Rabu, 16 Januari 2013

Stoned di Semarang




Workshop Penelitian Komunitas
Hysteria, Jl Stonen 29 Semarang
5 - 8 Januari 2013

Sabtu, 5 Januari 2013
Perjalanan panjang dari Bungurasih ke Terboyo, 8 jam, meskipun naik bis patas eksekutif, masalahnya kecepatannya mungkin hanya 60km/jam, padahal jalur pantura lenggang karena bis berangkat selepas tengah malam. Dan saya sedang tidak terlalu tahan dingin (termasuk dalam ruangan ber-AC) berlama lama, alhasil saya pun gak enak badan. Disambut genangan air di terminal Terboyo--terminal bis dan truk yang besar namun tidak terawat. Oper minibus jurusan UNES, berdasarkan petunjuk Adin, saya akan turun di Kreteg Wesi, lalu oper angkot jurusan Sampangan. Saya sudah cukup lama tidak berkunjung ke kota Semarang, memasuki pusat kota dimulai dari kawasan kota lama yang cukup cantik, masuk ke Tugu Muda dengan deretan bangunan kolonial yang dipakai oleh pemerintah, Lawang Sewu yang mulai didatangi pengunjung, Simpang Lima yang menjadi ikon kota, sejumlah pusat perbelanjaan modern, halte Trans Semarang, dan minibus menuju perbukitan. 

Semarang secara geografis adalah unik, secara sederhana terbagi dua Semarang Bawah dan Semarang Atas. Semarang Bawah menuju pelabuhan Tanjung Mas, Semarang Atas meliputi UNES dan UNDIP. Menuju Hysteria yang berada di areal perbukitan adalah menyenangkan, tumpukan rumah di bukit, udara yang cukup sejuk, dan minibus melewati papan petunjuk arah Sampangan di depan rumah sakit Karyadi, wah kenapa saya gak turun sini aja yah kan mau ke Sampangan, karena masih bertahan pada petunjuk dari Adin, tapi ngerasa saya akan keburu nyampe terminal Banyumanik, akhirnya saya tanya ke kondektur, eh saya disuruh turun di PLN karena seharusnya turun di Karyadi, huhu. Turun di PLN, nyebrang ke sisi jalan lainnya, kembali ke Karyadi naek bis damri, lalu oper angkot ke Sampangan, turun di Jalan Kelud, lumayan masih inget jalan ke Hysteria, terakhir saya kesana awal tahun 2011, ini ketiga kalinya saya berkunjung ke Hysteria. TIba di Hysteria disambut Adin dan Purna, workshop belum dimulai.

Saya lapar, merengek ke Purna minta makan, dengan segera Purna membelikan pecel ala Semarang, wah lumayan enak dan sayurnya banyak. Abis kenyang meluncur mandi, Antariksa dan Ami menyusul datang, Ami sempat nyasar saat menjemput Antariksa--fasilitator workshop hari ini--yang datang dari Yogyakarta. Semarang adalah kota ketiga dalam projek Urban Knowledge Development (UKD) yang dicetuskan oleh Rujak Center for Urban Studies yang bertujuan mengumpulkan pengetahuan perkotaan dan menyebarkannya. UKD di Kota Makassar bertajuk Makassar Nol Kilometer, Surabaya bertajuk Ayorek, Semarang bertajuk UGDsmg. Hari pertama workshop penelitian komunitas diasuh oleh Antariksa--pendiri KUNCI Cultural Studies, dengan materi Sejarah Kampung, dengan peserta workshop : Anastasia Dwirahmi (UGDsmg), Adin (UGDsmg), Openk (UGDsmg), Purna (Hysteria), Hasyim (warga Kampung Tugurejo), Noviaji (Asosiasi Design Grafis Semarang), Ashar (warga Kampung  Bustaman), Naka (Teater Ikat), (Ibrahim Lembah Kelelawar), dan saya sebagai perwakilan Ayorek, sayang perwakilan Makassar Nol Kilometer tidak bisa hadir karena Makassar dilanda banjir.

