Senin, 25 Februari 2013

Meraba Jantung Surabaya




"... Kali Mas (Golden River), the arm of the Brantas that flows through the city. Its sluggish, muddy waters belie the name, though apt enough for its rich flow of commerce." -Howard W. Dick 

Membaca "Surabaya, City of Work: A Socio-Economic History, 1900-2000" membuat saya menganga mengetahui kejayaan Surabaya tempo dulu. Dulu Kalimas adalah jantung yang indah dan berharga sebagai jalur transportasi, kapal barang hilir mudik di Kalimas, sekarang [mungkin] hanya sebagai sungai berwarna coklat dengan pemukiman di kiri kanan bantaran sungai. Tahun lalu saya bersama cecunguks dan Antariksa berjalan kaki menelusuri bantaran Kali Code, Yogyakarta, sebuah pengalaman yang sangat menarik berjalan kaki sekitar 4 jam lebih melihat dekat Kali Code yang adalah jantung kota Yogyakarta. Terpikirkan mengenai Kalimas yang adalah jantung kota Surabaya, suatu saat saya harus bisa menjelajahinya dengan kaki.   

Baru kali ini saya cukup ragu apakah bisa menelusuri Kalimas sepanjang 19KM, terjauh saya hanya berjalan kaki 15KM, keraguan tersebut saya utarakan ke 6 kawan yang mengikuti Manic Street Walkers #16 edisi Jelajah Kalimas : Deasy, Ipung, Dimas, Lela, Maya, Silvana, Mia. Dengan senyum di Sabtu pagi yang mendung kami mulai menuju awal Kalimas yang merupakan anak Kali Surabaya di wilayah Jagir, kami masuk ke perkampungan di bantaran Kalimas, warga setempat sedang bersantai duduk duduk di beragam model kursi, ada kursi yang menghadap ke sungai, ada kursi yang membelakangi sungai, kami menemukan kursi dari kayu yang sangat panjang, kursi terpanjang yang pernah kami lihat. Pemandangan dari jalan inspeksi--pavingan selebar 3 meter--adalah sederetan pohon dan Jalan Raya Ngagel, air sungai berwarna coklat muda bergerak lambat, saya tidak tahu kedalamannya.

Kami memulai titik pertama perjalanan kami yaitu Jembatan Bongkok, dengan memakai peta Surabaya Heritage Track dengan Kalimas yang cukup menonjol sebagai tempat menorehkan temuan kami di sepanjang Kalimas. Sejumlah bapak yang sedang main catur di mulut jembatan memberikan informasi bahwa Jembatan Bongkok dibangun era penjajahan Jepang untuk keperluan trans, jembatan ini seperti kebanggaan warga sekitar, cat merah menyala dan lampu taman menunjukkan kesayangan warga, kami berjalan menyebrangi sungai, menjejak di lantai kayu jembatan, bungkuk yang cantik. Mencoba berjalan di bantaran Kalimas yang sudah disemen, entah apakah itu baik untuk ekosistem sungai, menemukan banyak kotoran manusia yang tercecer di bantaran, sejumlah supir minubus yang mangkal memperingati kami : awas banyak tai!     

Lagi lagi kami menemui beragam model kursi yang berada di bantaran kali, jemuran, dapur terbuka, hewan peliharaan berkeliaran, "rumah" semi-permanen yang menempel di tembok bangunan besar, "rumah" portable dengan televisi, manusia yang bersantai menghadapi siang, lalu kami tiba di Jembatan BAT (British American Tobbaco), sepertinya ada kantor Bentoel dekat sana. Kami bergantian jalan di kanan kiri bantaran Kalimas, Ipung tanpa henti berbagi cerita mengenai Surabaya kepada kami. Tiba di Tambangan--jasa penyebrangan dengan menggunakan rakit--kami segera naik, dan sang penyedia jasa, namanya Abdul berusia 80 tahun lebih, dia segera menarik tambang dan rakit pun bergerak ke seberang, Dimas yang takut berada diantara air memberanikan bergabung diatas rakit, dan kami selamat hingga seberang.   

