Rabu, 13 November 2019

Warung Kopi di Surabaya

Warung kopi di dalam pasar Yamuri, Surabaya 


Meskipun Surabaya memiliki lebih dari seratus taman, warung kopi (warkop) menjadi pilihan klasik warga untuk menikmati hari. Warkop adalah warung yang menempati sebuah ruangan beratap atau dalam bentuk rombong yang menyajikan minuman kopi sebagai menu utama. Warkop mudah dijumpai di Surabaya, di pasar tradisional, di dalam gang, di persimpangan jalan, di mana-mana, jumlahnya ribuan. Warkop memiliki display yang familiar seperti keber dengan tulisan WARKOP, kursi-kursi panjang, dan sekumpulan pria minum kopi sambil merokok, mereka mudah terlihat. 

Karakter utama dari warkop adalah penggunaan gaya tradisional penyajian kopi ala Jawa Timur yaitu kopi tubruk. Satu sendok makan bubuk kopi robusta dalam cangkir diseduh dengan air panas kemudian diaduk cepat, menunggu bubuk kopi turun di dasar cangkir baru diminum. Dengan pasokan biji kopi robusta dari banyak perkebunan kopi di Jawa Timur, Surabaya menjadi ruang pamer kekayaan perkebunan kopi melalui warkop. Pabrik kopi sangrai skala kecil – menengah di Surabaya menjadi penyalur biji kopi sangrai dan bubuk kopi ke warkop dengan merek seperti Jari Besar, Enam Enam, Pantjar Gas. Untuk pabrik skala besar ada cap Singa dan cap Uang Emas yang tidak asing di lidah warga Surabaya.    

Saya diberkahi kesempatan untuk menikmati kopi di warkop (dengan nama yang berbeda: rumah kopi, kedai kopi, toko kopi) dari Sabang sampai Ambon selama 4 tahun terakhir. Warkop di Indonesia (terutama di kota-kota pelabuhan) ini mulai muncul sejak tahun 1930-an sampai akhir 1980-an. Warkop ini tumbuh subur di area kota lama dekat dengan pelabuhan, bersemayam di dalam pasar, menjadi pendukung pergerakan ekonomi-sosial di kota.

Warung kopi tradisional juga masih bertahan di beberapa negara di Asia, seperti kopitiam di Malaysia, Singapura, dan Thailand, kedai mamak di Malaysia, cha chaan teng di Hong Kong, dan kissaten di Jepang. Tidak hanya warung kopi tradisional, ruang ketiga lainnya seperti pojangmacha di Korea dan re-chao di Taiwan juga menjadi andalan kelas pekerja di negara tersebut. 

Dua warkop tertua di Surabaya sudah dikelola dua generasi, warkop ibu Elita dan warkop ibu Maimunah di kawasan Pasar Pabean. Warkop ini berusia sama dengan bangunan baru pasar yang berlanggam art deco, mereka hadir sejak tahun 1930an. Sedangkan warkop milik seorang warga Surabaya yang aktif berdagang kopi sejak awal tahun 80-an di bantaran kanal di jalan Jaksa Agung Suprapto, baru saja awal tahun 2019 kena “gusur” oleh pemerintah kota Surabaya karena berjualan di “tanah negara”. Sekarang warkop ini berubah bentuk menggunakan mobil pick-up, lebih “aman” untuk menghindari penggusuran.  

Warkop menjadi ruang ketiga warga kota Surabaya, dari lor ke kidul, dari wetan ke kulon. Harga minuman dan makanan terjangkau bagi sebagian besar warga, bebas untuk merokok, buka sebelum matahari terbit atau buka 24 jam, letaknya strategis di dalam kampung, di persimpangan jalan, di pasar, di sebelah masjid, di simpul-simpul kota. Ruang yang bebas untuk berbicara politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Ruang bebas untuk mengkritik pemerintah mulai tingkat RT sampai presiden. Warkop adalah ruang yang nyaman untuk menjadi diri sendiri, saling belajar dan bertukar pengetahuan, bermain catur/domino, tidak lupa saling mengingatkan untuk menjaga kondisi kesehatan.  

