Matahari belum terbit, tapi mata sudah melek, cukup kenyang
tidur di Agro Anggrek Malam, siap turun di Jatinegara. Jika berkunjung ke Jakarta, saya paling suka
naik kereta api, turun di Jatinegara, lalu memilih tujuan dengan Commuter Line dengan
sistem pembayaran e-money yang efektif dan efesien. Tujuan pertama saya adalah
Komunitas Bambu.
Dengan Commuter Line Menuju Beji, Depok,
turun di stasiun Pondok Cina yang juga baru direnovasi, lebih lapang dan
teratur. Naik ojek ke Lapangan HW, jalan kaki sedikit ke Jalan Taufiqurahman
no. 3 yang berada dekat dengan SMP Muhammadiyah. Di pagi masih dingin sisa
hujan semalam, saya masuk ke Komunitas Bambu, para pekerja bangunan sedang
bersiap-siap untuk bekerja membangun dua bangunan lagi. Bangunan utama yang
adalah kantor Komunitas Bambu sudah hampir selesai dibangun. JJ Rizal, pendiri
Komunitas Bambu datang 30 menit kemudian dengan wajah segar sehabis mandi
sambil membawa gorengan. Karena saya kelaparan, saya minta dibelikan
nasi uduk, dengan sepeda kayuh JJ Rizal membeli dua bungkus nasi uduk sebagai
sarapan kami.
Kabar akan tutupnya Komunitas Bambu
beberapa tahun silam membuat saya dan banyak orang gelisah. Sekarang saya melihat
Komunitas Bambu sedang membangun kantor dan galeri, kami pun tersenyum. Meskipun
ada masalah di kontraktor mula-mula yang membangun, sekarang diatasi oleh
arsitek Yoshi Fajar, menjadi sebuah
kantor yang nyaman, teduh, cantik, dan inspiratif. Kantor berada di lantai dua,
perpustakaan di lantai 1, lantai dasar untuk operasional pegawai. Yang sedang dibangun
adalah galeri buku (nantinya akan memamerkan artwork cover buku terbitan
Komunitas Bambu) dan rumah JJ Rizal yang berada di belakang kantor.
Meskipun oplah buku dan penjualan terus
menurun dari tahun karena kebijakan dari Gramedia, dapur Komunitas Bambu tetap
ngebul dengan berbagai cara, mulai dari menjadi ghost writer, merchandise,
event, konsultan, pembicara. Merampingkan pegawai juga menjadi pilihan. Kabar
yang sangat disayangkan yaitu sang pembuat artwork cover buku Kebo sedang tidak
bisa menerima order karena sedang merawat orang tua nya yang sedang sakit.
Terlihat dari salah terbitan terakhir Komunitas Bambu (Ibu Pergi ke Surga –
Sitor Sitomorang) tidak mencerminkan gaya buku Komunitas Bambu yang sudah akrab
dengan visual gaya Kebo.
Secangkir kopi hitam disuguhkan sambil membahas
filem-filem yang membawa tokoh bangsa seperti Tjokroaminoto dan Soekarno.
Kritik JJ Rizal terhadap filem-filem tersebut adalah desoekarnoisasi seperti
memberi label Soekarno yang playboy dan punya kekuatan mistis dan Tjokroaminoto
yang lebih dilihat sebagai satrio piningit ketimbang kemampuan intelektualnya. JJ
Rizal merekomendasikan filem mengenai Soekarno yang masih layak untuk
dikonsumsi, “Ketika Bung di Ende” yang diproduksi oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.Banyak cerita menarik dari JJ Rizal hingga kopi saya tandas dan tujuan selanjutnya telah menanti.
Selamat dan semangat untuk rumah baru Komunitas Bambu. Sampai jumpa di lain kesempatan.
.
BalasHapusseingatku dulu ada yayasan bambu indonesia di bandung, apa satu badan ?
DAPET REJEKI NOMPLOK
KENANGAN ITU BERMUNCULAN KEMBALI
AKU PERGI DULU SAYANG, MUNGKIN KU TAKKAN KEMBALI
.
nice post
BalasHapusEksistensialisme