Jembatan Sulawesi kami jejaki, beristirahat sejenak (sepanjang perjalanan kami hanya beristirahat sejumlah menit di sejumlah titik karena malah lebih terasa capai kalau lama berhenti) di Taman Kalimas dengan pemandangan yang terbilang indah : sungai tanpa sampah yang hanyut, pepohonan dan papan panjat tebing di Jalan Irian Barat. Kami memilih Jalan Kangean yang lebih dikenal sebagai Pattaya, sebuah jalan di bantaran Kalimas yang dipakai sebagai tempat ngeber gay. Pattaya dihibahkan pemandangan sungai yang tidak kotor dan tumpukan taman hias di Jalan Kayon, sejumlah pria bersepeda motor berpasangan, "cinta tak mengenal jam" imbuh Maya. Yang paling menarik kami menemukan prasasti di sepanjang tembok bercat hitam, banyak sekali curhatan disana, bagai tembok ratapan. 

Kami tiba di pintu air dekat dengan Jembatan Pemuda, Kalimas tampak besar dan deras, disini Mia dan SIlvana meninggalkan rombongan karena mereka ada jadwal bekerja siang ini, kami berlima segera menuju Taman BMX dengan fasilitas skatepark dan duplikat patung Suro & Boyo, sejumlah skater boy berkeliaran disana, lalu kami tiba di Jembatan Yos Sudarso, terlihat sejumlah dermaga kecil, sebuah kano/kayak sedang berkeliaran di Kalimas. Tiba di Taman Prestasi, melihat halaman belakang yang dulunya adalah halaman muka rumah dinas gubernur Jawa Timur, yah Kalimas di tempo dulu menjadi pemandangan indah, jadi seluruh bangunan berlanggam indis menghadap ke Kalimas. Ternyata ada jembatan gantung disana, wah seru, kami tiba di belakang SMA Trimurti lalu menuju Jalan Genteng Kali, main ayunan di Taman Ekspresi. 

Melewati gedung sekolah Tamansiswa yang sudah tidak aktif lagi, masuk ke Jalan Ahmad Jais--Ipung bercerita kalau Ahmad Jais adalah seorang penjahit terkenal tempo dulu. Deasy kebelet pup, untung ada hotel dekat sana, saya pura pura tanya harga kamar, Deasy melipir ke toilet, masalah selesai. Kami kembali ke bantaran Kalimas, melihat Jembatan Orange yang sering saya lewati jika berkunjung ke rumah sepupu di Plampitan. Kami melewati sejumlah pemulung yang sedang menyeleksi beragam sampah plastik, dengan ramah mereka membalas sapaan kami, dan tiba di Jembatan Peneleh. Berjalan kaki di belakang Tambak Bayan, karena jalan buntu tertutup bangunan kami harus ke Jalan Veteran sampai Jalan Jembatan Merah dan pastinya bertemu dengan Jembatan Merah, kami makin senyum karena kami mendekati Pelabuhan Kalimas, pelabuhan tradisional di Surabaya. 

Sepanjang Jalan Kalimas tersisa kejayaan Kalimas, bangunan workshop berlanggam Indis dengan crane bagaikan monumen yang terbengkalai. Mendung tampak, kami melalui Jalan Benteng dan terlihat sudah Jembatan Petekan, kami girang, Dimas masih tidak mempercayai dirinya bisa berjalan kaki hingga kantor ibunya : PT PAL. Saya juga heran kami berlima tiba di bawah Jembatan Petekan yang sudah tidak berfungsi lagi, tapi tetap anggun mengaga di bawah langit mendung, ada taman juga ditengah jembatan, menarik! Kami mencari jalan ke Pelabuhan Kalimas, seharusnya gak usah bingung karena sudah ada jalan di bantaran yaitu Jalan Kalimas Barat, tapi kami tetap bertanya ke orang lokal, mereka menunjukkan arah jalan, kami melewati Jalan Kalimas Baru, angkot dan ojek segera menawari kami tumpangan berbayar, kami menolak dengan senyum, 1 KM berjalan kaki tidak lagi jauh bagi kami, gerimis pun turun. 

Benar benar kegirangan saat memasuki Pelabuhan Kalimas, gerimis membuat syahdu pemandangan, kapal barang bertumpuk mesra, dengan langkah langkah gembira menikmati gerimis dan atmosfer pelabuhan tanpa penumpang, karena ini adalah pelabuhan barang. Saya dan Dimas menyempatkan diri mampir ke lambung kapal meskipun cukup ngeri berjalan di papan menuju badan kapal. Berfoto di depan deretan kapal barang yang bersandar di Pelabuhan Kalimas adalah ritual penutup Manic Street Walkers edisi Jelajah Kalimas. 

2 komentar:

  1. Berharap secepatnya saya bisa berkunjung ke Surabaya :'D

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku juga pengen kamu bisa merasakan kota Surabaya dengan kaki :)

      Hapus