Perjalanan terakhir saya ke Yogyakarta akhirnya menasbihkan apa gunanya sepeda lipat yaitu sepeda bisa dilipat dan dibawa melancong. Ini pertama kalinya saya membawa sepeda lipat keluar kota, deg deg an pastinya. Sebenernya pengen naek kereta aja biar bisa ditaruh dibawah kursi, kalau di bis kan harus masuk bagasi jadinya gak bisa diawasin, maklum sepeda pertama. Tapi ada daya tiket kereta habis, terpaksa naek bis, saya bersepeda ke Bungurasih dengan membawa tas punggung, sejam mengayuh karena Bungurasih berada di Sidoarjo, berkeringat dan diberkati harum semerbak biskuit saat melintas Jalan Raya Waru dimana pabrik biskuit UBM bersabda. Saya tidak masuk lewat pintu utama terminal Purbaya yang lebih dikenal sebagai Bungurasih, lewat pintu keluar bis lalu masuk ke peron, melipat sepeda lalu menentengnya ke bis EKA--bis eksekutif jurusan Yogyakarta, merasa sepeda akan lebih aman di bagasi bis eksekutif ketimbang bis ekonomi-AC-tarif-biasa.
Sepeda lipat saya dengan manis duduk di bagasi bis, lega, langkah pertama terlaksana : sepeda dilipat masuk ke bagasi bis. Duduk manis di dalam bis, membayar 68ribu, dan hanya sedikit kuatir sepeda lipat akan menghilang dari bagasi. Tiba di Terminal Giwangan dengan sumringah karena sepeda lipat masih duduk manis di dalam bagasi, mengeluarkannya, dan kembali merangkai untuk bersepeda ke kost. Dengan peta digital dengan mudah saya bersepeda dari Giwangan ke Prawirotaman, 30menit bersepeda dengan cuaca yang dingin. Lalu sepeda lipat saya parkir dengan bangga di kost, tahap kedua berhasil : membawa sepeda keluarkota.
Selama 6 hari di Yogyakarta saya puas-puasin bersepeda dari Selatan ke Utara, masuk lewat gang gang, menuju tempat2 yang belum pernah saya kunjungi, menyenangkan sekali bersepeda di Yogyakarta, disana ada petunjuk jalan memotong untuk pesepeda, ruang tunggu sepeda di setiap lampu merah, dan lajur sepeda dari Selatan ke Utara, terutama para pengendara kendaraan bermotor bersikap ramah kepada pesepeda!
Tahap 3 adalah membawa sepeda kembali ke Surabaya, saya memutuskan naik bis ekonomi, ingin tahu bagaimana kelayakannya. Bersepeda kembali ke Giwangan, masuk lewat pintu sepeda motor langsung menuju peron bis ekonomi : Sumber Selamat, sepeda dilipat lalu masuk bagasi, tampaknya aman, bayar 38ribu. Dan ini hal yang paling bikin gak nyaman : supirnya ngebut gilak! Tiba di Bungurasih dengan rasa kantuk karena pastinya gak bisa tidur selama perjalanan, langsung menuju bagasi untuk mengambil sepeda, lega sepeda masih ada disana, tapi langsung bete ketika sang kondektur meminta tambahan biaya bagasi sebesar 20ribu, yah kalo gituh mendingan naek EKA aja!
Kelimpungan buru buru ambil dompet dan menyerangkan 15ribu, sang kondektur menyahut uang tanpa melihat jumlahnya, banyak calo taksi berebut mengangkut sepeda lipat saya, saya pun kelimpungan menyelematkan sepeda, sepeda ditangan saya langsung menjauh, tapi sejumlah calo taksi masih mendekati, dengan ramah saya bilang tidak perlu bantuan karena mudah sekali menyetel sepeda lipat, lanjut bersepeda bergabung dengan ribuan kendaraan bermotor di jalanan berpolusi tinggi, pagi yang riuh di Surabaya.
Sejam kemudian tiba di kost, langsung nyari dompet karena kunci ada di dalam dompet, dan tidak menemukan dompet ku yang sangat keren nan mahal itu, DOMPET HILANG alias DICOPET, huhuhu pasti dicopet saat mengambil sepeda di bagasi, setelah membayar biaya bagasi saya taruh dompet di totebag yang cukup terbuka, pasti calo taksi yang ngambil, sedih banget karena itu dompet kesayangan, buah karya Simalakamma, wuahhh sepeda sih selamat sampai Surabaya tapi dompet gak 。・゚゚・(>д<)・゚゚・。
*foto dompet koleksi simalakamma
Wah pengalaman yang tidak mengenakan sekali ya, sama-sama dilipat, eh itu calo taxi menggunting dalam lipatan deh hehehehe
BalasHapus