Rabu, 22 Mei 2013

Sebelum Semuanya Menjadi Jakarta : 111 Tahun Desa Jatisura

pertigaan menuju Desa Jatisura


Sebelum Semuanya Menjadi Jakarta

3 Mei 2013 
Hari ini dimulai dengan kepergian saya ke Cirebon menumpang Handoyo--bis eksekutif Surabaya - Cirebon--dari Bungurasih, cukup beruntung karena bis berangkat jam 12 malam setelah saya buyar maraton meeting di sutos. Berharap tidak kesiangan tiba di Jatisura, ini pertama kalinya saya ke Cirebon dengan bis, tentu saja lewat pantura, hinggap di restoran yang sama, berasa telah menjadi bismania. Tengah hari tiba di terminal Harjamukti, lekas oper elf ke Jatiwangi, sempat mengamati kabupaten Cirebon karena elf berjalan lambat, Cirebon seperti kota kecil kebanyakan, berjejer baliho calon bupati Cirebon di sepanjang jalan. Satu jam lebih kemudian turun di lampu merah pertama setelah meninggalkan Cirebon, lampu merah di pertigaan Jatiwangi, persis di depan Pabrik Gula Jatiwangi yang mulai runtuh dengan pembangunan Jatiwangi Square. 

Tukang becak dengan sigap menawari jasanya, "Jatisura ya neng?". Wah dengan kostum & properti yang berasa turis memang tujuan saya ketebak, Desa Jatisura. Dengan senyum menolak penawaran jasa sejumlah tukang becak yang ngetem di pertigaan, saya akan jalan kaki, tidak jauh hanya 20 menit, tapi memang cukup panas, seperti Surabaya.

Memasuki alun alun Desa Jatisura yang sedang bersiap-siap untuk perayaan ulang tahun Desa Jatisura ke-111, pohon beringin di tengah alun alun dikerumuni anak anak, panggung permanen setinggi 1 meter dari batu batu dinaungi pohon beringin dipenuhi alat musik, setiap sisi berjejer stand bazaar. Saya segera menaruh bawaan di kantor Jatiwangi Art Factory (JAF) yang berdekatan dengan alun alun, lalu segera meluncur ke alun alun dan bertemu muka dengan seluruh kru JAF. Tedi En dan Beben sibuk mempersiapkan sound system di panggung, Ismal Muntaha berkeliling mendokumentasikan persiapan, Arief Yudi dan Pak Kuwu Ginggih berpatroli memantau warga desa Jatisura yang mempersiapkan bazaar, dan banyak anak anak berkeliaran bermain main menunggu perayaan dimulai. Wah saya tidak melewatkan acara pembukaan, ulang tahun desa Jatisura ke-111 digelar selama 3 hari dengan memamerkan pertunjukkan musik, bazaar desa, lomba menghias botol bekas, workshop pengolahan sampah barang elektronik, dan pernikahan Al-Ghorie. 

Jam 4 sore, matahari mulai sendu, sang MC andalan Desa Jatisura mengajak seluruh warga berbondong bondong berkumpul di alun alun Desa Jatisura. Masih berasa takjub, beneran warga berkumpul, ibu ibu menggendong bayinya yang sudah wangi habis mandi, bapak bapak berdatangan sambil minum kopi dan merokok, para remaja memakai kaos dan celana kesukaan mereka, anak anak riang gembira berlompatan di hamparan alun alun sambil memanjat pohon beringin kesukaan mereka. Para pejabat mulai dari Pak Kuwu Jatisura (kuwu = kepala desa), Pak Camat Jatiwangi, Pak Kapolsek Jatiwangi, dan Pak Komandan AD di Jatiwangi (lupa euy nama instansinya) memberikan sepatah kata kata meresmikan perayaan slang tahun Desa Jatisura ke-111. 

Berkeliling bazaar yang meriah dengan papan nama ok sip yang didesain oleh Pak Kuwu Ginggih, saya mencari makanan, kelaparan, teringat belum sarapan dan makan siang, menemukan stand yang menarik hati, GURILEM, menawarkan beragam masakan jamur, saya pilih sup jamur, rasanya ok sip banget, mereka juga menjual satu paket tanaman jamur bersama medium tumbuhnya, menjadi display yang menarik. Seorang pemuda memanggil nama saya, karena tidak mengenalinya, hanya senyum dan jabat tangan saya sampaikan, ternyata doi adalah Baya, salah satu pendukung musik saat Teman Sebangku tampil di radioshow (saya datang nonton saat itu). Baya memainkan sada tanah, dia membantu mempersiapkan panggung untuk pertunjukkan malam ini, tapi dia harus cabut karena besok Teman Sebangku tampil di Bandung. Al-Ghorie datang mampir ke alun alun, kabur sebentar dari rumah karena doi lagi dipingit menjelang pernikahannya 5 Mei mendatang. 
Jatiwangi Kids

Panggung dihuni perdana oleh Annisa Annas menarikan semacam jaipong. Jatiwangi Kids tampak tidak sabar untuk segera tampil, sejak tadi saya nikmat melihat mereka membawa alat musik masing masing, angklung dan drumband. Tedi En memimpin orkestra dibantu Kiki, Jatiwangi Kids memenuhi alun alun, dan kejutan dimulai. Mulanya saya tidak berharap ada kejutan dalam pertunjukkan Jatiwangi Kids, terbayang pertunjukkan angklung dan drumband yang biasa biasa saja, tapi saya salah, drum bertabuh, angklung bergejolak, seorang anak lelaki bernyanyi solo, melantunkan suasana Jatisura yang panas dengan bahagia, dan saya terpana, pertunjukkan kolosal yang menyenangkan. Jatiwangi Kids turun panggung disertai gemuruh hebat tepuk tangan para penonton.   

Sore habis, pesta akan dilanjutkan kembali nanti malam, panggung musik beralih menjadi panggung wayang. saya kembali ke JAF, mandi. Meskipun udara di Jatisura panas tapi airnya sejuk (di Surabaya udara panas airnya tidak dingin), mandi adalah hal yang tepat menepis kegerahan. Jam 8 malam alun alun sudah dipenuhi warga dari bayi hingga orang tua, saya berburu ke panggung wayang yang sudah dihuni rombongan wayang kulit asal Cirebon, anak anak turut menumpuk di panggung, pemandangan yang menyenangkan melihat anak anak kecil menikmati grup wayang memainkan intro sepanjang satu jam sebelum pertunjukkan wayang dimulai, gamela bertabuh haru dengan suling namun tanpa iringan sinden, ini pengalaman pertama saya menyaksikan wayang sunda (biasanya wayang jawa). Arief mengenalkan saya ke tamu lainnya, namanya Asih, perempuan itu datang bersama suami dan anak lelakinya, mereka adalah kawan lama Arief yang tinggal di Bandung dan sedang membuat photozine bertajuk "bungkus", membuat kelas esai foto, menarik!

mari menonton wayang

Saya dan Asih sekeluarga leyeh-leyeh di depan panggung beralas karpet bersama banyak anak anak kecil yang riang gembira menyambut intro dari grup wayang. Evni memberikan kami bantal, jadilah sempat tertidur diiringi gamelan dan suling. Pertunjukkan wayang dimulai, sang dalang berbahasa sunda campur indonesia, mengisahkan konsep agama. Saya sudah keburu ngantuk, kembali ke JAF, melek lagi karena ngobrol sama Tedi, Yopie, Carda, Roovie, obrolan lanjut ngebubur di depan pasar oncogh dangoh, anak anak ngebubur, saya puas makan tempe goreng yang hangat. Sunday Screen adalah kelompok video di Bandung, bersama JAF menggelar Village Video Festival, Ismal adalah salah satu anak Sunday Screen yang telah menjadi warga Jatisura. Saya melobi Sunday Screen menjadi partner Indonesian Netaudio Festival 2014 dan mereka berminat, yeah. Roovie adalah designer asal Kendal yang sekarang bekerja di ibukota, banyak orang bilang Roovie mirip sama Irwan Ahmett, sering disebut sebagai adiknya Irwan Ahmett, haha iyah sih emang mirip. Puas makan, kami berjalan kaki kembali ke JAF, segera tidur. Saya menempati kamar Tedi, yang lainnya tersebar di berbagai sudut rumah Arief, hari yang penuh. 

4 Mei 2013
Pagi hampir habis, segera bangun dan mandi, berkenalan dengan Dhika--seniman keramik yang saat ini menjadi guru kesenian di sekolah berkuda di Tanggerang. Brunch nasi dan sayur asem buatan Bi Neng, salut untuk menteri pertahanan pangan : Enin dan deputinya Bi Neng. Sudah kenyang siap untuk berpesta lagi, berkenalan dengan Kundi Craft dari Bandung yang menjadi salah satu peserta bazaar, ditemani Evni kami berkunjung ke rumah Pak Ulis (Ulis = juru tulis) untuk persiapan workshop  sampah elektronik siang ini di balai desa. Pak Ulis membuat rumah dari bambu dua lantai, seru ih kayak mainan jadinya. Di depan rumah Pak Ulis adalah rumah untuk pusat pengolahan limbah, bertabur hasil olahan limbah berupa lampion (lampion tersebut menjadi dekorasi apik di perayaan ultah Desa Jatisura). Kembali ke JAF, ada Teresa Briks yang melihat saya sedang membaca buku The Komedie Stamboel : Popular Theater in Colonial Indonesia - Matthew Isaac Cohen, ternyata Teresa satu kampus dengan Cohen di Leiden, Cohen juga pernah mampir ke JAF, waw. 

workshop sampah elektronik bersama kundicraft

Tengah hari, siang benderang, menuju balai desa, Sugeng dan Riri membawa material sampah elektronik dan perkakas. Efni membantu menyiapkan keperluan workshop sampah elektronik di balai desa, sejumlah anak kecil mengerubungi kami, mengamati apa yang Sugeng bawa, sebuah tabung televisi. Workshop dimulai dengan perkenalan Kundi Craft, lalu Sugeng memberikan informasi mengenai bahaya menyimpan sampah elektronik, bagaimana membuang sampah elektronik dengan benar karena timbal dari sampah elektronik adalah sangat berbahaya, jadi kita memang tidak bisa membuang sampah eletronik sembarangan (tapi aman jika timbal telah dihilangkan). Anak anak Jatisura setia mengelilingi Sugeng, mungkin merasa aneh melihat orang membongkar tabung televisi, membelahnya ujung tabung dengan bor dengan kucuran air, menunjukkan rupa dari timbal yang berupa serbuk berwarna kuning (sebenernya sudah mengendap di tabung). Sugeng menjemur tabung televisi yang sudah terbelah dengan genangan air timbal, jika kering, bubuk timbal bisa segera disimpan dalam botol, dan tabung televisi bisa aman untuk di-apa-apa-kan. Selanjutnya Sugeng dan Riri membongkar CPU, memisahkan sirkuit dari puluhan kabel, Sugeng akan membuat gantungan kunci dari sirkuit, setelah menggergaji sirkuit menjadi sejumlah potongan, lalu di-pilox dan diberi tali, jadilah gantungan kunci yang aneh seru, anak anak berebut ingin memilikinya.           

Dina baru tiba, Kunci dan JAF sedang mengerjakan project MADE IN COMMONS. Warga Jatisura menyambut sore dengan berkumpul di alun alun, di panggung sudah bersiap tampil "Merasa String" trio yang bermain biola, Meisa, Rana, Tata, mereka mengalunkan sejumlah lagu-lagu populer (tapi yah saya gak tahu lagu apa), di set terakhirnya mereka berkolaborasi dengan Mukti Mukti. Jeda Magrib dan Isya diisi dengan mandi dan makan malam. Kembali ke alun alun, People Clay akan tampil, banyak sekali yang bergabung di panggung, grup vokal, grup saba tanah, grup okarina, grup perkusi genteng, grup gitar dan bass genteng, mereka langsung membawakan sejumlah lagu karya mereka yang berbahasa Sunda dan Indonesia, membuat mata kepala ini terkagum. People Clay adalah kumpulan warga Jatiwangi (dari anak-anak sampai orang tua) yang bermusik dengan menggunakan instrumen dari tanah liat. 

Penampil berikutnya adalah Kang Mukti, Doni, dan Siska yang tergabung dalam Kaliandra. Ini pengalaman pertama saya melihat Kang Mukti, tadi siang sempat mengintip Mukti Mukti sedang latihan bersama Pak Kapolsek jatiwangi. Vokal Kang Mukti yang tegas dibalut piano dan petikan sitar Cina oleh Siska membuat saya berasa di festival musik kenamaan, ternganga. Kaliandra dengan set panjang membuat saya betah membayangkan kehidupan yang sederhana nan bermakna. Tentu saja set Pak Kapolsek Edi membuat penonton riuh bertepuk tangan, dengan seragam lengkapnya Pak Kopolsek melantukan lagu ciptaan Kang Mukti bertajuk Aku Ingin. Rangga, Yopie, dan Ismal bergerak terus mendokumentasikan perayaan ini. 

