Minggu, 17 Februari 2013

[not] common people in yogyakarta



Rabu, 13 Februari 2013

Cukup sengsara tidak bisa tidur karena kedinginan di bis antarpropinsi Sumber Selamet, celana pendek dan sweater tipis, kostum yang tidak tepat. Tiba di Giwangan jam 4 pagi, menunggu sejam merasakan udara pagi yang dingin, setelah itu naik bis kota tujuan Parangtritis, turun di Jl Prawirotaman 4, menuju kost. Disambut lantai kamar yang bertumpuk debu, mengepel, menata kamar, dan tidur nyenyak hingga tengah hari. Udara masih dingin, mandi, dan segera keluar mencari makan, sangat lapar. Eka mengabarkan akan ke [i:boekoe] sore ini, selepas kenyang saya jalan kaki kesana, bertemu Gus Muh dan Virus, membaca puisi Sitok Srengenge dan buku tentang Salatiga Tempo Dulu sembari menunggu kedatangan Eka. [i:boekoe] adalah perpustakaan, radio komunitas, dan ruang berbagi yang berada di dekat Alun Alun Kidul, di Jalan Patehan Lor, menempati rumah bergaya jengki. Banyak sekali koleksi sastra Indonesia dan sastra asing ber-teks Indonesia, selain saya ada seorang anak laki-laki sedang membaca komik, ditemani radiobuku.

Sore datang, Eka pun datang bersama kawannya yang bernama Dinan--yang ternyata kenal sama Denan, Faris, Nuran, Dhani, Ayos karena doi ikutan KPY dan suka travelling. Eka menghibahkan banyak buku ke [i:boekoe], saya meminta dua : 1000 wajah Pram dan Atheis. Hujan turun, sambil menunggu siaran, kami bertiga makan mie di sebelah warung Handayani yang sudah tutup karena habis. Sambil makan banyak ngobrol, Eka dan Dinan tergabung dalam geng jalan jalan yang bertajuk "tim puk-puk", saya diajak gabung, asjik. Jam 5 lewat, hujan tetap turun, saya menemani Eka rekaman di studio radiobuku dengan operator Virus, Eka mendongengkan kami 5 buku favoritnya untuk program "Buku Pertamaku". Berikut 5 buku favoritnya : Majalah Bobo, Doraemon, Sherlock Holmes, Bumi Manusia, Totto-chan, 5 bacaan yang juga saya gemari. 

Pamit dari [i:boekoe], kami bertiga meluncur ke Homerian di kawasan Baciro, sayang tutup, kami lanjut ke Lirshop, berniat melihat pameran Simalakamma. Ternyata Ika bekerja disana, wah ketemu doi lagi yang berjasa mengajak saya keliling candi candi di daerah Kalasan. Pengunjung hanya kami bertiga, terpukau dengan produk menggemaskan dari Simalakamma : beragam dompet dan tas, memang harganya mahal (bagi saya) tapi memang lucu dan berkarakter. Simalakamma adalah projek dari Dina dan Elia, dijelaskan bahwa Simalakamma hadir berkat sejumlah agen-agen yang berbakat (kata favoritnya geng KUNCi : agen) yaitu Moki yang berjasa dengan teknik sablonnya, seorang pria yang memberikan saran untuk memasukkan tempat untuk menaruh memori di dalam dompet, dan sejumlah wanita yang menjahitnya. Eka menyukai Lirshop karena banyak buku anak anak, interior dan atmosfer yang menenangkan, lalu Eka dan Dinan kembali ke Utara, saya menunggu sampai jam 8 malam (jadwalnya Lirshop tutup) sambil membaca A Series of Unfortunate Events - Lemony Snicket #1. 

Jam 8 tiba, pamit Ika, menuju HONFvufoc yang hanya berjarak satu blok dari Lirshop, bersua dengan Venzha, diajak ke HONFablab. Hujan sudah reda, udara dingin, yah kedinginan karena 5 hari terakhir di Surabaya adalah panas. Dengan sepeda motor menuju Taman Siswa, disambut banyak orang, ada Ira, Popo, Imot, Ican, Iwan, Ones dkk. Dengan sari apel buatan Iwan (personelnya Steak Daging Kacang Ijo) yang pastinya memabukkan, kami membahas perbedaan gerakan kesenian di tahun 90an dengan 2000an. Iwan dan Ira yang sangat menikmati masa masa kuliahnya di ISI Yogyakarta, tiap hari ngampus dengan pakaian yang sangat bergaya, seorang orang bergaya rockstar, skill bermusik nomer sekian yang penting manggung, berpolitik melalui karya seni, ganja dan pil mudah didapatkan. Ican melontarkan banyak perbedaan, tidak semua ingin menjadi rockstar, gaya berpakaian tidak terlalu aneh, skill bermusik adalah penting, apolitis, dengan adanya teknologi terutama Internet memang mengubah banyak hal, tidak banyak menemukan art school girls macam Ira yang masih bertahan gila sampai sekarang. Jangan sampai hidupmu membosankan, pesan dari Ira.

Sementara di bagian kiri HONFablab membahas perbedaan antar-generasi, di sebelah kanan Imoth dkk melaser kayu dengan mesin andalan. Mendekat tengah malam, sejumlah kami menuju Oxen Free, minum banyak ngobrol banyak. Popo dengan rela mengantarkan saya kembali ke kost, sebenernya lapar, tapi dari tadi yang bisa dikonsumsi alkohol saja, tepar dengan segera.

Kamis, 14 Februari 2013

Udara yang dingin membuat saya betah tidur, mbangkong hingga jam 11 siang, bergerak mandi dan nyari makan pastinya. Meniatkan diri makan lotek, buset porsi sayurnya murah hati sekali, lanjut jalan kaki ke KUNCI. Disambut Chepas, numpang online di kantornya bang Wok yang sedang bekerja, lalu jadi sukarelawan ngambil kutunya Chepas. Meninggalkan KUNCI tanpa lewat pintu pagar karena dikerubutin semut rangrang, memilih lompat pagar. Jalan kaki menuju Malioboro, berkeliling Jalan Cokrodipuran dengan deretan rumah berlanggam indis dengan hiasan lampion merah bekas perayaan Imlek, sepertinya ini daerah Pecinan, nembus ke Jalan Ketandan Kulon yang sedang membangun gapura dengan relief naga. Tiba di Djoen--toko roti lawas favorit--disambut tumpukan roti tawar yang baru matang, segera menyambut satu buah dan membawanya menuju UGM dengan naik bis kota. 

Melewati lokasi penghapusan iklan sebuah provider di tembok penyangga rel kereta api dekat dengan Stasiun Tugu, Jembatan Kewek, bertuliskan larangan membuat iklan di ruang publik, nice. Eka mengabarkan sudah menunggu di kantin FISIP UGM, saya mengabarkan akan tiba disana dalam 5 menit, mendung tiba, bersama Eka duduk duduk di depan rektorat dan hutan, menikmati sore yang gerimis. Malam akan tiba, hujan reda, kami jalan kaki ke kost Eka, isrtirahat sebelum kami ke Kedai Kopi untuk melihat pertunjukkan Summer in Vienna. Setelah leyeh-leyeh dan Eka berganti baju, kami jalan kaki ke Jakal, makan malam nasi uduk sama Rangga yang lumayan kehujanan. Lepas kenyang, kami bertiga menuju Keiko, sudah ramai dan sudah dimulai pertunjukkannya, disambut pelukan Ocha yang ikutan pameran dengan 4 foto telanjang dua kawan karibnya.

Ini adalah pameran patah hati, memamerkan artefak dan karya yang berkaitan dengan patah hati, yah seru juga baca caption-nya karena kita semua pernah mengalaminya, PATAHATI. Jalan Pulang sedang bermain, pop akustik dengan vokal pria dan wanita yang menyejukkan, berganti dengan Gorong Gorong yang menebarkan wewangian sesajenan, berganti dengan Penjaskes yang banyak berkata kata, berganti dengan yang kami tunggu tunggu : Summer in Vienna. Matias, Dimas, Wipti, Latan, dibantu Raras ber-cello dan Arkham ber-bass. Dikejutkan dengan "Malas" yang mudah sekali membuat tersenyum dengan lirik malas yang diulang ulang tanpa membosankan : "kita tidak jadi keluar karena kita berdua sedang malas". Diriangkan dengan tembang lainnya : Have a Nice Day & Squirrels, Rangga dan Eka turut bernyanyi riang. 

Common People akan menggelar kembali Japanese Whisper, 23 Maret mendatang di LAF, menghadirkan Mitsume, uggghh mepet dengan Sunday Market 24 Maret, sepertinya saya akan melewatkan Japanese Whisper. Kami bubar sambil mengucapkan sampai jumpa kembali, saya dan Eka menuju warung burjo, saya makan burjo, Eka minum susu jahe, hingga tengah malam hujan masih turun. Kembali berjalan kembali ke kost Eka, kenyang dan dingin membuat saya langsung tidur. 

Jumat, 15 Februari 2013

Mbangkong maneh, jam 10 baru terbangun, sarapan susu kedelai instan dan cracker cream, menuju siang sambil online liat sejumlah blog craft, Eka sedang tertarik dengan craft. Kami makan siang di warung langganannya Eka, kami memesan beragam sayur yang nikmat, Eka lanjut ke perpustakaan, saya menuju Selatan dengan bis kota, melewati Jembatan Kewek yang kembali dicat warna ungu oleh dua pekerja, menyedihkan lewat sana banyak sekali iklan provider yang sama sekali tidak sedap dipandang. Nyampe kost langsung mandi dan ke Milas, balikin buku pinjaman, membaca A Series of Unfortunate Events - Lemony Snicket #2 dan Mereka yang Dilumpuhkan - Pramoedya Ananta Toer, meminjam Sang Pemula, karya Toer lainnya. Putro datang ke kost bersama kekasih barunya, kami bertukar referensi soal netlabel, Putro mengambil thesis tentang netlabel. Jam 8 malam kami bubar ke tujuan masing masing.

Berjalan kaki ke Cemeti Art House, malam ini pembukaan Turning Targets #3 : Realities : Cemeti Archived, dengan kurator Farah Wardani & Pitra Hutomo berkolaborasi dengan IVAA memamerkan arsip 25 tahun Cemeti, serangkaian dokumentasi dalam beragam format yang menandai sejumlah momentum penting sejak tahun 1988. Wedang secang dan beragam kuweh sebagai teman saat menikmati kumpulan arsip yang sama sekali tidak membosankan. Favorit saya deretan poster acara terutama era 90an, klasik. Sejumlah karya juga dipamerkan : Bambang Toko, Agung Kurniawan, Restu Ratnaningtyas. Menonton video wawancara dengan Eko Prawoto, terbaca petuah "not building houses but building lives". Banyak arsip banyak handai taulan, mencerahkan. 

Berjalan kaki kembali ke kost, di Jalan Tirtodipuran berpapasan dengan Nurify, dia terlihat sedih, saya hanya memeluk dan mengucapkan sampai jumpa. Tiba di kost, menyetel alarm, memaksimalkan volume alarm, besok pagi naik kereta kembali ke Surabaya, tidak boleh kesiangan seperti sebelum sebelumnya. Sayang belum ada kesempatan berkunjung ke kantor Pamit Yang2an.  

      

          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar