Suasana Jalan Sasak saat Pasar Kampung Ampel (foto oleh Nadia Maya Ardiani) |
Jalan Sasak, Sebuah Ruang
Bersama
oleh Anitha Silvia
Segerombolan bocah berlarian bermain di tengah Jalan Sasak yang
dilimpahi banyak cahaya matahari. Para peziarah dengan tenang berjalan kaki
keluar dari Masjid Ampel menuju Jalan KH Mas Mansyur. Seorang ibu keluar dari
rumahnya membawa keranjang, berjalan tergesa untuk belanja sayur mayur di Pasar
Pabean. Sejumlah penjaga toko menata kurma, kopiah, dan sarung untuk menarik
pembeli. Tiga pekerja memasang instalasi lampion di sepanjang jalan. Hampir
tidak ada kendaraan bermotor yang melintas. Suatu Minggu pagi yang sibuk nan
gembira di Jalan Sasak karena jalan dibuat bebas kendaraan bermotor untuk
mendukung Pasar Kampung Ampel pada tanggal 20 Juli 2014, sebuah pasar kuliner
yang digelar oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas Wisata Religi Ampel bekerjasama
dengan Soledad & The Sisters Co., ARA Studio, dan Ayorek!.
Jalan Sasak adalah salah satu titik ekonomi utama di Kampung
Arab Surabaya, salah satu jalan tersibuk di Surabaya. Kampung Arab Surabaya
ditinggali oleh warga keturunan Arab, India, Tionghoa, etnis Madura dan Jawa,
dan meliputi dua kelurahan, Kelurahan Ampel dan Kelurahan Nyamplungan di
kawasan Kota Lama, Surabaya Utara. Kampung Arab Surabaya persis bersebelahan
dengan Pecinan. Jalan Sasak menjadi jalan penghubung menuju titik ekonomi
lainnya yaitu Gang Ampel Suci (Pasar Gubah), Jalan KH Mas Mansyur, dan Jalan
Panggung (Pasar Pabean). Di Jalan Sasak terdapat
lebih dari 30 toko yang beroperasional di jalan sepanjang 500 meter dengan
trotoar selebar 1 meter di satu sisi jalan. Toko kitab, toko parfum, toko
kurma, toko sarung, toko perlengkapan muslim, toko oleh-oleh haji, dengan papan
nama yang klasik dari papan kayu yang digambar manual. Berderet nama toko yang
menggugah untuk dikenang seperti “Terkenal”, “Shaat”, “Al-Fadilah”, “Abdul
Azis”, “Roma”, “Pustaka AS”, “Al- Hijaaz”.
Namun lalu lalang kendaraan bermotor mengurangi rasa nyaman
pengunjung dan penduduk di sekitar Jalan Sasak. Jalan selebar 4 meter dipenuhi
oleh arus mobil, sepeda motor, angkot, becak, dan pejalan kaki. Parkir
kendaraan bermotor juga mempersempit ruang gerak di jalan ini. Keriuhan
kendaraan bermotor mengurangi rasa hikmat berjalan santai mengamati jalan yang
dipagari oleh toko-toko kebutuhan muslim yang menempati bangunan kolonial dua
lantai. Menghalangi kisah-kisah yang patut untuk dibagikan, seperti kisah Abdul
Kadir—warga keturunan Arab yang tinggal di Jalan Sasak, membentuk Orkes Melayu
Sinar Kemala, orkestra terbesar di Indonesia pada dekade 1960-an.[i]
Awalnya, ide untuk membuat Jalan Sasak bebas kendaraan bermotor
selama satu hari tidak mendapat respon yang baik dari sejumlah pedagang setempat
karena takut pembeli akan berkurang. Hari Minggu banyak toko yang tutup,
hanya sebagian kecil toko yang buka, seperti toko kurma, toko sarung, dan toko
parfum. “Pasar Kampung Ampel” di Jalan Sasak mengundang banyak orang untuk
menjelajahi jalan ini, pedagang setempat pun tersenyum karena mereka mendapat
pembeli baru. Projek ini sebagai langkah awal untuk menciptakan foot traffic-- sebuah istilah untuk
menggambarkan pengunjung yang berjalan kaki di tempat komersial/bisnis--yang diharapkan
meningkatkan perekonomian di Kampung Arab Surabaya. Foot traffic juga mengurangi tingkat kecelakaan lalu lintas.
Pasar Kampung Ampel mengambil konsep pasar dan kuliner; pasar
yang tak dibatasi gender ataupun religi, dan kuliner yang menyatukan seluruh
pengunjung. Mengingat Masjid Ampel yang berada di pusat Kampung Arab Surabaya
menjadi salah satu pusat ibadah penganut agama Islam di Indonesia, pasar menjadi
konsep yang paling mudah untuk mencairkan sekat-sekat yang ada, menciptakan
ruang bertemu bagi warga dari berbagai golongan.
Menjelang siang makin banyak peziarah yang lalu lalang, berjalan
kaki menuju Masjid Ampel melalui Jalan Sasak dengan nyaman, melempar senyuman,
santai berbicara, tidak takut adanya mobil atau motor yang akan mengambil alih
jalan mereka. Makin sore makin ramai, bukan lagi peziarah melainkan pelancong
dan warga sekitar yang datang untuk merasakan kegembiraan di bulan Ramadhan di Pasar Kampung Ampel. Makin malam, pengunjung
tetap ramai, mereka ingin lebih lama berkeliling menikmati jalan ini bersama
keluarga dan handai taulan.
Jalan Sasak dipenuhi oleh lapak-lapak kuliner oleh warga
setempat yang menjual makanan khas Arab, India, Madura, dan Surabaya. Toko-toko
terus meraup pembeli, pengunjung mengamati pameran foto situs-situs bersejarah
di Kampung Arab Surabaya, dua grup nasyid yang bersenandung merdu, pelancong
yang terpesona dengan bangunan kolonial dan kemolekan warga keturunan Arab, dan
anak-anak yang berlarian kegirangan karena hari ini jalanan adalah milik
mereka. Satu hari memang tidak cukup.
Jalan Sasak menjadi tempat bertemunya para tetangga, saudara,
dan handai taulan. Terlihat banyak pengunjung Pasar Kampung Ampel yang saling
bertukar salam, kabar, dan cerita. Anak-anak, pemuda, dan orang tua berkumpul
memenuhi jalan, duduk bersama, makan bersama, tertawa bersama. Jalan tidak lagi
menjadi budak kendaraan bermotor melainkan menjadi orang tua yang menyayangi
anak-anaknya. Jalan menjadi common space, tempat dan kesempatan warga
untuk berkumpul dan berekspresi.
In common space, people exist as more
complete, if not complex, individuals. They become cultural in concrete ways.
More are revealed and expressed. More are visible as manifesting certain common
values.[ii]
Seyogjanya jalan menjadikan manusia, bukan kendaraan bermotor, sebagai
subyek utama. Sebuah jalan bisa menjadi ruang berbagi untuk memproduksi dan
mendistribusikan pengetahuan dan kenangan. Sebuah jalan bisa menjadi tempat
bermain yang aman untuk anak-anak. Sebuah jalan bisa menggambarkan suatu
komunitas yang anggotanya saling mengenal dengan baik. Menurut Henri Lefebvre,
sebuah jalan adalah sebuah teater yang spontan, seperti yang terlihat di Jalan
Sasak saat itu banyak wanita dan pria yang berpakaian spesial meskipun Pasar
Kampung Ampel hanya berjarak 200 meter dari rumah mereka, memaksimalkan
kesempatan untuk berinteraksi.
In the street, a form of spontaneous theater, I become spectacle
and spectator, and sometimes an actor. The street is where movement takes
place, the interaction without which urban life would not exist, leaving only
separation, a forced and fixed segregation.[iii]
Pasar Kampung Ampel mempertegas bahwa Jalan Sasak adalah jalan
yang penting bagi warga setempat dan masyarakat Surabaya sebagai pusat ekonomi,
budaya, dan sejarah. Projek ini juga memberitahukan kepada seluruh warga
Surabaya dan dunia bahwa Kampung Arab Surabaya terbuka untuk siapa saja karena penduduk
setempat memberi ruang untuk saling mengenal dan menghormati. Projek ini adalah
awal, perlunya penciptaan ruang bersama yang mempertemukan manusia dari
berbagai etnis dan agama untuk berinteraksi melalui berbagai kegiatan yang
melibatkan warga secara berkelanjutan di kota Surabaya.
Yet cities are also about
publics--i.e. about forms of being together or of being connected that go
beyond the specific details of what a person does, where he or she lives and
comes from.[iv]
[i]
Weintraub, Andrew N., 2012, “Dangdut: Musik, Identitas, dan
Budaya Indonesia”, Jakarta: KPG, hal. 80.
[ii]
Kusumawijaya, Marco, 2014, “Common Space and Public Space in
Contemporary Urbanisation”. Dalam William S.W. Lim (ed) Public Space in Urban Asia, Singapura: World Scientific Publishing
Co, hal. 143.
[iii]
Lefebvre Henri, 2003, “The Urban Revolution”, Minneapolis: University
of Minnesota Press, hal.18.
[iv]
Simone,
AbdouMaliq, 2010, “City life from Jakarta to Dakar: movements as the crossroads”,
Taylor & Francis, hal. 117.
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Oh ya, di sana anda bisa dengan bebas mendowload music, foto-foto, video dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)