Senin, 14 Januari 2013

Aaron Swartz Bunuh Diri dan Saya Jalan Kaki


Aaron Swartz by Ragesoss, on flickr

Surabaya, 13 Januari 2013
Badan ini masih lelah setap bangun tidur, sepertinya saya harus berolahraga atau memeriksakan diri ke dokter, kondisi pasca-perjalanan di Semarang cukup menghambat aktivitas. Saat bangun tidur tapi belum kuat untuk ngapa-ngapain, yang bisa dilakukan adalah membaca timeline via telepon pintar saya, selain sapaan selamat pagi ada sejumlah kicauan penting muncul seperti protes terhadap pemangkasan masa jabatan komisioner KOMNAS HAM menjadi satu tahun, Bonnie Triyana dari majalah Historia berkicau mendukung (atau mocking) Farrat Abbas menjadi bapak bangsa eh pahlawan proklamator. Berita pagi ini yang bikin sedih adalah Aaron Swartz bunuh diri, gantung diri, pria muda baru berusia 26 tahun, the co-creator of RSS, bergabung dengan Lessig membangun Creative Commons tahun 2002, a hero of the free culture movement. Aaron dituntut oleh pemerintah Amerika Serikat hukuman penjara 35 tahun dan denda jutaan dollar karena perbuatannya nge-hack jutaan jurnal M.I.T untuk disebarkan gratis ke publik, telah menghabiskan banyak dana selama proses hukumnya, dan diduga dia bunuh diri karena tekanan atas tuntutan hukum padanya. Betapa sedih membaca kenyataan ini, seperti sejak Maret 2012 Bassel Khartabil--open source developer--dipenjara, Bassel adalah volunteer to major Internet projects like Creative Commons (www.creativecommons.org), Mozilla Firefox (www.mozilla.org), Wikipedia (www.wikipedia.org), Open Clip Art Library (www.openclipart.org), Fabricatorz (www.fabricatorz.com), dan Sharism (www.sharism.org). seperti yang saya baca di salah satu artikel : "Because destroying the free and open Internet is a very, very smart strategy to save the copyright industry."

Kesedihan Lessig dan kawan kawan seperjuangan lainnya cukup bisa saya rasakan, di lingkungan saya ada sejumlah kawan yang berbuat seperti Aaron, meng-hack situs journal untuk mengakses gratis lalu  menyebarkannya ke publik, bukan untuk keuntungan pribadi melainkan demi publik, masyarakat berhak atas pengetahuan, sudah tidak relevan lagi universitas (dan lembaga penelitian lainnya) mengunci hasil hasil penelitian mereka, masyarakat harus membayar mahal untuk mengakses pengetahuan. Gerakan Open Source masih belum berasa di Indonesia, setelah saya dan geng c2o library mengikuti Konferensi Creative Commons Asia Pasific, kami tambah gregetan untuk bisa mendorong kampus kampus terutama UNAIR dan ITS yang adalah almamater kami untuk membuka akses journal bagi publik, hasil penelitian hanya menumpuk berdebu di perpustakaan dan server mereka, pengetahuan harus dibebaskan! Tanggal 28 Januari 2013 mendatang kami akan mengikuti seminar nasional mengenai Open Source di Universitas Kristen Petra yang memang sudah lebih maju secara pemikiran pengarsipan ketimbang almamater kami. 

Berita Kematiaan Aaron membuat saya kelaparan, badan pun bergerak keluar kamar, ke Pasar Gubeng membeli roti, kembali ke kost, mandi dan memasak makan siang pasta telur, jam 11 siang bersepeda ke c2o library, jam 12 jadwal meeting bersama Erlin dan Kat membahas bisnis travelling, yah tahun ini kami akan memulai bisnis jalan jalan di kota Surabaya dan Jawa Timur, semacam yang telah dilakukan oleh Via Via Yogyakarta, mengadakan tur jalan kaki, tur bersepeda, tur kuliner, ini akan menyenangkan. Selepas meeting perdana kami, Lukman Simbah datang bersama Navis, mereka tengah mengerjakan Traveller in Residence yang kedua, Navis dan Rendy menjadi dua artist-nya. Lukman mengajak saya untuk survei lokasi di Kaliasin, saya mengangguk setuju karena memang pengen bisa jalan kaki disana, di kampung belakang Tunjungan Plaza, kampung yang berada di pusat kota Surabaya, dicekik oleh sejumlah bangunan komersial. 

Sore datang saat kami tiba di Ranch Market, saya mengingat pengalaman pertama menemani Andriew dan Antariksa makan di Eat & Eat, untuk masuk ke gedung saya terkaget dengan persimpangan parkiran mobil dengan gedung, ada gang kecil, dan terjadi keluar masuk kendaraan bermotor roda dua warga kampung keluar masuk gang, pemandangan yang ganjil, kampung dan pusat perbelanjaan modern berdesakan. Kaget lainnya saat tiba di Eat & Eat, pemandangan dari kaca adalah sejumlah atap rumah warga. Pengalaman ganjil ini juga dirasakan oleh Lukman Simbah, maka dia mengajak kami untuk menyusuri kampung yang ada di belakang bangunan megah ini. Kami bertiga masuk ke Gang Kaliasin II, bertemu rumah rumah yang berdempetan dengan jalan setapak kecil, banyak yang menggelar jasa kost dan cuci baju, tidak heran karena kampung ini berada tepat dibelakang sejumlah pusat perbelanjaan modern dan gedung perkantoran. Satu yang khas properti kampung adalah kendi air minum yang ditaruh di depan rumah, gratis diminum oleh para musafir, kami menemukannya di sejumlah rumah. Berpapasan dengan banyak anak anak yang sedang bermain sore, ibu ibu yang sedang membersihkan beranda rumahnya, bapak bapak yang mengangkat jemuran, pedagang air berkeliaran, sore yang riuh di kampung. 

Masuk ke Gang Plemahan, kami menyaksikan bubaran pertandingan (judi) burung sepertinya, banyak bapak bapak memegang uang taruhan, salah satu kegiatan sosial yang nyata ada di kampung. Masuk Gang Kedung Turi yang bersebelahan dengan hotel JW Marriott, menyaksikan anak anak riang gembira bermain air, cukup menyayangkan masa kecil saya yang biasa biasa saja, saya hanya bermain boneka, masak-masakan, dan membaca di rumah, anak rumahan banget. Kami bertemu dengan Jalan Embong Malang dengan trotoar yang lebar dan bersih namun sedikit pejalan kaki, menyebrang di jembatan penyebrangan, mengamati sejenak lalu lintas di hari minggu, lalu menyusuri Jalan Tunjungan dengan banyak bangunan kolonial yang memukau. Melewati Gedung Monumen Pers Perjuangan Nasional yang pernah menjadi Kantor Berita Indonesia/Antara, membaca pamflet yang berisi protes terhadap PT Pakuwon Jati yang telah merusak gedung bersejarah tersebut.  
    
Kami masuk ke Tunjungan Gang I, dan disambut oleh rumah berasitektur jengki yang membuka salon, wuahh bisa nih bikin trip sambil nyalon, Navis yang adalah anak Kami-Arsitek-Jengki sama seperti saya baru pertama kali ke Kampung Tunjungan, ini kampung lama karena banyak rumah kolonial dan sejumlah rumah jengki, penghuninya pun beragam dari Jawa, Tionghoa, Madura. Navis menunjukkan ke kami mengenai detil arsitektur jengki, seperti permainan teralis, dinding yang diukir, jendela yang bermain bentuk, atap yang unik, memang menarik! Kami menuju Makam Mbah Buyut Tondo yang berada di Gang Ketandan Lor, dengan bantuan warga lokal kami berhasil mencapainya, karena disini banyak gang, pasti bisa nyasar. Sebelumnya Carlos menginfokan ada situs makam kuno di Kampung Tunjungan, dan kami terkejut dengan makam yang terawat dibawah naungan Pohon Bringin, terdapat balai budaya semacam pendopo, anak anak yang bermain disana, dan kami menemukan sejumlah rumah jengki lainnya. 

Masuk ke gang lainnya, yah kami cukup memakai insting untuk memilih gang yang akan kami masuki, kami memilih Gang Ketandan Baru II, disambut setapak pavingan dengan pohon palem di kanan kiri, wah menarik, menyapa sejumlah warga lokal yang sedang menghabiskan sore duduk duduk di beranda rumah. Masuk ke gang lainnya, menemukan rumah jengki yang menarik dengan jendela lingkaran di bangunan yang melengkung dan ukiran di langit langit rumah. Berkenalan dan ngobrol sebentar dengan warga lokal : Pak Suryadi yang lahir dan besar di kampung ini, dia menempati rumah kolonial yang sudah rusak sana sini, tidak ada biaya untuk merenovasi, dia menyadari keberadaan Empire--gedung besar yang biasa dipakai untuk resepsi pernikahan--dan Hotel JW Marriot yang berusa mengokupasi kampungnya, pernah ditawari harga tanah 6juta/m2, harga yang murah dan mereka tolak. 

Kami menuju Kebangsren, singgah ke rumah Maya yang sudah 4 generasi tinggal disana, sebagai titik terakhir jalan kaki sore ini selama 3 jam, rute yang menarik untuk Manic Street Walkers. Kami makan dan minum, sambil nonton salah satu serial di National Geographic, mengamini yang menjamur di kampung saat ini : TV kabel. Malam dan gerimis turun, kami bertiga kembali ke c2o library, istirahat sambil online. Navis undur diri, saya dan Lukman menuju Hello Surabaya, menghadiri kopidarat Dua Ransel--travel blog yang dikelola Dina & Ryan pasangan yang hidup nomaden, saya kagum dengan pilihan hidup mereka. Tiba disana sudah puluhan orang yang berkumpul, saya duduk di kursi yang tersisa, berkenalan dengan samping kanan kiri dan depan, saling bertukar pengalaman perjalanan, dan kebetulan mereka penasaran sama c2o library, jadilah satu sesi mempromosikan kegiatan c2o library. Dina dan Ryan sibuk ngobrol dan berfoto bersama, mereka ramah dan suka berbagi pengalaman, itu penting sekali buat saya dan banyak pejalan pemula, masing masing yang datang diberi kartupos bergambar Ryan yang sedang menikmati landscape di Greenland. 

Dina memperkenalkan Anid ke kami, doi cewek kelahiran Magelang berusia 29 tahun yang baru saja road trip di Australia, New Zealand, dan Eropa setahun ini berbekal visa working holiday di Australia. Jadilah cerita seru menggugah mengenai perjuangannya, mulai dari resign dari pekerjaannya yang telah mapan sebagai project manager sebuah biro design di Yogyakarta, menyiapkan visa dan perlengkapan, presentasi pilihan hidupnya ke keluarga, tiba di Perth tanpa pekerjaan dan tempat tinggal, bekerja kasar untuk hidup dan menabung biaya liburan, menyadari bahwa jarang sekali perempuan Indonesia yang backpacking sendirian. Satu pertanyaan saya ke Anid : apa yang kamu takutkan selama di perjalanan? Hampir tidak ada yang ditakutkan, mungkin ketidaknyamanan dia saat di Moroko, semua lelaki menatap buas ke dirinya yang memang berwajah imut, bagaimana energi terbagi untuk menjaga diri dan menikmati perjalanan, dan takut gak punya duit, setelah uangnya habis dipakai trip ke New Zealand (bekerja casual selama 3 bulan bisa untuk biaya liburan 3 bulan), Anid kembali ke Australia mati matian mencari kerja apapun. Sebelum Anid bisa membiayai tempat tinggal sendiri, untuk mula mula dia couchsurfing di Perth, menumpang di rumah seseorang anggota couchsurfing, tapi tuan rumahnya tidak asik, tidak terlalu berinteraksi dengan dirinya, sibuk dengan laptopnya, berbeda dengan gaya couch-surfing di Indonesia yang kebanyakan tuan rumahnya ramah, yah tipikal orang Indonesia sih. Anid cerita kalau sekarang kebanyakan couchsurfing di Indonesia ada anak anak muda yang cuma pengen nongkrong sama bule bule, tidak benar benar berniat berbagi budaya. Saya barusan baca blognya Anid : http://nonaransel.blogspot.com/ sangat menggugah. 

Obrolan mengenai perjalanan memang tidak akan berakhir dan selalu menarik, jam 10 malam, saya cukup lelah, setelah berpamitan, bersepeda pulang ke kost, menikmati jalan yang lenggang dan dingin bersama kenangan dan harapan.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar