Sabtu, 02 Februari 2013

generasi modernis di Semarang


Mengucap syukur sejak tahun 2012 berkenalan dengan sejumlah arsitek (yang juga urbanis) seperti Marco Kusumawijaya, Elisa Sutanudjaja, Yoshi Fajar Kresno Murti, geng ARCOM, dan kawan kawan Kami-Arsitek-Jengki, menjadi sedikit ngeh bagaimana arsitektur menjadi bagian penting dari sebuah pergerakan. Lalu membaca bukunya Abidin Kusno yang diterbitkan oleh Ombak : Penjaga Memori Gardu di Perkotaan Jawa, Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif : Jakarta Pasca-Suharto, Politik Ekonomi Perumahan Rakyat & Utopia Jakarta, bagaimana arsitektur bukan hanya urusan gambar dan bangunan tapi bagian dari sejarah, menjadi semangat zaman. Sekarang setiap saya berjalan kaki, bangunan menjadi salah satu yang saya perhatikan.  

Awal Januari 2013 saya berjalan kaki di Jalan Tumpang Raya, Semarang, diantara deretan rumah rumah mewah terdapat rumah berlanggam Indis (kolonial tropis) dengan material kayu dan beton, nyaman berjalan kaki di kawasan pemukiman "mewah", berbukit bukit, pemandangan yang asoy. Salah satu kejutan di Jalan Tumpang Raya adalah sebuah rumah bergaya modern (langgam modern saat dibangun sekitar tahun 30an), didominasi cat warna biru dan putih, langgam art deco yang unik, dinding atap melengkup, cantik setengah mati. 

Saat membaca karya Abidin Kusno : "Zaman Baru Generasi Modernis : Sebuah Catatan Arsitektur" halaman 56, langsung kegirangan ngeliat foto rumah yang saya lihat di Semarang dan bisa tahu sedikit sejarah rumah tersebut. Rumah berlanggam art deco tersebut adalah karya Liem Bwan Tjie, seorang arsitek peranakan Tionghoa kelahiran Semarang, arsitek modernis Indonesia pertama, yang mengeyam pendidikan di Belanda. Bwan Tjie membuat rumah dengan gaya modernis tropis untuk kalangan Tionghoa elite di Semarang, dengan bangunan gaya modernis tropis, perabotan dan dekorasi interior bergaya art deco Shanghai. Abidin Kusno menjabarkan gerakan tersebut : 

"Peranakan Tionghoa elite yang menjadi gerakan pemberontakan melawan citra keterbelakangan dan mendekonstruksi identitas Tionghoa masa lalu. Untuk itu, mereka tampil lebih Barat daripada Barat. Paling tidak, merkeka menunjukkan kemandirian dan seakan-akan mau menunjukkan bahwa modernisasi mereka tidak perlu melalui kekuasaan Belanda. Di samping itu, mereka juga ingin melepaskan diri dari Tionghoa tradisional yang telah diasosiasikan dengan Tionghoa totok. Pemberontakan terhadap Timur dan Barat inilah yang menjadi ciri khas peranakan elite, dan aspirasi mereka diterjemahkan dengan baik oleh Liem Bwan Tjie ke dalam bentuk arsitektur."       

2 komentar:

  1. Tadi malem saya ngisi acara di rumah ini. Acara selamatan pengangkatan gelar doktor Pak (saya lupa namanya) yang juga sepertinya seorang arsitek. Sangat indah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mungkin bisa dideskripsikan atau berbagi cerita/foto tentang isi rumah tersebut :)

      Hapus