Cuaca mendung, markas Hysteria yang beralamatkan di Jalan Stonen 29 Gajahmungkur, di daerah perbukitan, terbilang dingin bagi saya yang sydah terbiasa dengan Surabaya yang panas, Antariksa mulai menggelar paparan mengenai Sejarah Komunitas berdasarkan sejumlah proyek yang dikerjakan oleh KUNCI Cultural Studies Center seperti Sejarah Keluarga, Sejarah Kampung Juminahan, dan Studi India. Sejarah Komunitas adalah sejarah yang dekat dengan komunitas tersebut, bukan narasi besar seperti Perang Diponegoro, melainkan sejarah yang berkaitan langsung dengan komunitas tersebut seperti sejarah nama kampung, sejarah minuman dan makanan lokal, jadi narasi yang dibuat adalah tentang kita, tentang keluarga kita, dan lingkungan sekitar kita, relevan dengan kehidupan kita. Hal penting lainnya adalah sejarah tidak menciptakan kebenaran tunggal tapi untuk mencari berbagai versi kebenaran, kebenaran yang majemuk. Pengetahuan (sejarah) tidak hanya berasal dari pemerintah, kampus, tapi juga dari warga sendiri, karena warga bukan orang yang bodoh, mereka punya pengetahuan (dan sejarahnya sendiri). Antariksa berbagi cerita mengenai Kampung Juminahan yang berusaha membalikkan citra "sumber masalah" (karena yang tinggal disana adalah copet, PSK, anak jalanan.) Dengan Sejarah Komunitas bermaksud menunjukkan kekayaan berupa pengetahuan dan ketrampilan warga Kampung Juminahan. Pengumpulan kekayaan ini penting karena warga bisa membangun kebanggaan, menghargai diri sendiri, dan bisa mengubah kebijakan secara bertahap. 

Kenapa memilih sejarah? KUNCI punya minat yang besar terhadap sejarah. Yang sering terjadi adalah kita--kelas menengah--terjun ke kampung, membawa persoalan yang bias kelas, jadi penting untuk mengubah cara pandang kita. Dan juga ada gap antara pendidikan di kampus berjarak dengan realitas. Jadi bisa mulai dari sejarah situs dan aktivitas warga. Anak-anak Kampung Juminahan belajar sejarah Indonesia yang melulu perang, bagi mereka sejarah tidak menarik dan tidak berguna (secara langsung) bagi mereka, sejarah jadi tidak ada konteksnya di kampung, maka kita buat sejarah tentang kampung kita sendiri. Penerapan metode Sejarah Komunitas bersifat partisipatoris dan kolaboratif, perlunya observasi pendahuluan, wawancara, pemetaan masalah dan pengetahuan maka akan terjadi pertukaran pengetahuan, warga kampung bisa menghemat banyak jika saling berbagi pengetahuan dan ketrampilan. 

Sejarah dibuat menarik dan lebih dekat dengan warga. Pengetahuan sejarah tidak harus dalam bentuk teks, tapi bisa dengan pertunjukkan seni, video, foto, ilustrasi. Metode Sejarah Komunitas nyaris bisa dilakukan tanpa biaya karena dilakukan oleh warga sendiri, tapi memang butuh banyak waktu. Kita memamfaatkan apa yang ada dan meyakinkan warga bahwa ini adalah kegiatan yang penting bagi mereka. Program bisa berupa pertukaran antar-kampung, pelatihan menulis, menggambar, mencukil, video, fotografi, dan pengarsipan. Bagaimana posisi kita sebagai peneliti, bagaimana menyesuaikan jadwal kita dengan warga, kita bisa memamfaatkan pertemuan rutin warga seperti pertemuan PKK, pengajian, arisan. Kuncinya adalah jaringan dan kolaborasi, jadi kita tidak bekerja sendiri. Untuk komunitas yang tidak memiliki pertemuan rutin seperti Komunitas India di Yogyakarta, KUNCI mendatangi tiap klan. 

UGDsmg akan dilakukan di Kampung Bustaman dan Kampung Tugurejo (dengan output buku dan website) dengan waktu kerja 3 bulan. Dengan waktu yang singkat, menurut Antariksa metode yang visible yaitu dengan wawancara, observasi, dan studi literatur. Metode yang bisa dilakukan : studi literatur juga bisa memamfaatkan studi statistik dari institusi formal, kliping koran, wawancara warga tentang isu yang dipilih, dan kompilasi data dari beragam sumber. Antariksa menganjurkan untuk membuat suatu program yang bisa mendorong warga membuat inisiatif baru saat peluncuran buku dengan mengundang sebanyak banyaknya pihak, sekaligus menjadi kesempatan untuk membahas apa yang bisa dilakukan bersama sama dalam jangka panjang. Hari pertama workshop berakhir dengan memberikan kami sejumlah pilihan yang menarik dan bisa dilakukan dalam waktu yang pendek. 

Sore habis. Saya, Ami, Adin, dan Antariksa bergegas menuju kedai kopi, seperti biasanya ngopi sambil membahas apa saja, sesi yang paling menarik. Menceritakan kegiatan terakhir masing masing, Antariksa yang bulan depan akan melakukan penelitian 6 bulan di Jepang, Adin akan residensi di Jerman akhir tahun ini, Ami yang daftar beasiswa ke Erasmus Huis, saya yang akan melakukan penelitian di Kampung Arab Surabaya, tapi jadi inget pertanyaan yang diajukan oleh kawan saya tadi pagi via whatsup : kamu kapan apply beasiswa? Saya sebenernya jiper kalau mau apply, bahasa Inggris saya kacrut banget. Adin sempat menceritakan kenapa dia memberi nama Hysteria atas komunitas sastra yang ia bentuk, tahun 2008 saat itu dia sangat menyukai lagu Muse yang bertajuk Hysteria, jadilah nama untuk kumpulan kegiatan dan kegilaannya bersama sejumlah kawan. Malam menemani kami kembali ke tempat peristirahatan masing masing (kecuali Adin yang bekerja mencari berita). Semarang dingin. 

Kembali ke Hysteria, hujan gerimis, sejumlah manusia berdatangan, ada Nisa--zinester muda yang menyenangkan, Bagas--musisi noise yang rajin baca buku, Kartun--yang datang ke INF, dan Gagas. Ternyata mereka sudah melihat saya di Solo dan Yogyakarta di sejumlah pertunjukkan musik lokal. Kami pun tanpa henti membahas musik lokal dan lelucon mengenai kedatangan Sigur Ros di Indonesia Mei mendatang sambil makan nasi kucing, teh hangat, dan mendoan bakar. Garna menyusul datang, dia tahun keberadaan saya di Semarang dari timeline Hysteria, senang kembali bertemu dengan dia, lalu kami banyak bertukar cerita. Garna baru pindah kontrakan, berencana menjadikan rumahnya sebagai ruang berbagi. Sama seperti Surabaya, Semarang minim ruang berbagi, Garna merencanakan perpustakaan kecil, studio sablon, ruang dengar koleksi musiknya di rumah barunya. Saya tertarik dengan sejumlah projek yang dibuat oleh Garna seperti Horor Hore--kumpulan penulis horor, saya dikasih sejumlah stikernya, pastinya projek musiknya mulai OK Karaoke, AK-47, Garna Ra, dan yang terbaru duet bersama sang kekasih. 

Cerita lainnya adalah ketertarikan Garna atas sejumlah rumah/bangunan kolonial yang ada di Semarang, rumah kuno tersebut tidak hanya menarik secara arsitektur dan interiornya, tapi pasti memiliki sejumlah cerita mengenai penghuninya. Di Semarang, ada sebuah hotel kolonial yang sudah tidak berfungsi lagi namun ditempati oleh sejumlah orang, tapi sayang Garna belum memiliki akses untuk masuk kesana karena memang sengaja tidak bisa dimasuki oleh orang luar selain penghuni "gelap". Terbayang bagaimana gilanya tinggal di kamar hotel bintang lima di masanya, bagaimana nasib properti dan arsitektur yang ciamik setelah ditinggali oleh sejumlah penghuni "gelap". Saya pun berbagi cerita yang serupa, sejumlah bangunan kolonial yang tidak "bertuan" di Kota Lama Surabaya ditempati secara "ilegal" oleh sejumlah keluarga Madura, sayang mereka tidak terlalu merawat bangunan kolonial tersebut, maka kesan kumuh yang tampak. Oh saya mulai suka dan penasaran dengan kota ini, Semarang seperti Surabaya, kota kolonial (dan kota pelabuhan) yang sekarang ditinggal jauh oleh Jakarta, tapi kedua kota ini menyimpan banyak kejutan yang belum banyak diketahui oleh banyak orang.       

Sudah tengah malam, masih gerimis, kawan kawan mulai meninggalkan Hysteria, hari ini saya lelah nan gembira, Semarang dingin, sepertinya saya akan sakit.