Kenyamanan menikmati secangkir kopi, cangkruk, ngobrol ngalor ngidul mungkin mengingatkan pada suasana kampung. Sebagai kota pelabuhan terbesar dan paling modern di masa kolonial, Surabaya menarik perhatian banyak anak muda dari segala penjuru Nusantara dan Asia-Eropa, mereka tidak ragu merantau ke kota ini. Suasana kampung halaman akan selalu dirindukan oleh para pendatang yang kemudian menetap, beranak-pinak di Surabaya, menjadikan kota ini kosmopolitan sejak akhir abad ke-19. 

Warkop di Surabaya secara umum menyajikan minuman dan makanan halal, meskipun tidak diperlukan logo halal yang dikeluarkan oleh MUI. Warkop menjadi ruang yang kosmopolitan bagi semua penganut agama dan kepercayaan lainnya. Di Malaysia, kedai mamakyang dikelola oleh warga Indian Tamil Muslim adalah ruang kosmopolitan yang mengakomodir pelanggan muslim dan agama lainnya. Meskipun kopitiam di Malaysia pada masa lampau juga menjadi ruang yang kosmopolitan, tapi sekarang terbatas dan harus memiliki logo halal dan sertifikasi dari pemerintah untuk melayani pelanggan muslim. Tentang kedai mamak sebagai ruang kosmopolitan dibahas dengan menarik di buku Eating Together: Food, Space, and Identity in Malaysia and Singapore karya Jean Duruz dan Gaik Cheng Khoo.

Warkop adalah bisnis keluarga, dikelola dua-tiga generasi, biasanya menyewa kios di pasar atau di rumah. Warkop menampilkan referensi sang pemiliknya, kita seperti berkunjung ke rumah kolega. Kalendar dari pabrik kopi atau perusahaan yang berada di sekitar warkop. Gambar Sunan Ampel, foto Soekarno (presiden pertama Republik Indonesia), dan ayat-ayat Al-Quran terpajang di dinding. Jam dinding merek Mirado, kebanggaan Surabaya, menjadi perabotan wajib. Cangkir kopi yang dipakai seperti saat kita bertamu ke rumah seseorang, atau gelas hadiah dengan logo merek-merek lokal, sering juga diberi tanda inisial pemilik dengan cat warna. Serbet dengan motif yang dibawa orang-orang India dan Bangladesh ke Nusantara. Kipas angin yang cukup mengusir hawa panas dan kotak amal untuk masjid/musollah yang berada dekat dengan warkop. 

Suasana nyaman juga disokong musik dangdut dan pop Indonesia tahun 80-an dari radio Suara Giri FM dan Media FM. Televisi layar datar kerap sebagai medium yang memutarkan video pertunjukan OM Palapa, kelompok musik dangdut kenamaan asal Sidoarjo. Pelanggan membaca koran Jawa Pos atau Surya yang tersedia secara gratis di meja. Kursi panjang dan meja kayu berwarna coklat matang yang sudah berpuluh tahun menemani para pelanggan, pemilihan furnitur yang berkualitas nan cerdas. 

Warkop adalah tempat warga untuk bersantai, bersiap untuk memulai hari, istirahat di sela-sela pekerjaan, dan melepas penat setelah jam kerja. Berbicara apa saja, serius atau ngawur, penuh lelucon dengan pemilik warkop dan sesama pelanggan. Tidak heran hati ini akan kembali bersemangat setelah berkunjung ke warkop. Mengingat Surabaya adalah kota industri pertama di era kolonial, warkop juga menjadi basis bagi kelas buruh, pedagang kecil, dan pekerja informal lainnya untuk membahas masalah yang dihadapi dan impian, bagaimana warga bisa turut menentukan masa depannya. 

“Coffee houses  were sometimes known as “penny universities” because, in the early days, for one penny anyone could come in, read the papers and listen to conversation, as well as hear lectures often given by the most eminent men in their field. This provided ongoing educational opportunities for those who traditionally would have had little access to information. “(Caroline Stone, First Social Network@Coffee Houses.midest,Saudi Aramco World May/June 2013 vol 64 no. 3, Texas USA)

Nuansa informal dibangun secara natural dengan ruangan semi-terbuka, tanpa mesin penyejuk udara, terbuka untuk siapa saja, segala usia, segala gender (meskipun masih didominasi oleh pria). Warkop biasanya sudah punya pelanggan tetap, jika kita baru pertama kali datang, sang pemilik akan bertanya asal tempat tinggal dan pekerjaan. Tidak hanya sang pemilik, pelanggan tetap tidak ragu bertanya di mana tempat tinggal, tujuan ke mana (setelah mampir di warkop), sudah menikah atau belum, dan tentang pekerjaan, sekalipun tidak bertanya nama.  