kaliandra & pak kapolsek jatiwangi

Perayaan hari kedua berakhir dengan bahagia, kembali ke JAF, ternyata ada after party yakni pertunjukkan solo Siska, bernyanyi sambil berpiano, berakordion, dan memainkan suling Cina, kami jatuh cinta dengan Siska. Pesta hari kedua ditutup dengan makan bubur langganan dan kedatangan kawan kawan peserta workshop Smart City yang digelar oleh RUJAK : Anex, Robin, Asrul, Attar, dan Anita. Wuahh lucu yah kami semuanya terhubung dengan Marco Kusumawijaya. Saya, Dina, dan Anita tidur bertiga dalam satu kamar, yang lainnya tidur beralas karpet di ruang tamu. 

5 Mei 2013
Bangun pagi, lekas mengantri mandi, pagi ini adalah pernikahan Al Ghorie & Ghea, bersama keluarga besar JAF menuju rumah pengantin perempuan di desa apalah-saya-lupa, rombongan mobil mampir dulu di rumah Al-Ghorie lalu lanjut ke rumah Ghea yang melewati banyak pabrik genteng dan sawah. Jam 10 pagi ritual pernikahan adat Sunda dimulai dengan tarian dan nyanyian berbahasa Sunda, sepertinya ini pengalaman pertama saya menikmati pernikahan adat Sunda, cukup menarik. Al-Ghorie dituntun oleh kedua orangtuanya siap melaksanakan akad nikah, kami menyaksikan akad nikah berjalan lancar dan mereka berdua resmi menikah. Lanjut dengan saweran, dimana kedua pengantin melempar uang koin ke para tamu, wuah seru pada rebutan menangkap uang koin. Pengantin kemudian mengisi posisi yang dipersiapkan untuk menerima ucapan selamat dari para tamu dan kami dipersilahkan untuk makan, wah menunya soto sunda, gurih nikmat. Sebelum pamit kami foto bersama, selamat bahagia untuk Al-Ghorie & Ghea.  

pernikahan al-ghorie & ghea

Tengah hari kembali ke JAF, ngobrol dengan geng Smart City, Roovie, Dina, senangnya di JAF menjadi meeting place anak muda yang bersemangat. Mendengar kisah perjalanan geng Smart City dari Jakarta ke Jatisura yang nyasar sana sini, lucu banget. Menjelang sore mengajak mereka berjalan kaki ke Pabrik Gula Jatiwangi, kami bertujuh berangkat meninggalkan Roovie yang sedang membuat kartu ucapan ulang tahun Jatisura bersama Kidclay.   

Meninggalkan alun alun, menyusuri Jalan Sukatani dengan deretan toko toko dengan papan nama yang menarik untuk diperhatikan, lalu tiba di Pabrik Gula Jatiwangi yang berdiri tahun 1898 dengan menyisakan cerobong asap dan satu bangunan besar. Sejumlah buruh bangunan sedang bekerja, sepertinya mereka akan membuat ruko, di lahan tersebut akan dibangun Jatiwangi Square, sangat disayangkan. Seorang buruh bangunan menunjukkan kami terowongan bawah tanah di reruntuhan bangunan bekas kantor pabrik gula, dengan semangat rasa penasaran ala "Lima Sekawan" kami mencari terowongan bawah tanah diantara runtuhan bangunan, dan ketemu, sayang tidak membawa senter, kami tidak berani berjalan dalam kegelapan. Mungkin jika pabrik gula dijadikan museum atau hotel akan lebih menarik ketimbang diruntuhkan untuk dibangun mal. Kami meninggalkan sisa sisa kejayaan pabrik gula menuju Desa Jatiwangi. 

pabrik gula jatiwangi

Geng Smart City dan Dina terlihat kelelahan berjalan kaki, saya meyakinkan mereka bahwa kami akan menemukan pemandangan desa yang asjik, dan benar kami menemukan deretan sawah, kuburan, lapangan bola, dan genteng sebagai material bangunan selain atap. Tembok dari tumpukan genteng, pembatas irigrasi dari genteng, disini warga Jatiwangi menggunakan genteng yang rusak menjadi bahan bangunan. Sore sudah habis kami kembali ke alun alun Jatisura, yang baru saja menampilkan Good Afternoon. Semangat setelah berjalan kaki hampir 3 jam dengan rute yang menarik lalu kembali ke JAF. JAF dipenuhi dengan rombongan Efek Rumah Kaca yang sedang istirahat sambil makan, saya langsung mandi bersiap untuk malam terakhir perayaan. 

Jam 8 malam, perayaan dilanjutkan dengan Jatisura Award, desa Jatisura memberikan penghargaan kepada (alm) Pak Guru Harjiman. Diputar video profil Beliau, seorang guru yang mengabdikan hidupnya untuk pendidikan anak anak, tidak hanya mengajar, juga bermain bersama anak didiknya. Pak Guru Harjiman juga berjualan bakso keliling desa, alasannya berjualan adalah bersosialisasi dengan warga, alasan yang keren. Pak Kuwu Ginggih dan Pak Camat Ono memberikan penghargaan kepada keluarga Pak Guru Harjiman. 

Panggung diisi oleh Pemuda Inisiatif & Pak Camat. Tedi, Ami, Beben, Agus, dan Pak Camat Ono mempersembahkan sejumlah lagu yang sudah kami rajin dengar seperti Pendar, segera merapat ke bibir panggung, ikut berdendang, sejumlah anak anak Jatisura mengibarkan spanduk dukungan kepada Pak Camat, meriah sekali, ya ampun ini seru banget yah melihat warga lokal saling mengapresiasi. Satu lagu dipersembahkan oleh Pak Camat Ono kepada warga Jatiwangi dan pasangan hidupnya, bertajuk Aku dan Kamu, pergulatan pikiran Pak Camat untuk melayani warga Jatiwangi sekaligus melayani pasangan hidupnya, dengan lirik yang gak menyeh menyeh, di akhir set Bu Camat memberikan sekuntum bunga kepada Pak Camat, aduhai romantis.   

pak camat lovers

Efek Rumah Kaca (ERK) menjadi penutup perayaan ulang tahun Desa Jatisura ke-111. Tanpa Adrian--sang bassist yang masih mengalami sakit, ERK melantunkan lebih dari 10 tembang andalan. Cholil--sang vokalis--berkata bahwa ERK terkejut diundang oleh pemuda desa Jatisura, ini adalah pengalaman pertama mereka manggung di desa, dan warga desa Jatisura banyak tahu tentang ERK, mereka terharu dan salut dengan kehidupan berkesenian di Desa Jatisura, terutama melihat pertunjukkan Pemuda Inisiatif dan Pak Camat. Cholil juga kaget melihat anak muda kota lain juga turut datang ke pesta perayaan ulang tahun Desa Jatisura. Saya sendiri juga masih kaget dengan perayaan ulang tahun Desa Jatisura ke-111 tahun bagaikan menghadiri festival musik tiga hari yang  membahagiakan.  

Ini adalah perayaan kedua ulang tahun Jatisura, baru tahun lalu mereka mengadakan perayaan, mungkin baru kali ini ada desa yang membuat acara ulang tahun, Pak Kuwu Ginggih menggali arsip kecamatan Jatiwangi untuk mengetahui tanggal terbentuknya Desa Jatisura, ditemukan arsip peresmian Desa Jatisura tertulis 6 Mei 1902. Dengan tema "Sebelum Semuanya Menjadi Jakarta" yang adalah goresan street art oleh Popo, warga Jatisura berharap desa mereka tidak ada kemacetan dan banjir, pengolahan sampah yang tepat menjadi salah satu strategi mereka. 

Ismal Muntaha menceritakan sekilas mengenai Jatisura (dan Jatiwangi) sebelum JAF ada, disini adalah sarangnya preman membuat kondisi desa tidak kondusif, hadirnya JAF hampir 8 tahun di Jatiwangi telah terbukti membuat perubahan, minimal di Desa Jatisura, keamanan nyata (JAF tidak berpintu dan tidak ada barang yang hilang), warga dan pemerintah dilibatkan dan disibukkan untuk berkesenian, berkumpul, berkolaborasi, bekerja secara kolektif. Yang teramat penting, Jatisura telah dan terus membangun modal sosial antar-warga, menjadi dasar yang kokoh untuk pemberdayaan bidang lainnya. Saat ini Desa Jatisura mendapat predikat desa terbaik se-Majalengka. 
   
Terimakasih kepada JAF atas undangannya dan warga Jatisura atas keriaannya menyambut kami para tamu, salut saya kepada warga Jatisura. 



MADE IN COMMONS http://madeincommons.net/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar