudah menduduki 2 kursi panjang kayunya. 

Cak, ini rombong ke berapa?
Rombong ke-4. Rombong ke-2 saya lenyap diambil SATPOL PP pertengahan tahun 90-an. Rombong ke-4 ini dibuat di Sedayu, kampung saya di Gresik. Saya kasih warna biru, teduh dan menarik. Rombong sebelumnya warna coklat susu, bagus juga, tapi ini lebih lebar jadi bisa semacam meja untuk para pelanggan.

Beli kopinya di mana?
Toko Tona Makmur di Danakarya, kopi bubuk cap Oto Terbang, 17500 rupiah ukuran 250 gram, lebih murah daripada cap Singa. Saya sempat pakai kopi Singa, tapi harganya terus mundak, saya beralih ke Oto Terbang. 

Kenapa harga secangkir kopi 2000 rupiah? Warkop lainnya 3000 rupiah.
Saya tidak menyediakan meja dan kursi buat pelanggan, itulah kenapa harganya 2000 saja. Kopi susu, kopi hitam, semuanya satu harga, 2000 rupiah gelas kecil. gelas tanggung 3000 rupiah, gelas jumbo 5000 rupiah.  

Cak Muhari turut menjaga keberlangsungan pedagang kaki lima di sekitar jalan KH Mas Mansyur, seperti mengingatkan pelanggan untuk parkir sepeda motor atau berjualan tidak terlalu menjorok ke tengah jalan, supaya tidak diusir SATPOL PP. Para pelanggan pun punya kekwatiran yang sama, warung kopi keliling dan pedagang kaki lima lainnya di sepanjang jalan KH Mas Mansyur terancam SATPOL PP, mengingat pemerintah kota Surabaya dalam satu dekade ini giat merelokasi PKL ke sentra kuliner/PKL yang tentu saja menghilangkan karakter jalan-jalan di kota Surabaya.  

Sudah 4 jam berjalan saya dan beberapa pelanggan yang sama sejak tadi pagi menikmati banyolan yang terus mengalir. Setiap kali ada pelanggan datang, salam dan jabat tangan tercurah. Para pelanggan berdiri menikmati kopi dan gorengan, berjam-jam bertukar cerita dan sambatan mengelilingi rombong. 

“Kerja dari tahun 90, sek gini-gini ae.”, sambat seorang pelanggan. 
“Tapi bojonya wis papat.”, sahut pelanggan lainnya.  

“Mbak, lihat muka-muka ini (menunjuk ke sekelompok buruh pasar yang jongkok sambil minum kopi), mencureng semua mukanya, tapi besok ceria karena wayahe bayaran.”, goda Cak Muhari.

Warkop ini hebat, cuma satu kekurangannya, gak bisa hutang!”, sahut seorang pelanggan. 

Semuanya ada di sini, ini ada yang jago mandiin mayat, sinoman!”, tunjuk Cak Muhari ke seorang pelanggan. 

“Kon gak ngerewangi, ngeriwuki!”, sahut Cak Muhari kepada seorang pelanggan.

“Kalo di Surabaya, Cak Muhari jualan kopi. Kalo di kampung dia jadi maling motor.”, goda seorang pelanggan. 


Saya terkesima dengan kekuatan seorang pria kelahiran 1947 ini, Cak Muhari bekerja hampir sendirian untuk mengelola warkop kelilingnya. Anak lelaki Cak Muhari, Sigit, yang bekerja di toko kitab “Sumber Ilmu” di jalan Panggung, selalu mampir, memastikan sang Ayah baik-baik saja melayani konsumen yang tidak putus-putus. Seorang tukang becak, yang merantau dengan kapal kayu dari Kupang ke Surabaya membantu membeli air isi ulang. Semua pelanggan berharap Cak Muhari sehat selalu dan tidak digusur SATPOL PP.    

Apa pernah jatuh sakit karena berjualan dalam waktu yang cukup panjang tanpa jeda?
Nah itu herannya, alhamdullilah sehat selalu. Tangan saya sempat kena kutu air karena seringnya mencuci gelas, sekarang ganti pakai sabut dari plastik, lebih mudah membersihkan gelas.  

Petugas kebersihan (apa masih disebut sebagai pasukan kuning?) datang tepat mendekati jam 11 siang menyapu jalan KH Mas Mansyur, sampah yang dihasilkan warkop berpindah ke gerobak sampah, muncul rasa lega pergi tanpa sampah. Pelanggan satu per satu meninggalkan Cak Muhari, waktunya untuk sholat Jumat. 

Cak Muhari mendorong rombongnya ke Jalan Panggung, masuk ke gang Kalimas Udik 1a yang memiliki gang penghubung ke jalan Kalimas Udik 1. Gang tempat Cak Muhari manggon menampilkan rumah dua lantai dengan pintu khusus ke lantai dua, rumah khas kampung Ampel yang menampung para pendatang dari Hadramaut di masa lalu. Gang ini juga menampilkan lantai dua  Masjid Serang dengan interior yang didominasi oleh kayu. Masjid Serang adalah hibah dari keluarga India muslim yang menetap di Kampung Margi, gang di seberang selatan masjid. 

Waktunya sholat Jumat, Cak Muhari merapikan gelas-gelas, menutup jajanan, dan sholat di Masjid Taqwa, milik Yayasan KH Mas Mansyur, di gang Kalimas Udik 1b. 

Sembari menunggu sholat Jumat saya melipir ke warung kopi rempah kak Fery di Pabean Kulon V/2, gang sebelah selatan dari Masjid Serang. Menikmati secangkir kopi rempah dan kue lumpur panggang sambil ngobrol dengan pemilik kedai, kak Fery. 

Lewat jam 12 siang, sejumlah pria dewasa berjalan kaki melewati kedai dari arah masjid, tanda sholat Jumat selesai. Saya pamit ke kak Fery dan bergabung dengan kerumunan pelanggan warkop Cak Muhari di gang Kalimas Udik 1a. Saya hitung ada 20 orang dan tentu saja semuanya pria, duduk-duduk santai melepas dahaga di Surabaya yang terik di pertengahan November. Rasanya seperti sebuah kenduri di siang bolong, sangat menyenangkan. 

Menjelang sholat Ashar, Cak Muhari berkemas, siap pulang, tak ada pelanggan lagi memang. 



Surabaya, 30 November 2019
Anitha Silvia

----
Gambar .gif Cak Muhari karya Dimar Utama


[1]Stone, Caroline, “First Social Network@Coffee Houses.midest”,
Saudi Aramco World, May/June 2013 vol 64 no. 3, Texas, USA

[2]Ibid

1 komentar:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
    dengan minimal deposit hanya 20.000 rupiah :)
    Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
    - Telkomsel
    - XL axiata
    - OVO
    - DANA
    segera DAFTAR di WWW.IONPK.CLUB :-*
    add Whatshapp : +85515373217 ^_~

    BalasHapus