Kunjungan ke-dua saya ke warkop di Simpang Dukuh di Senin pagi, pemilik  warkop sudah tahu apa yang akan saya pesan, kopi celeng, kopi hitam tanpa gula. Sang pemilik warkop juga memberikan saran untuk sego bungkus yang cocok dengan saya (sepertinya dia kenal kecenderungan peminum kopi pahit adalah pemakan tahu-tempe & sayuran). Sayangnya warkop ini memakai kopi bubuk yang diproduksi massal, tapi itu bukan halangan untuk menjadi pelanggan. Tergiur untuk menikmati sarapan di warkop Simpang Dukuh dengan teh panas, telur ayam kampung setengah matang, dan sego bungkus, sambil menikmati bangunan hotel Inna Simpang, duduk di kursi banquet yang alasnya berganti dengan jaring dari tali plastik.  

Sebelas warkop berikut menjadi andalan saya untuk menikmati masa di Surabaya. Saya pilih berdasarkan kenyamanan saya sebagai pengunjung perempuan (sekali lagi, pelanggan warkop didominasi pria), jarak dari rumah (saya tinggal di pusat kota, kampung Grudo), akses transportasi umum, kopi tubruk yang disajikan menggunakan kopi robusta giling (bukan bubuk kopi yang diproduksi massal), teman kopi yang sedap (sego bungkus ikan tongkol/salem, pisang kepok rebus, sukun goreng, ketan, onde-onde), desain seperti bar di mana peracik kopi berhadapan langsung dengan pelanggan, dan lokasi warkop berada di simpul-simpul (nodes) yang menarik untuk dijelajahi. 


  1. Warkop Sarkam 
Jalan Nyamplungan 97
Seorang kawan, Adil Albatati mempromosikan warkop ini dengan hebohnya, mereka menyajikan kopi dengan campuran sumsum kambing! Tidak lama kemudian saya menjadi pelanggan tetap, meskipun menu kopi sumsum kambing (mungkin) tidak pernah ada.  

Sarkam adalah akronim dari pasar kambing. Warkop ini menempati kios di lantai dasar bangunan pasar kambing Ampel, setiap pagi minum kopi bonus aroma daging kambing. Warkop ini berjalan 24 jam, kecuali bulan puasa buka setelah Magrib. Sarkam dikelola tiga bersaudara, semuanya laki-laki, mereka melanjutkan bisnis warkop milik orangtua yang berasal dari Gresik. Tiga bersaudara ditambah dengan satu pekerja, dibagi dalam dua jam kerja, masing-masing 12 jam per hari. Tidak heran warkop ini buka 24 jam karena berada di kawasan Masjid Sunan Ampel yang memiliki ribuan peziarah per harinya, sepanjang hari, sepanjang tahun. 

Warkop Sarkam diminati oleh warga Ampel dan Nyamplungan karena kualitas kopi yang baik dan konsisten, jajan yang murah dan sedap, ada juga rombong gule kambing di halaman warkop. Ini ruang berkumpul yang semarak membuat para pelanggan tidak ragu untuk bermain domino di Sarkam. Para pelanggan selalu bertukar cerita sehari-hari dan membahas kondisi nasional terkini. Dengan pemandangan jalan Nyamplungan yang cukup sibuk, apa saja akan mudah menjadi bahan pembicaraan. 

Sebagai pelanggan wanita satu-satunya, tiga bersaudara (dan satu pekerja) selalu menyambut hangat kedatangan saya, membuat atmosfer tidak canggung karena ada perempuan di warkop ini! Saya selalu memesan kopi hitam tanpa gula gelas kecil, diberi harga 2000 rupiah, dapat potongan karena tidak pakai gula (harga normal secangkir kopi di warkop di Surabaya adalah 3000 rupiah). Sarkam menyajikan kopi dalam gelas kecil, gelas tanggung, dan gelas jumbo, menggunakan kopi giling yang dibeli langsung di pabrik kopi di Kenjeran. 

  1. Warkop rempah 
Jalan Pabean Kulon V/2 
Satu-satunya warkop yang menyajikan kopi rempah di Surabaya, dikelola oleh wanita yang biasanya dipanggil Fery. Beliau melanjutkan kejayaan Warkop Ali Jujur yang menyajikan kopi rempah dan kue terbaik tanpa menghitung dengan saklak jumlah tagihan ke pelanggan, seperti kantin kejujuran yang gagal dipraktekkan oleh pemerintah Indonesia, namun berhasil di warkop Ali Jujur. 

Warkop asuhan Fery menempati bangunan dalam gang yang menampung 6 -7 orang dengan dua kursi kayu yang memanjang mengikuti bentuk bangunan selebar 1 meter.  Dengan kipas angin dan beberapa jendela, sirkulasi udara tetap terjaga. Warkop buka mulai jam 7 pagi hingga 3 sore, hari Minggu tutup mengikuti jadwal kerja toko-toko di jalan Panggung. 

Kopi rempah yang diberi harga 5000 rupiah per cangkir adalah kopi robusta yang dimasak bersama kapulaga india, cengkeh, kayu manis, jahe segar, sereh, daun pandan, dan gula putih, setelah mendidih dibiarkan semalam, paginya kembali dihangatkan dan siap disajikan. Para pekerja toko di sekitar warkop membeli kopi rempah dalam termos besar, cukup untuk satu hari kerja. 

Kue-kue sedap hasil kurasi Fery memanjakan pelanggan. Kue lumpur kenari, kue lumpur panggang, pisang goreng, martabak madura, mageli (falafel), lemper, samosa, lumpia, dan sego krawu. Pelanggan setia akan mampir bolak-balik untuk sarapan dan makan siang, tentu saja mereka saling kenal-satu sama lain, pembicaraan hangat pun tak terhindar. 

Serbet dengan pola bawaan dari Bangladesh, tidak heran ini adalah kampung Arab terbesar di Nusantara, yang merupakan tempat tinggal Yaman, India Selatan, Banjar, Madura, Jawa, Menjelang sore, saat pelanggan sudah berkurang, Fery biasanya mengupas kapulaga india, baunya sedap semerbak, bersiap untuk memasak kopi rempah nanti malam. 

Video warkop rempah ada di tautan ini 
https://www.youtube.com/watch?v=5_cHFC3peaY

  1. Warkop di jalan Songoyudan 68 
Keber pola garis warna merah dan biru warkop inu Elita menjadi penanda untuk beristirahat sejenak dari beban kerja para pekerja pasar Pabean. Berdiri sejak awal tahun 1930an, Ellita meneruskan bisnis kecil warkop dari sang orang tua, menempati bangunan selebar 1 meter tapi memanjang, bahkan ada kamar kecilnya. Warkop ini melayani para buruh toko dan kantor di jalan Songoyudan, kawasan pecinan. Buka pagi hingga sore, hari Minggu tutup, mengikuti ritme pusat perdagangan di Surabaya, kawasan Kembang Jepun, pecinannya Surabaya.

Elita menyajikan kopi hitam yang sudah disaring (tanpa ampas), lumayan encer tapi tetap nikmat rasa kopi robustanya, memakai kopi cap Jari Besar yang dibeli langsung di pasar Pabean. Kopi disajikan dengan cangkir yang biasa kita temui saat bertamu ke rumah, sungguh manis meskipun tanpa gula. Teman minum kopi ada enting kacang yang gurih dan obrolan tentang chinese food dengan ibu Elita. 

Yang selalu menarik perhatian adalah penataan barang dagangan yang apik, botol-botol air soda dan air mineral berjejer rapih, keripik dan kacang dalam toples bening yang berusia hampir 100 tahun, meja dan kursi kayu yang kokoh berwarna coklat hangat.

Warkop ini juga menyediakan bir bintang dingin!     

  1. Warkop Pojok di selatan jalan Urip Sumoharjo 
 Berhadapan dengan salah satu monumen pasca-kemerdekaan, hotel Olympic dengan gaya arsitektur anti-kolonial, warkop Pojok berdiri awal tahun 1940an. Warkop ini melayani warga sekitar dan pekerja pasar Keputran Selatan yang berada di ujung timur jalan Pandegiling.  Buka menjelang matahari terbit, tutup tengah hari, dan buka kembali jam 5 sore hingga jam 9 malam. 

Sekarang sudah 3 generasi yang melayani pelanggan dengan gaya kopi tubruk ala Turki. Mereka mendidihkan bubuk kopi cap Oto Terbang (pabrik kopi bubuk dari Gresik) jadi rasanya lebih pekat. Tentu saja saya memesannya tanpa gula, sambil makan sukun goreng.  

Masa terbaik menikmati suasana kota Surabaya di warkop ini adalah saat matahari terbit dan saat matahari tenggelam, sinar matahari dengan hangat menyinari bangunan hotel Olympic yang menyerupai anjungan kapal laut, cantik sekali, seperti gambar di kartu pos. Karena berada di perempatan yang sibuk, suara bising kendaraan bermotor (dan juga polusi udara) setia menemani pelanggan. 

  1. Warkop Pojok di pasar Pecindilan
 Selasa pagi saya dan Yuli naik angutan kota lyn F dari pertigaan jembatan Pandegiling, turun di muka jalan Pecindilan, dan berjalan kaki ke pasar. Kami langsung menuju warkop Pojok yang bersebelah dengan pedagang sego campur dan pedagang tahu. Memesan dua gelas kopi hitam tanpa gula. Kami terkejut dengan bau kopi yang disangrai, ternyata warkop ini memanggang biji kopi dengan peiruk tanah liat dan kompor gas, alamak!

Warkop ini dikelola keluarga Madura, sudah dua generasi, semua pekerjanya perempuan! Penataan gelas, cangkir, lepek, kaleng bubuk kopi, kaleng gula putih, dan sendok yang mengagumkan membuat kami betah. Kami pergi sejenak untuk sarapan sego pecel legendaris di Pecindilan gang 2, lalu kembali ke warkop Pojok untuk gelas yang ke-2.   

  
  1. Warkop di depan pabrik coklat Tjendrawasih
Jalan Kalisari I 
Selepas berkunjung ke Masjid Muhammad Cheng Ho di jalan Gading, saya berjalan kaki ke warkop yang berada tepat di depan pabrik coklat Tjendrawasih di Kalisari gang I. Warkop dikelola seorang perempuan yang berasal dari Ponorogo, merantau ke Surabaya sejak muda, dan sekarang menetap di Sepanjang. Dia berangkat dari rumah jam 5 pagi dan membuka warkop jam 6 pagi, tutup jam 4 sore, mengikuti jadwal pekerja pabrik, tentu saja tutup di akhir pekan. Sang perempuan bercerita soal kopi khas Ponorogo yaitu kopi cokot, kopi hitam yang disajikan dengan potongan gula merah di lepek gelas kopi, cokot potongan gula merah, kunyah, lalu minum kopinya, sedap rasanya. Setidaknya aroma coklat yang mengalir di warkop ini menjadi pengganti potongan gula merah. 

  1. Warkop Biru di Pasar Keputran Utara 
Biasanya saya berkunjung ke warkop Biru (karena kiosnya dicat warna biru) selepas makan siang di warung mbak Ning di dalam pasar Keputran Utara. Selepas kenyang dengan menu andalan sayur bening dan pepes ikan tongkol, saya ngopi di warkop Biru yang berhadapan langsung dengan lapak cabe merah dan wortel. Hawa pedas cabe merah dan cabe rawit menghantarkan kopi hitam sambil mendengar lagu-lagu Rhoma Irama yang disetel di blok depan. 

Pasar Keputran adalah pasar grosir buah dan sayuran terbesar di Surabaya, tepat di jantung kota, berhadapan dengan Kali Mas. Sayur mayur datang dari belahan Jawa Timur mulai siang hari hingga lepas tengah malam. Pasar dua lantai (tapi lantai atas kosong tak terpakai) yang dibangun tahun 1952 menyimpan debu di langit-langitnya hingga sekarang, tebal seperti awan hitam. Buruh pasar dan pelanggan berjalan cepat di atas sampah sayuran di gang-gang dalam bangunan dengan penerangan remang-remang. Tempat yang absurbdan surrealuntuk menikmati segelas kopi. 

The place that remains a hive of activity throughout the night is Pasar Keputran, the wholesale fruit and vegetable market beside the river in the southern part of the city. From around dusk, trucks have been arriving with loads of cabbages and cauliflowers, coconuts and jackfruit. There the producer is sorted and haggled over before being carried by shoulder pole through the throng of becak and stalls into the ground floor of the market hall. Inside under lights, in a maze of booths and alleyways, all kinds of produce is laid out in profusion. As is typical in Java, the buyers and sellers are mostly women, often in traditional batik costume, while the man, stripped to the waist, provide the muscle that keeps in motion the jostling circulation of goods and people. In the hours after midnight, as the city sleeps, Pasar Keputran is like a hectic, Brueghelian dream. (H.W. Dick)

  1. Warkop Pak RT Genteng di jalan Genteng Besar x Genteng Bandar Lor

Jalan Genteng Besar adalah salah satu jalan utama di pusat kota Surabaya yang memiliki pasar Genteng Baru dan kampung-kampung sebagai kaki tangannya. Warkop ini berdempetan dengan toko kopi Genteng (Jalan Genteng Besar 20) yang menjual kopi sangrai dan kopi bubuk dengan merek Pantjar Gas. 

Warkop Pak RT Genteng buka setelah matahari terbit. Pelanggan paginya adalah pegawai negeri sipil dan polisi, juga para pedagang/makelar pasar Genteng Baru. Selain kopi robusta dark-roasted, ada sego bungkus, bentul rebus, aneka gorengan. Rombong kopi di muka gang dan pelanggan duduk santai dengan kursi plastik di jalan Genteng Besar dan sepanjang gang Genteng Bandar Lor yang dihidupkan dengan tanaman sri rejeki dan pandan, dijamin pagi yang menyenangkan. 


  1. Warkop Pojok Kalijudan
Jalan Kalijudan 
Dari jembatan Pandegiling, saya naik angkutan kota lyn T2 jurusan Joyoboyo – Mulyorejo – Kenjeran, berhenti di muka jalan Kalijudan. Saya disambut dengan ramah oleh pasangan pengelola warkop Pojok Kalijudan, seorang bapak dan anak perempuannya. Warkop yang mulai dibuka awal tahun 90an hanya selemparan batu dari pasar Kaliwaron, pasar kecil nan guyub yang berada di atas kali. Warkop buka jam 5 pagi, tutup jam 10 malam, sudah ramai pelanggan sejak pagi yang mengundang perhatian karena berada di pojokan jalan Kalijudan bersimpangan dengan Kaliwaron. 

Warkop Pojok Kalijudan memakai kopi giling yang dibeli di pasar Pacar Keling, menyajikan kopi robusta yang pekat (pastinya dark-roasted) dalam gelas, cocok dengan kue lumpur dan bakpao yang tersedia di rombong. Deretan kursi kayu buatan tangan dipenuhi pria-pria muda dan orang tua. Tepat berada di bawah pohon membuat warkop ini tempat berteduh dari musim kemarau yang panjang di Surabaya.    

  1. Warkop keliling cak Muhari
Polsek Semampir - Jalan KHM Mansyur – Jalan Kalimas Udik I-a 
Pertama kali berjumpa dengan rombong kopi ini saat saya berjalan kaki menuju jalan Panggung melalui Kalimas Udik I-a. Sang pemilik rombong kopi menyapa dengan hangat, saya berjanji untuk mencoba kopi racikannya di perjumpaan selanjutnya. 

Satu pagi saya dan Isbat berjumpa dengan rombong kopi ini di depan BCA, di jalan KHM Mansyur. Rombong berwarna biru dikeliling oleh lebih dari 10 pelanggan, kami pun dengan senang hati bergabung dengan keramaian. Pemilik rombong berasal dari Madura, dengan lancar Isbat bercakap-cakap dengan bahasa Madura, saya hanya bisa menimpali dengan bahasa Indonesia. Sang pemilik rombong kopi memulai harinya berjualan di depan Polsek Semampir, selepas sholat Subuh, kemudian rombongnya bergerak ke jalan KHM Mansyur, manggon di depan hotel Kemajuan sampai jam 11 siang, dan akan menuju perhentian terakhir di dalam gang samping masjid Serang, gang Kalimas Udik 1-a.  

Lebih dari 30 tahun berdagang kopi keliling membuat dia tak kehabisan cerita, tak kehabisan tenaga. Kisah seputar Ampel dan Surabaya Utara dibagikan secara gratis oleh sang pemilik rombong dan puluhan pelanggan tetap. Suasana pagi sampai menjelang siang di jalan KH Mas Mansyur menjadi bahan obrolan yang tidak membosankan. Segala keluh kesah pelanggan dibalas dengan candaan sang pemilik.  

Rombong kopi ini setia memakai kopi bubuk cap Oto Terbang yang dibeli di toko Tona Makmur di jalan Danakarya dan susu kental manis cap Carnation untuk kopi susu. Harga per gelas kecil kopi hitam adalah 2000 rupiah, lebih murah daripada warkop lainnya karena sang pemilik rombong tidak menyediakan kursi dan meja untuk pelanggan.   

Video warkop keliling cak Muhari bisa dilihat di tautan ini 
https://www.youtube.com/watch?v=BWOs9CvftZY
https://www.youtube.com/watch?v=sWTnVH-fTrc


  1. Depot Acu-Aling 
Jalan Dapuan Bendungan III/1 
Kopitiam ini berada di dalam gang dekat pasar Babaan di Surabaya Utara. Pelanggan masuk ke dalam rumah dua tingkat disambut dengan meja sembahyang kepada arwah leluhur. Buka mulai jam 7 pagi hingga 5 sore, hari Senin tutup. Depot Acu-Aling adalah tempat terbaik untuk sarapan dengan secangkir kopi hitam saring dengan cangkir tebal bermotif bunga khas kopitiam. Biji kopi robusta beli di pasar dan disangrai sendiri, sang pemilik depot berkata dengan bangga.  

The Kopitiam (Hokkien for coffee shop) is a modest and ubiquitous part of daily national landscape found spread out in small towns, urban areas, and their sorrounding suburbs; it represents the daily informal civic life of Malaysian citizens. Historically, "kopitiams have existed for as long as there have been Chinese in Malaysia. Mostly owned and run by Foochow and Hainanese migrants who settled in towns and urban areas during the British colonial era. The Malaysian kopitiam sells not only snacks but also hot food and full meals like soupy noodles, rice dishes, and pork chops. (Jean Duruz and Gail Cheng Khoo). 

Kopitiam tidak populer di Surabaya, saya hanya bisa menemukan kopitiam di pasar Puncak Permai dan di tempat ini. Kopitiam umum dijumpai di kota-kota pelabuhan (dan pecinan) di pulau Ambon, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra. Tentu saja kopitiam populer di Malaysia dan Singapore. 

Selain kopi, depot Acu-Aling menjual masakan Bagansiapiapi—kota yang sempat dikenal sebagai kota pelabuhan penghasil ikan terbesar di era kolonial dengan julukan Hong Kong van Andalas. Menu favorit saya adalah wantan mie dengan potongan tipis babi panggang merah yang dipanggang singkat dan diberi pewarna merah supaya terlihat seperti char siu yang otentik. Menu lain yang sering saya pesan adalah kari peng (nasi kari daging babi) dan rujak lolia (campuran bakwan udang, nanas, timun, toge, kacang tanah tumbuk, dan kuah asam). Minggu lalu saya sarapan bersama kawan dari Hong Kong, Cheung Jens, dia bercerita mengenai menu cha chaan teng adalah gaya eropa/amerika palsu dengan menggunakan kopi kualitas rendah jadi harus dicampur dengan susu kental manis, sosis murahan, pasta murahan, kornet daging sapi murahan, tapi tetap tempat terbaik untuk sarapan dan makan siang yang super-hemat dan dicintai warga Hong Kong.  


Daftar ini saya buat dalam rangka untuk memulai menulis tentang warung kopi di Surabaya dalam format buku saku, berharap terbit di akhir tahun 2019. Awalnya merasa sulit untuk menulis tentang warkop di Surabaya, karena konsep warkop tidak ditemui di buku andalan saya, Surabaya City of Work karya H.W. Dick, maupun karya Robbie Pieters Surabaya, 1945 – 2010, Neighborhood, State & Economy in Indonesia’s City of StruggleMerebut Ruang Kota karya Purnawan Basundoro pun tidak menyebutkan kata warkop. Mohon rekomendasi buku dan artikel yang berkaitan dengan warkop ya! Matur suwun.

Saatnya berkenalan dan mampir ke warkop yang ada di sebelah rumah, di depan gang rumah, di depan kampus atau sekolah, di belakang gedung kantor, karena mungkin mereka tidak akan ada selamanya di Surabaya. 


Surabaya, 13 November 2019 
Anitha Silvia

3 komentar:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
    dengan minimal deposit hanya 20.000 rupiah :)
    Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
    - Telkomsel
    - XL axiata
    - OVO
    - DANA
    segera DAFTAR di WWW.IONPK.CLUB :-*
    add Whatshapp : +85515373217 ^_~

    BalasHapus
  2. Suplaier kopi jempol dmn ya

    BalasHapus
  3. Mohon info suplayer kopi jempol disurabaya
    Bisa chat wa 083830753241

    BalasHapus