Saya menantikan pemutaran filem "Di Balik Frekuensi" karena dikabarkan memakai lisensi Creative Commons, di Surabaya digelar oleh jurusan Komunikasi UNAIR, 27 Maret 2013. Siang itu aula dipenuhi kebanyakan mahasiswa Komunikasi yang adalah kebanyakan perempuan, saya bertemu dengan Lela, Dimas, dan Taufik, kami duduk paling depan untuk menghadapi sebuah filem dokumenter yang berdurasi lebih dari 2 jam dilanjutkan dengan tanya jawab bersama Ucu Agustin--soerang pembuat filem dokumenter independen, Lutviana--jurnalis, Pras (Aliansi Jurnalis Independen Surabaya), Surya (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur). Dibalik Frekuensi didanai oleh Cipta Media Bersama (IT-Watch, AJI, Wikimedia) yang tertarik dengan proposal yang diajukan oleh Ucu Agustin yaitu mengenai cara para jurnalis memproduksi berita di era sebelum Internet dan di era Internet, tapi dalam perjalanan pembuatan filem tersebut, Ucu secara kebetulan bertemu dengan dua tokoh : Lutviana dan Heri Suwandi lalu menghasilkan dokumenter ini.
Ucu Agustin, sang sutradara membuka pemutaran "Di Balik Frekuensi" dengan mengajukan pertanyaan, "Siapa yang ingin jadi jurnalis?". Banyak yang mengangkat tangan. Sebagai alumni FISIP UNAIR, profesi jurnalis adalah idaman bagi kami mahasiswa saat itu (tentu saja masih berlanjut hingga kini), maka filem dokumenter ini makin menarik untuk disimak. FIlem dibuka dengan aksi dari tape artist Andi RHARHARHA yang menggambar kata kata "Tanah AIr Udara Milik Negara". Kemudian infografis mengenai penggunaan frekuensi publik yang didominasi oleh negara dan kepentingan bisnis. Lalu muncul tokoh Lutviani, seorang jurnalis yang bekerja di Metro TV--televisi berita pertama di Indonesia--sebagai asisten produser. Lutviani sedang mengalami kasus di-non-job-kan karena aktivitasnya mengkoreksi management perusahaan Metro TV. Lutviani dan sejumlah rekannya meminta kepada Metro TV untuk membentuk serikat pekerja dan menaikkan upah karyawan. Perjuangannya mendapatkan respon negatif dari pihak manajemen, Lutviani di-non-job-kan dari posisinya, Lutviana terus memperjuangkan melalui aksi demonstrasi bersama buruh lainnya. Lutviani dengan bantuan dari LBH dan AJI memperjuangkan dirinya untuk tetap bisa bekerja di Metro TV, memproduksi berita yang layak sesuai dengan profesinya, seorang jurnalis.
Lutviana mengkritik proses kerja di ruang redaksi, manajemen mempekerjakan pegawai outsourching sebagai redaktur, padahal posisi tersebut adalah penting karena Metro TV memproduksi berita. Lutviana dengan jabatannya sebagai asisten produser dipaksakan menangani pekerjaan produser (tentu saja dengan gaji seorang asisten produser), saat ia menanyakan jabatannya oleh HRD, posisinya berubah menjadi junior produser, gaji tidak berubah karena "junior" itu berarti tidak memiliki pengalaman sebelumnya. Sama seperti yang terjadi pada saya dua tahun lalu, "naik" posisi tidak berarti naik gaji, malah beban kerja bertambah, dipaksa untuk menempati posisi tersebut, jika tidak bersedia dipersilakan untuk mengundurkan diri, betapa rendahnya posisi tawar kaum buruh. Lutviani juga mengkritik kebijakan perusahaan yang mementingkan penampilan "cantik/ganteng" seorang pekerja sebagai kriteria penting dalam karir di dunia berita. Kritik lainnya adalah banyak sekali berita yang adalah pesanan, berita bisa dibeli, jurnalis tidak memiliki ruang untuk memproduksi berita yang layak untuk dikonsumsi oleh publik. Fakta yang diperikan oleh filem ini adalah media televisi menjejali publik dengan iklan partai politik karena pemilik media televisi adalah politisi, padahal mereka memakai frekuensi publik.
Pengalaman saya sebagai seorang kelas pekerja selama 5 tahun yaitu kelas pekerja dengan status profesi enggan disebut sebagai buruh, yang namanya buruh itu hanya pekerja pabrik bukan pekerja "kantoran". Filem ini menyatakan bahwa jurnalis adalah buruh, berharap makin bermunculan kesadaran kelas, pentingnya membentuk serikat buruh, memperjuangkan hak-hak buruh. Saya ingat saya tidak pernah membaca detil perjanjian kerja, tidak menagih apa yang menjadi hak saya (misalnya uang lembur yang terlewatkan), dan tidak ada yang mendampingi saya saat saya bersitegang dengan manajemen, itu pentingnya serikat buruh untuk mendampingi kasus yang dihadapi oleh buruh. Lutviani akhirnya di-PHK dengan alasan mencemarkan nama baik perusahaan (Lutviani menceritakan kasusnya kepada publik) padahal dia adalah salah satu karyawan terbaik di Metro TV. Filem ini memerikan bagaimana media televisi dipakai sebagai instrumen politik pemiliknya, Surya Paloh dengan Partai Nasional Demokrat memanfaatkan Metro TV untuk mengiklankan partainya. MNC grup juga mengiklankan pemiliknya Harry Tanoesoedibjo yang kini juga sebagai politikus, TV One & ANTV mengiklankan Aburizal Bakrie yang telah menjadi calon tunggal dari Partai Golkar untuk pencalonan Presiden tahun 2014, mengerikan melihat rakyat diteror oleh iklan politik yang memuakkan.
Kasus lainnya yang diperikan oleh filem ini adalah aksi jalan kaki dari Porong hingga Jakarta yang dilakukan oleh Hari Suwandi sebagai protes terhadap Aburizal Bakrie yang belum melunasi. Aksi jalan kaki tersebut mendapatkan dukungan dari sejumlah kawan jurnalis yang peduli dengan korban Lumpur Lapindo. Ucu Agustin menampilkan perang berita antara Metro TV dan TV One, Metro TV mendukung aksi jalan kaki tersebut sementara TV One mempertanyakan aksi tersebut; Metro TV memakai konsep "Korban Lumpur Lapindo", TV One memakai konsep "Korban Lumpur Porong". TV One menampilkan kinerja baik dari PT Minarak, bukan dampak negatif dari bencana Lumpur Lapindo. Hal paling konyol terjadi adalah Hari Suwandi menjadi tamu dalam acara TV One dan meminta maaf kepada Bakrie karena dia salah telah menuduh Bakrie tidak bertanggungjawab terhadap korban lumpur Lapindo, menyedihkan sekali kondisi media televisi Indonesia, berita bagaikan sinetron. Ucu Agustin dengan apik menampilkan footage dari berbagai siaran berita nasional, filem dokumenter ini dengan mudah dipahami, meskipun cukup berlebihan menampilkan "kesengsaraan" Lutviana dalam menghidupi keluarganya selama di-non-job-kan oleh Metro TV. Dimas menceletuk filem ini mirip dengan AFK (Away From Keyboard), filem dokumenter yang berlisensi Creative Commons tentang kasus Pirate Bay, saya mengangguk mengiyakan.
Ucu Agustin menekankan filem ini hanya sedikit mengungkapkan fakta dalam dunia jurnalisme di Indonesia saat ini, masih banyak lagi yang perlu dikritisi dan dipublikasikan. Saat ini media di Indonesia yang jumlahnya ribuan, hanya dikuasai oleh 12 manusia, ini adalah konglomerasi media, bagaimana 12 manusia tersebut menentukan apa yang publik konsumsi, mereka menguasai informasi yang diserap oleh publik, karena sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi informasi melalui televisi. Saya sudah lama tidak mengkonsumsi media televisi, tapi keluarga besar saya sangat dekat dengan televisi, mereka tiada hari tanpa menonton televisi. Setiap saya berjalan kaki melewati pemukiman padat, dimana pintu rumah terbuka memperlihatkan para penghuni rumah terpaku di depan televisi, kotak ajaib tersebut sudah menjadi bagian penting dalam keseharian. Ya saya gelisah dengan siaran televisi Indonesia, seharusnya media tersebut dapat menjadi instrument yang efektif untuk mentransfer pengetahuan dan informasi yang mencerdaskan bangsa. Setelah nonton filem dan mendengar tanya jawab, saya mengkoreksi pandangan saya yang membenci televisi, jargon "membakar televisi" berubah menjadi "mengkritisi televisi". Frekuensi adalah milik publik, rakyat berhak mendapatkan berita yang layak! Salut saya dengan gerakan yang dilakukan oleh Remotivi, melalui situsnya (http://remotivi.or.id) mereka (yang adalah warga) mengkritisi siaran televisi, malah lebih terasa gregetnya ketimbang KPI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar