"Menyeberang dengan sembarangan adalah
siasat pejalan kaki."
Kalimat tersebut muncul saat saya menyaksikan karya
video Sebastian Diaz Morales, seniman asal Argentina. Karya video berjudul
"Jam" dipamerkan di Museum Seni Rupa dan Keramik--salah satu venue Jakarta Biennale ke-15 yang
berlangsung dari 9-30 November 2013. “Jam” dipamerkan bersama empat karya
berbasis proyek lainnya (Jatiwangi Art Factory & TROTOARt, akumassa, Mella
Jaarsma & Nindityo Adipurnomo, M.R. Adytama Pranada) di sebuah gedung
kolonial di kawasan Kota Lama.
Morales memamerkan karya video-nya secara vertikal dengan ukuran
layar sebesar papan reklame yang biasa kita lihat berdiri angkuh di jalan raya,
menggambarkan kondisi Jakarta yang tidak berkutik dijejaki oleh bangunan
vertikal. Jakarta adalah kota yang tidak jera dihantam jutaan penduduk dengan kendaraan
bermotornya, kota yang tidak malu diselimuti polusi, kota yang tidak takut ditimpa
papan reklame.
Morales memetakan sejumlah titik kemacetan Jakarta melalui karya
videonya. Kemacetan adalah makanan utama kota ini. Morales memamerkan tumpukan
sepeda motor, mobil, dan angkutan umum yang berdesakan di jalanan. Tidak lupa
tumpukan gedung pencakar langit, jalan layang, dan papan reklame yang turut
andil membuat menor wajah Jakarta. Manusia lalu bersiasat untuk tetap bertahan
di tengah kepungan mesin dan bangunan.
Morales memasukkan seorang pria berkaos putih polos, bercelana
pendek, dan bersepatu kets, berjalan kaki “menembus” papan reklame, menyeberang
sembarangan di jalan raya yang penuh sesak dengan kendaraan bermotor, berjalan kaki
di zebra cross berpapasan dengan
pejalan kaki lain dari arah yang berbeda, berjalan kaki melawan arah kerumunan
peserta lomba jalan sehat, berjalan kaki melintasi jalan layang yang belum
dibuka, lalu kembali lagi menyeberang sembarangan.
Sang pria berkaos putih tampak lihai dan berani berjalan kaki melewati
deretan kendaraan bermotor yang berjalan terseok-seok, para pengendara motor menyebutnya
sebagai kemacetan, hal yang sudah biasa bagi mereka. Sang pria berjalan kaki tanpa
tengok ke kiri-kanan, langsung memotong laju mobil dan sepeda motor di jalanan,
meliuk lincah diantara kendaraan, dari satu jalan bersambung ke jalan lain,
ditemani kebisingan mesin sepanjang hari.
Saya menyaksikan sang pria berjalan tanpa henti dengan penuh
keyakinan, pindah dari satu setting
ke setting lainnya. Sang pria
menembus bangunan vertikal, menantang tumpukan kendaraan bermotor lalu berpapasan
dengan kumpulan manusia yang berjalan kaki saat matahari bersinar. Sang pria
melawan arus utama, saat penduduk memilih berkendara sepeda motor atau mobil,
dia memilih berjalan kaki. Sang pria menolak dominasi kendaraan bermotor di
jalan raya karena jalan tidak hanya dibuat untuk kendaraan bermotor.
Morales menyajikan “Jam” menjadi karya video yang nyaman untuk
diamati berulang-ulang karena dengan lembutnya Morales menyulam setting satu dengan setting lainnya menjadi sebuah narasi. Menikmati “Jam” sembari nyengir mengingat pengalaman pribadi
menyeberang sembarangan. Salah satu indikator dari walkable city adalah “seberapa mudahnya pejalan kaki menyeberang
jalan”. Makin mudah pejalan kaki menyeberang jalan berarti makin layak kota
tersebut untuk pejalan kaki.
Saat ini pejalan kaki makin susah menyeberang jalan, harus di zebra cross dengan lampu lalu lintas, dan
dimaki pengendara kendaraan bermotor karena dianggap menghalangi laju kendaraan
bermotornya. Jembatan penyebrangan dalam kenyataannya tidak menghargai pejalan
kaki karena mereka harus naik-turun tangga untuk menyeberang. Menyeberang
sembarangan menjadi kebutuhan pejalan kaki, tidak perlu tengok kanan kiri,
kendaraan bermotor yang waspada dan memberi jarak kepada pejalan kaki untuk bebas
menyeberang jalanan.
http://www.youtube.com/watch?v=ATfHtkGdqac
Tidak ada komentar:
Posting Komentar