Minggu, 6 Januari 2013
Terbangun sekitar jam 6 pagi karena udara dingin, muncul ide untuk berjalan kaki ke atas bukit, menuju Taman Sudirman. Saya suka kawasan di sekitar Hysteria yang masuk Kecamatan Gajahmungkur, disini berbukit bukit, ini salah satu kelebihan Kota Semarang, rumah rumah terlihat menumpuk di sejumlah bukit, di puncak puncak bukit masih banyak pohon, lumayan berasa olahraga sih karena mendaki menuju Taman Sudirman. Melewati sejumlah rumah kolonial yang terawat dan yang terbengkalai, lalu tiba di Taman Sudirman yang berada di atas bukit, lumayan cantik jika menghabiskan pagi dan sore disini, sayang tidak ada kegiatan warga disini, di Surabaya hampir seluruh taman kota dipenuhi warga siang-malam. Di sekitar Taman Sudirman terdapat sejumlah rumah dengan arsitektur yang memukai, mulai dari kolonial tropis sampai yang bergaya Inggris dengan bata merah dan cerobong asap serta kotak pos merah, yang paling menarik di Jalan Taman Sudirman adalah keberadaan Ereveld Candi. Ereveld adalah makam prajurit Belanda yang dibangun tahun 1946, nisan putih berbentuk salib berbaris rapih diatas bukit, sebuah pemandangan yang tidak seram, di Surabaya juga ada Ereveld tapi posisinya cukup tertutup dengan makam Kembang Kuning.

Puas melihat lihat diatas bukit, saya berjalan kaki turun bukit, rasa lapar datang, makan mendoan di warung bersama para satpam yang menjaga rumah rumah besar di Gajahmungkur, teh hangat menjadi pelipur pagi, melihat sejumlah peseda yang berusaha mendaki jalanan beraspal, susah juga yah bersepeda di perbukitan, sepertinya berjalan kaki menjadi pilihan yang tepat untuk menikmati kota ini. Kaki kembali berjalan menurun menuju Hysteria. Ami datang bersama Antariksa, jam 10 dijadwalkan workshop mengenai CrowdMap, saya yang masih bengong sambil online harus segera mengantri mandi, dan workshop dimulai setlah saya selesai mandi, maap yah antrian mandinya panjang. Sambil menunggu giliran mandi, membaca timeline, Kampung Buku kebanjiran, buku dan penghuninya mengungsi ke sebelah, teringat 6 Februari 2011 sekretariat Hysteria yang terletak di Jalan Stonen 29, tergenang air dan lumpur karena bukit di depan Hysteria longsor akibat hujan deras dan pembangunan sejumlah rumah tanpa AMDAL, saat itu banyak dokumen dan barang Hysteria tidak terselamatkan.    

Tiap peserta workshop berbekal komputer jinjing siap ber-crowdmap. Antariksa memulai dengan sejarah Crowdmap (http://crowdmap.com) yang dipopulerkan oleh platform Ushahidi http://www.ushahidi.com/ yang dibangun sebagai alat bagi siapapun untuk menjalankan crowdsourcing site, platform ini gratis, terbukti dengan mengagregasi suara warga telah memberikan informasi yang mengejutkan. Crowdmap memetakan informasi tematik dalam suatu kawasan, informasi didapatkan dari informan lokal yang kemudian bisa diverifikasi dengan melakukan survei lapangan. Antariksa memberikan sejumlah contoh Crowdmap yang ada di Indonesia : http://klikjkt.co.id; http://petakreatifsolo.crowdmap.com. Antariksa langsung memberikan petunjuk membuat Crowdmap, masing masing peserta memilih tema, Adin memilih tema aktivitas kreatif di Semarang, Ami memilih tema museum di Semarang, Ashar  memilih tema gulai kambing di Kampung Bustaman, saya memilih tema Netaudio di Indonesia. Dalam waktu singkat kami berhasil ber-crowdmap lalu saling memberikan report mengenai tema yang dibuat oleh sejumlah peserta. Saya menyukai media ini, bisa diterapkan untuk tema apa saja, dan mudah digunakan oleh saya yang gaptek. 

Sesi CrowdMap berakhir dengan gembira karena kawan kawan Hysteria sebelumnya telah membuat Peta Lingkar Cinta yang mengajak anak muda Semarang memberikan informasi titik titik tempat favorit mereka di Semarang secara manual, Peta Lingkar Cinta ini bisa dilanjutkan memakai Crowdmap. Antariksa meninggalkan kami, kembali ke Yogyakarta. Kami bersiap untuk narasumber selanjutnya yaitu kawan kawan dari ARKOM Yogyakarta. ARKOM (Arsitek Komunitas http://arkom.or.id/ ) sudah kami kenal dengan sejumlah projeknya yang memang tidak biasa. Rombongan ARKOM dipimpin oleh Lilik yang membawa serta Imam Yudhi--warga kampung bantaran kali di Yogyakarta, saya lupa nama kalinya, pastinya bukan Kali Code. Iman memimpin Paguyuban Kali Jawi yang mengurus kebutuhan utama warga yaitu tanah, karena mereka tinggal di tanah milik negara, tentu saja memperbaiki rumah warga secara gotong royong dan memanfaatkan pengetahuan dan sumber daya lokal, dibantu oleh ARKOM dengan prinsip : menghormati tradisi, budaya, pengetahuan, dan keahlihan rakyat dalam hal rancang bangun, yang percaya dan melaksanakan metode partisipatif. Berkat kerjasama yang berdasarkan kepercayaan maka projek di Kampung Kali Jawi bisa dibilang berhasil, sesuai dengan kebutuhan warga dan dilirik oleh pemerintah. Satu kalimat sakti adalah : mendengarkan warga! 

Workshop hari kedua berakhir dengan cerita cerita lucu dari Imam yang diundang bersama ARKOM ke India untuk presentasi mengenai projek Kali Jawi. Saya mulai merasa lebih sakit, ternyata saya menstruasi hari pertama, kalo gini pengen gak ngapa-ngapain, lalu saya tertidur karena sakit yang sangat terasa. Saya tertidur cukup lama, terbangun karena lapar, tapi lumayan rasa nyeri berkurang, jam 10 malam, kawan kawan Hysteria sedang meeting untuk projek Cinta Arsip sekaligus tur Filastine di Semarang. Saya salut dengan Hysteria, hanya sejumlah orang yang mengerjakan projek besar ini, mengarsipkan kegiatan kesenian di Semarang. Saya lalu keluyuran di Sampangan cari makan, ketemunya mie godok. Kenyang, kembali ke Hysteria, online, tidur lagi.    

Senin, 7 Januari 2013
Jadwal hari ini adalah kunjungan ke Kampung Bustaman dan Kampung Tugurejo, saya sudah yakin hari ini pasti penuh kejutan. Setelah membeli sarapan roti bantal dan bekal makan siang nasi campur, dengan menumpang mobil Ami, saya, Ashar, Andi meluncur ke Kampung Bustaman yang berada di salah satu gang Jalan MT Haryono--sentra perdagangan di Kota Semarang. Saya mengutip paragraf yang ditulis oleh Budi N.D. Dharmawan dalam "Pioner di Celah Dua Loka" dalam National Geographic Indonesia, Mei 2012 :  

"Nama Kampung Bustaman di bagian utara Kota Semarang, Jawa Tengah, diambil dari Kyai Bustam--pembantu bupati Semarang pada pertengahan abad ke-18. Banyak keturunan Bustam kemudian menjadi penguasa lokal di daerah pesisir utara Jawa. Ayah dan ibu Raden Saleh, juga pamannya yakni Bupati Semarang Surahadimanggala V, merupakan cucu Kyai Bustam. Kampung Bustaman kini merupakan satu dari dua pusat pemotongan kambing di Semarang." 

Sebelum saya menjejak Kampung Bustaman, sudah terbayang kekayaan sejarah di kampung tersebut, begitu melewati gapura Kampung Bustaman di gang berukuran dua meter, semerbak aroma rempah rempah menyapa kami, dua ibu yang sedang memisahkan lemak dari daging kambing turut menyapa kami yang memang terlihat sebagai turis, berhenti sejenak mendengarkan penjelasan dua ibu mengenai aktivitas hariannya, mereka sedang mempersiapkan rambak kambing yang hanya disajikan saat lebaran, jadi mereka sedang menyicil pesanan. Kami diltunjukkan 3 jenis rambak kambing : rambak sure, rambak kencet, rambak tapawulung, dibedakan berdasarkan posisi otot/lemak yang diambil, menurut mereka rambak kambing lebih enak daripada rambak sapi, harganya juga lebih mahal. Seorang bapak yang bernama Haji Yusuf salah satu kolega mereka dengan baik hati menjelaskan tentang kampungnya, dia keturunan India, salah satu jurugan kambing, kami juga cerita bahwa kami ke kampung ini untuk membuat buku mengenai Kampung Bustaman. Saya diberi dua bungkus bumbu kering untuk gulai dan tongseng yang biasanya dijual 500rupiah per bungkus.  

Pak Ashar menghampiri kami untuk menjadi guide keliling kampung, kami pun berjalan menyusuri gang yang hanya terdiri dari 2 RT, sekitar 80 kepala keluarga yang tinggal disini, cukup kecil dan bisa dijangkau dengan waktu penelitian yang cukup singkat. Sepanjang gang, para wanita memasak bumbu galian (kelapa parut yang disangrai kemudian diperas untuk diambil minyaknya) yang menjadi kunci dari bumbu gulai kambing. Saya membeli satu bungkus kecil galian seharag 2500rupiah, diberi bonus bumbu dapur oleh sang ibu yang membuat galian dari jam 9 pagi sampai jam 12 siang. "Ini New York", saya terkejut saat seorang ibu memberi kalimat sambutan saat kami melewati rumah kecilnya yang penuh dengan barang bertumpuk. Kenapa New York? Sang ibu bercerita, kampung ini hidup selama 24 jam nonstop, mulai dari jagal kambing sampai jual gulai kambing, banyak orang luar kota yang langsung datang dan membeli bumbu gulai ke kami, seperti New York kan, selalu ramai, saya hanya mengangguk karena belum pernah ke New York. Kalau Pak Ashar memberitahu kepanjangan dari Bustaman = Tembus tapi aman, yah Kampung Bustaman menjadi gang tembusan ke Pekojan--Kampung Arab di Semarang. 

Pak Ashar mengajak kami ke Rumah Pemotongan Hewan (RTH) milik salah satu juragan kambing, menempati gudang yang sebelumnya digunakan oleh orang Tionghoa, ada patung kepala kambing menancap di dinding atap. Tentu saja bau kambing yang kami nikmati, aktivitas penjagalan dimulai tengah malam hingga jam 3 pagi, sekitar 60 kambing per harinya, warga sudah berusaha mengolah limbah, tapi saya lupa bagaimana pengolahannya, terpaku oleh properti RTH. Selanjutnya kami mengunjungi sudut pemotongan daging untuk sate kambing, sejumlah pekerja pria yang adalah warga sekitar kebanyakan berasal dari Kudus, menjadi buruh potong dan sunduk sate kambing. Ini pengalaman pertama saya, melihat siklus kambing hidup menjadi gulai kambing, semuanya di satu kampung : Bustaman. Hal lain yang jadi kebanggaan warga adalah MCK Umum hasil program Sanimas yang masih difungsikan oleh warga, lantai dasar MCK, lantai atas dipakai untuk ruang belajar anak anak, kami istirahat sejenak disana, cukup nyaman dan bersih disini, memang ini jadi salah satu tempat kumpul warga. Oleh warga, kami diberi donat kentang yang baru matang dan mencicip rujak sayur--sayur dikasih bumbu rujak, enak nan segar. 

Kami masuk ke rumah Ibu Srihartati, rumah kolonial yang tidak besar, di kampung ini terdapat sejumlah rumah kolonial dan rumah jengki. Pak Ashar memperkenalkan Ibu Srihartati yang berusia 60 tahunan sebagai keturunan dari Kyai Bustam. Saya pun mengajukan banyak pertanyaan ke beliau karena beliau ramah dan pastinya banyak punya cerita. Srihartati tidak mengenal Raden Saleh, belaiu mengenal setelah diberitahu oleh koleganya bahwa Raden Saleh seorang pelukis yang terkenal adalah keturunan Kyai Bustam, beliau hanya tahu lukisan Raden Saleh yang ada di keraton Yogyakarta adalah tiga dimensi, jadi bisa mengikuti mata yang melihat lukisan tersebut. Sepertinya saya tidak bisa banyak tanya mengenai Raden Saleh, pertanyaan beralih ke kehidupan pribadi Srihartati, sebagai anak semata wayang, dia sangat disayang oleh orangtuanya, saat tentara Gurkha datang menyusur Kampung Bustaman, Srihartati yang saat itu masih bayi dan sedang dalam gendongan sang bapak, bermaksud diambil oleh tentara Gurkha, sang bapak memohon sangat untuk tidak mengambil bayinya, peristiwa itu dilihat oleh seorang juragan kambing, sang juragan dengan beraninya meminta sang tentara untuk meninggalkan Kampung Bustaman dan tidak mengambil sang bayi, sang tentara dijanjikan oleh sang juragan akan dikirimi kambing, sang tentara langsung melenggang pergi, wah kisah yang menarik. 

Kami tidak bisa berlama lama menggali cerita karena ada jadwal kunjungan selanjutnya ke Kampung Tugurejo, kawan kawan UGD tentu akan kembali ke kampung ini untuk menggali sejarah Kampung Bustaman. Dengan mobil kami menuju Kampung Tugurejo di Kecamatan Tugu. Ami mengajak saya ke toko buku bekas impor bertajuk BOKBOS (sebenernya saya bingung membaca palang nama toko ini), menempati bangunan kolonial yang cukup terawat, kami disambut deretan buku bekas yang dijual mulai harga 25.000 - 150.000rupiah, saya betah lama lama di rak buku anak anak, meskipun kebanyakan terbitan Disney, yah lumayan lah. Koleksinya cukup banyak dan beragam, mulai dari science, politic, craft, novel. Ada sejumlah kursi yang empuk, jadi kami cukup betah keliling dan membaca punggung buku. Saya membeli The Rivers of the Mandala : Journey Into the Heart of Buddhism, sebuah buku travel dengan 400 lebih ilustrasi, terlihat menyenangkan. Kami meluncur ke Kampung Tugurejo, melewati kawasan Tanah Mas yang sekarang dikenal sebagai daerah rawan banjir, padahal ada perumahan mewah disana. Terjebak kemacetan selama satu jam di perempatan Kali Banteng, tumpukan truk dan pembangunan flyover menjadi penyebabnya, untung kami bawa bekal makan siang, jadinya makan siang di mobil, sambil mengutuk kemacetan. 

Hujan turun dengan deras, Ami menyetir dengan pelan pelan biar aman, kami mulai masuk Kampung Tugurejo, jalanan mulai mendaki, ternyata kampung ada di areal perbukitan, lalu tiba dengan selamat di rumah Hasyim--aktivis Kampung Tugurejo, disambut dengan beragam camilan dan teh hangat serta keluarga kecil Hasyim. Adin juga baru sampai, dia basah kehujanan karena naik sepeda motor, sambil menunggu Openk dan geng ARKOM, kami menghabiskan makanan yang disajikan, kami lumayan kedinginan dan kelaparan. Hujan masih deras sampai sore hampir habis, saat tinggal gerimis kami lalu ke atas rumah Hasyim, disambut pemandangan yang indah nan ganjil, indah dengan bukit bukit hijau, ganjil dengan keberadaan 5 pabrik besar dengan cerobong asapnya yang mengirim racun ke bumi. Kami bisa melihat situs penting yang berada di atas bukit : Watu Tugu yang adalah batas kerajaan Majapahit dengan kerajaan Pajajaran, di sebelah Watu Tugu berdiri semacam candi yang dibangun tahun 80-an oleh pemerintah kota Semarang. Kampung Tugurejo diapit oleh industri, tentu saja isu lingkungan menjadi permasalahan di kampung ini. 

Hujan gerimis menemani kami berjalan kaki menuju outlet pabrik yang diketahui oleh warga telah mencemari kali yang melintas di kampung mereka, ternyata kami harus melalui ladang jagung dan sawah, tentu saja jadinya semacam becek becekan sambil hujan hujanan, seru. Yang tidak seru adalah melihat limbah pabrik yang mencemari kali. Sore semakin habis, kami sempat mampir ke taman kanak kanak yang memiliki kebun sayur dan sejumlah rusa yang dipelihara, sangat menarik tapi sayang anak anak menghirup polusi, sepanjang jalan kami mencium bau bumbu mie instan, memang ada pabrik Indomie disana. Kami tidak ke Watu Tugu karena malam segera datang, kami kembali ke Hysteria lewat tol dalam kota, hari ini kenyang sekali dengan fenomena. 

Nisa menunggu saya di Hysteria, dia memberikan 3 edisi Au Revoir, zeen bikinannya, sambil bercerita macam macam, sayang saya belum sempat berjalan jalan di kota Semarang bersamanya. Nisa meninggalkan Hysteria, saya berusaha untuk istirahat, kondisi kesehatan semakin menurun. 

Selasa, 8 Januari 2013         
Ami sudah tiba di Hysteria jam 7 pagi, saya terbangun dan ikutan sarapan roti bantal, lalu mandi. Karena Ami bertugas sebagai keuangan untuk projek UGD, maka saya sharing mengenai cara kerja saya sebagai keuangan untuk projek Ayorek. Untuk Ayorek kami bekerja memakai Google Drive, memang mudah untuk siapa saja yang bisa menggunakan Internet. Amo tertarik dengan cara kerja kami, jadi Ami juga menggunakan Google Drive untuk membuat laporan keuangan, cara yang efektif untuk kerja kolektif, kita bisa berbagi informasi dengan cepat dan efektif. Hari ini adalah hari terakhir workshop, hari ini akan membahas rencana kerja untuk projek Kampung Bustaman dan Kampung Tugurejo yang menjadi pilot project UGD untuk selanjutnya diterapkan di 8 komunitas lainnnya.   

Sambil makan siang, mereka membahas rencana kerja dan lingkup penelitian. Karena hanya 3 bulan maka untuk Kampung Tugurejo dipilih lingkup yang lebih kecil yaitu Kampung Kapling. Mulai dijadwalkan sejumlah tahapan mulai dari workshop fasilitator, pelatihan warga, forum warga, studi literatur, pencarian data, peluncuran web, forum diskusi, penyuntingan naskah, pembuatan buku, 
festival kampung. Hujan pun turun dengan deras. 

Sore datang, hujan masih turun, workshop berakhir dengan pengumuman rencana pertemuan selanjutnya. Saya berniat kembali ke Surabaya malam ini, tidak jadi melihat penampilan Filastine, badan masih gak sehat. Hujan reda, saya nekad jalan jalan ke pusat kota, naik angkot turun di Simpang Lima dengan trotoar yang lebar dan deretan mal. Sebenernya berniat ke Lawang Sewu, tapi sepertinya saya salah naik angkot, baru membuka peta digital, seharusnya sama menuju Tugu Muda bukan Simpang Lima, yah lain kali deh ke Lawang Sewu. Setelah mengitari Simpang Lima masuk ke Jalan Gajah Mada, berniat ke Jalan Depok, makan di restoran vegetarian Karuna yang direkomendasikan oleh Nisa. Lapar sudah menanti sejak tadi, masuk ke Karuna yang lagi sepi pengunjung, langsung disambut ramah oleh sang pelayan, terkesima dengan deretan masakan sayuran dan tahu, saya pesan garang asem, nasi putih, bakwan sayur, dan liang teh. Sedikit menit, saya sudah melahap nikmat garang asem, ya ampun enak banget. 

Malam datang dan saya kekeyangan, menghabiskan seluaruh makanan dan minuman yang saya pesan, tidak menyisakan sebutir nasi, sesuai dengan petunjuk yang menempel di dinding restoran. Berjalan kaki ke Toko Oen, saya pengen beli roti buat sangu perjalanan ke Surabaya, melihat peta digital, berjalan menyusuri Jalan Pemuda, tiba di Toko Oen gak ada roti, akhirnya melirik ke toko roti De Koning, dengan logo yang lawas, saya yakin rotinya enak, beli roti tawar seperti biasanya. Masuk ke Jalan Gajah MAda sambil nunggu angkot ke Sampangan, toko toko mulai tutup berganti dengan pedagang sate madura, baru kali ini melihat deretan panjang warung lesehan sate madura, dengan properti yang display yang mirip mirip. Lanjut naek angkot, nyampe Hysteria bertemu dengan Purna yang sedang siap siap berangkat ke Liquid untuk pertunjukkan Filastine, saya sekalian pamit kembali ke Surabaya. Saya menunggu minibus jurusan Terboyo yang tak kunjung lewat, sudah jam 9 malam, mungkin sudah tidak ada yang lewat. Semarang dingin, saya merasa mual, sepertinya saya terlalu kenyang dan sebentar lagi akan memuntahkan semua isi perut, dan itu terjadi. 

Saya berdiri di sebelah selokan, memuntahkan garang asem dan nasi putih, saya telah berdosa membuang nasi putih, ini adalah muntahan terbanyak seumur hidup. Memutuskan naek taksi ke Terboyo, lima menit di dalam taksi, muntah lagi, untung saya sedia plastik, sang supir memberikan tissue sambil memberikan saran minum soda untuk mengusir angin, lalu tiba di belakang bis patas jurusan Surabaya, cukup beruntung. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar