Kamis, 27 Desember 2012

Desember 2012 bagian 2 : di bumi pemuda rahayu



Jam 4 pagi kembali ke kost, setelah semalam bersama Andan, Benny, Lukman, dan Remy. Setelah kemas kemas berniat tidak tidur karena sebentar lagi akan berangkat ke Yogyakarta, tapi yah tertidur. Terulang lagi : terbangun 06.45 dan kereta Sancaka menuju Yogyakarta adalah 07.00, kelupaan memasang alarm, buru buru ganti baju, menyambar backpack dan totebag, memakai sepatu, pamitan dengan induk semang, berlari menuju Stasiun Gubeng, masuk ke gerbong 30 detik sebelum kereta meluncur, jantung berdebar, keringat bercucuran, dan kelaparan.

Bantul, 10 Desember 2012
Saya, Kat, Andriew, Iwan menuju Yogyakarta (lebih tepatnya Bantul) untuk mengikuti pertemuan nasional Urban Knowledge Development (UKD) yang digagas oleh Rujak Center Urban Studies (RCUS) yang melibatkan tiga kota : Surabaya, Makassar, dan Semarang. Sejak semalam geng Makassar sudah tiba di Bumi Pemuda Rahayu (BPR)--tempat baru milik RCUS. Jam 12 siang dijemput oleh Elisa, bersama geng Semarang kami menuju Dlangu, Imogiri, Bantul. Teringat cerita singkat dari Wednes mengenai keindahan Imogiri, saya pun siap untuk bertemu dengan Imogiri, begitu memasuki perbukitan mulailah pemandangan yang membuat mata terlena, seperti kelas pekerja yang terlena berlibur di pedesaan, tumpukan bukit hijau, makam raja raja mataram, dan hutan! Puncaknya adalah melewati hutan pinus ditemani gerimis, ahhh perut jadi tambah lapar. 

Perjalanan satu jam lebih membuat perut tambah liar, tiba di BPR disambut bangunan berkonstruksi bambu dengan ikatan ilkatan yang bagaikan bulu hewan dan tanah merah yang siap menempel di alas kaki kami. Dian dengan sigap membagikan kamar, seluruh peserta di kamar barak, hanya saya dan Elisa mendapat kamar senior (dari namanya sudah pasti berbeda fasilitas dengan kamar barak). Saya sekamar dengan Elisa, mendapatkan jendela dengan pemandangan kumpulan pohon bambu, kamar mandi dengan lantai keramik putih yang gak sesuai dengan konsep kamar yang unfinished (dinding batu bata yang gak diplester, lantai semen). Segera menuju hall, makan siang soto (tanpa ayam) sambil ngobrol ngobrol dengan geng Makassar (Jimpe, Daeng Ipul, Barack, Cora, Daeng Nun) dan geng Semarang (Openk, Andi). Mengamati sejumlah bangunan yang ada di BPR : rumah joglonya Marco, pendopo, bangunan tempat tinggal, bangunan workshop, teater pohon, dan banyak bibit pohon yang barusan ditanam di pekarangan BPR. Jadi RCUS dan Arcom hanya sedikit memotong pohon, konstruksi bangunan mengikuti pohon, wihhh salut. Dengan udara yang lumayan dingin bagi saya yang sudah terbiasa dengan panasnya kota Surabaya, sepertinya saya akan sakit. 

Rasa kenyang menemani presentasi awal dari tiga kota. Geng Makassar sudah sangat berjalan dengan Makassar Nol Kilometer [dot] com dan telah bekerjasama dengan sejumlah radio lokal untuk membuat program tentang Makassar Kontemporer, malah salah satu radio membuat radio show dengan tajuk yang sama : Makassar Nol Kilometer, membuat iri media lain, yah memang nama Makassar Nol Kilometer berkarakter. Geng Semarang diwakilkan oleh Openk menjelaskan proyek UGD (Unit Gawat Darurat) dua situs : Kampung Tugu dan Kampung Bustaman. Kampung Tugu memiliki situs Watu Tugu dan dikelilingi oleh industri sedangkan Kampung Bustaman adalah kampung Arab, keduanya memiliki keunikan dan masalah masing masing, saya jadi pengen cepet cepet ke Semarang dan mengunjungi dua kampung tersebut. Geng Surabaya disuarakan oleh Kat menjelaskan sejumlah kegiatan yang diselenggarakan oleh ayorek seperti lokakarya penulisan untuk materi buku dengan tema Surabaya Kekinian. 

Sore habis, udara mendingin, sesi selanjutnya adalah persiapan materi presentasi publik, hujan badai datang, lampu mati, kedinginan, makam malam telah siap : sayur sop, menahan dingin dengan wedang jahe yang nikmat karena memakai gula aren, kekhawatiran orang kota macam saya dan elisa hanya berlangsung dua jam, listrik kembali menyambar BPR, saya bergabung dengan geng Surabaya di kamar Iwan, Kat dan Andriew mempersiapkan materi presentasi besok. Karena mata ini sangat mengantuk, saya duluan pamit tidur, tidak lupa janjian untuk jalan kaki besok pagi. Elisa sudah tertidur, hari ini dia juga masih gak fit, saya pun merasa akan sakit.

Bantul, 11 Desember 2012 
Terbangun dengan udara dingin, bersyukur telah tidur nyenyak, mendekati jam 6 pagi, bergegas ke barak, mengajak Iwan Andriew Kat Dian berjalan kaki di sekitar BPR menikmati pagi, bertemu dengan suasana pedesaan, maklum anak kota, kegirangan melihat sawah dan kebun, menyapa warga lokal, sejam berjalan kaki cukup menyenangkan, besok kami akan berjalan kaki ke hutan pinus. Mandi dan siap untuk sarapan, setelah siang datang kami menuju Yogyakarta untuk presentasi publik di iCAN, kami kembali menikmati hutan pinus dan bukit bukit di Imogiri dari balik jendela bis. Pemandangan indah dibarengi rasa mual karena kekenyangan, masuk angin, dan berada di dalam bis ber-Ac dan saya pun muntah saat tiba di Yogyakarta. Lumayan abis muntah rada enakan, membalur perut dengan minyak kayu putih, makan siang di Bu Ageng dan terhubung dengan Internet, yay! Hehe awalnya seneng ke BPR tanpa ada koneksi Internet, lumayan retreat, tapi ternyata ada Internet di BPR meskipun kemarin terputus karena badai. 

Jam 1 siang tiba di iCAN dan beristirahat sambil online, sejam kemudiaan setelah sejumlah tamu datang, dimulailah presentasi dari geng Makassar dengan menampilkan banyak tabel grafis mengenai website Makassar Nol Kilometer yang mendapat banyak sambutan positif dari warga Makassar karena menyajikan isu isu lokal yang memang penting untuk disuarakan dan juga mengenai pengetahuan sejarah kota Makassar. Geng Makassar sudah bagus di online maka selanjutnya mereka menggelar acara offline, Januari mendatang akan dilangsungkan workshop penataan Pasar Terong--pasar tradisional yang akan dijadikan pasar modern. Geng Semarang menyajikan Cerita dari Semarang (penggunaan kata "cerita" bukan kata "sejarah" membuat nyaman untuk semua kalangan), cerita dari Kampung Tugu dan Kampung Bustaman, menarik! Geng Surabaya diwakili oleh Kat memaparkan program secara sistematis dan memamerkan temuan teasure hunting di Surabaya. 

Sore hampir habis, presentasi selesai, geng Makassar dan Semarang menuju TBY untuk menonton ketoprak, geng Surabaya jalan jalan sendiri ke Cemeti dan Kunci dan makan malam bersama sambil membahas dan berbagi pandangan setelah dua hari di BPR. Sekitar jam 8 malam kami bergabung di TBY, saya dan Iwan melipir ke Societet, bertemu dengan Gembul dan doi ngasih katalog Festival Film Dokumenter 2012, yay. Sempat bertemu Arkham dan bertukar cerita mengenai filem yang dia tonton, sayang saya melewatkan banyak filem di FFD tahun ini. Telepon selular saya berbunyi, Kat meminta saya untuk segera bergabung dengan rombongan, kami kembali ke BPR. Sepanjang jalan pulang membahas ketoprak dengan Dede Oetomo dan skena Semarang dengan Openk. Tiba di BPR segera masuk kamar, kedinginan, sedikit demam, Elisa memberikan Tiger Balm, membalurnya di perut, super-hangat, tidur pulas.  

Bantul, 12 Desember 2012
Bangun dengan sedikit semangat, badan sedikit lemah, masih jam 5 pagi, gosok gigi lalu ke barak membangunkan Andriew dan Iwan, Kat sudah bangun (doi selalu bangun pagi), kami berempat akan jalan kaki ke hutan pinus, semangat pun berdatang saat kami mulai berjalan mendaki ke hutan pinus. Berjalan kaki menelusuri jalan beraspal dengan banyak pohon di kanan kiri, melihat sejumlah workshop pengrajin bambu, menyapa sejumlah warga lokal yang berpapasan dengan kami, menemukan titik pandang di atas bukit melihat kota Yogyakarta dari atas, kami sudah memasuki kawasan hutan pinus yang dikelola oleh pemerintah, yah ini semacam hutan lindung. Wuahhh akhirnya masuk ke hutan pinus, disambut batang pinus yang langsing berderet deret menuju langit, daun daun pinus yang rontok bergabung dengan tanah yang becek, dan nyamuk yang kelaparan. Hutan homogen macam hutan pinus memberikan atmosfer kemonotonan yang menyejukkan. Kami tidak berlama lama bengong menikmati kesunyian hutan pinus, segera kembali ke BPR untuk mengikuti jadwal pertemuan. Yah kami berjalan kaki dengan gembira, ini retreat bagi kami. 

Mandi dengan giat lalu sarapan nasi goreng yang wuenakk, dua jempol untuk ibu ibu sekitar BPR yang menjadi juru masak BPR. Dengan kenyang memulai workshop desa-kota, tapi kayaknya lebih satu arah, yaitu desa, warga dusun sekitar BPR yang juga bekerja udi BPR berbagi pengalamannya sebagai penjual pintu dan pengrajin bambu. Saat tinggal di Jakarta saya pernah melihat orang yang menjual pintu yang diangkut dengan gerobak dan berkeliling kota, itu semua adalah warga Dlangu, mereka musiman menjual pintu di Jakarta, sekaligus menjual kerajinan bambu seperti nampah. Satu hal yang penting adalah mereka lebih nyaman tinggal di desa, di kota hanya untuk mencari uang saja. Fakta lainnya adalah cara mereka mengangkut daun pintu ke ibukota, karena barang dari kayu harus memiliki serentetan ijin dan membayar banyak pungutan liar, mereka mengelabui polisi dengan menutup daun daun pintu dengan kerajinan bambu. Ibu ibu yang menjadi pengrajin bambu menjelaskan secara singkat tahapan membuat kerajinan bambu, setidaknya ada 9 tahapan, huhu dan itu semua dilakukan oleh tangan, pekerjaan yang membutuhkan kesabaran. 

Makan siang sudah siap saji, meskipun perut masih kenyang tetap memutuskan makan, saya masih tidak enak badan, Iwan juga, Jimpe juga, maklum kami anak kota pelabuhan yang terbiasa dengan cuaca panas, disini kami kedinginan. Gerimis dan udara dingin menemani kami evaluasi program masing masing kota dan program UKD secara keseluruhan, terbagi dalam 3 kelompok, saya bergabung dengan Daeng Ipul, Cora, Openk, dan Asfar. Masing masing kami banyak bicara mengenai program masing masing kota sambil merespon satu sama lain. Di akhir evaluasi, Cora berkomentar mengenai Manic Street Walkers, dia melihat kami di sebuah stasiun TV nasional, memberikan saran untuk menanggalkan kamera yang kami bawa saat berjalan kaki untuk lebih banyak berinteraksi dengan warga kota yang kami temui. 

Sore sudah habis, saya tidak mandi, malam datang, Barack kegirangan karena menu makan malam adalah ikan goreng, dia sudah merindukan ikan, banyak yang melewatkan makan malam karena masih kenyang, hehe emang nih kalo sama anak anak RUJAK berat badan kami bertambah, perut selalu dalam keadaan penuh. Kami segera berangkat ke Kalasan dengan bis, menuju Ketoprak Tobong, Iwan gak ikut karena dia demam. Saya membawa cardigan, syal, dan minyak kayu putih, Kalasan sepertinya dingin, saya pun kembali muntah setelah tiba di Kalasan, abis muntah terasa lebih nyaman. Disambut dengan hangat oleh Vinka, Antariksa, dan Risang Yuwono--anak sang juragan Ketoprak Tobong. Sedang berlangsung Tobong Project yang dikelola oleh iCan, sebagai salah satu usaha untuk menyelamatkan Ketoprak Tobong yang vakum sejak tahun 2010. Terkagum dengan teater keliling macam ini, pertunjukkan hanya 2 kali seminggu, rabu malam dan sabtu malam, harga tiket 5000rupiah, sejumlah pria dalam rombongan kami langsung menuju warung untuk merokok, saya dan sisanya meluncur ke belakang panggung, disana sedang berlangsung koordinasi antar-pemain untuk lakon yang dimainkan malam ini, tanpa naskah tertulis, jadi lisan gituh diarahkan oleh seorang pria tua yang kayaknya berperan sebagai sutradara, lumayan kaget dengan pemandangan kamar kamar kecil dari papan kayu, inikah yang disebut Ketoprak Tobong, mereka berpindah pindah dan membangun panggung sekaligus tempat tinggal mereka selama sejumlah waktu. Risang menjelaskan mengenai kehidupan para seniman Ketoprak Tobong, hidup berpindah pindah, tanpa "rumah" dan kampung halaman, karena mereka hidup berkelana, dari satu wilayah ke wilayah, lahir dan besar di jalan, tanpa identitas karena mereka tidak menetap disuatu wilayah. Saya mengintip ke para wanita dan pria yang sedang merias diri dengan make up tebal dan memakai kostum, juga mengintip isi kamar mereka yang hampir tidak ada ruang untuk bergerak leluasa, hanya untuk tidur dan menyimpan barang barang. 

Risang mengajak kami menonton foto foto yang ditembakkan ke layar putih, disini dibuat semacam layar tancep dengan arsitektur tanpa paku, ikatan ikatan pada bambu, asjik! Toilet juga baru dibangun dengan material bambu. Kembali ke foto foto yang adalah karya kolaborasi Risang dengan Helen Marshall (fotografer dari London) dan para seniman Ketoprak Tobong, karya yang mengejutkan kami, para seniman Ketoprak Tobong dengan kostum mereka ditempatkan di sejumlah ikon kota Yogyakarta seperti Alun Alun Kidul, tembok bermural, rel kereta api, Monjali, mereka terlihat sangat mencolok tanpa terkesan aneh. Kejutan lainnya adalah kami dibawa ke atas panggung, berfoto dengan sejumlah backdrop yang disebut kelir, mulai dari kelir hindia molek sampai penjara. Dan pertunjukkan dimulai, kami mengisi kursi di deretan depan, pengunjung lainnya yang kebanyakan orang tua berdatangan, lakon malam ini adalah tentang kudeta, saya lupa kudeta apa, maklum bahasa Jawa saya payah banget. Kejutan lagi adalah Openk menjadi peran pembantu di Ketoprak Tobong, wuahh kami pun senang melihat kawan kami diatas panggung, sama halnya dengan kesukaan saya melihat kawan sendiri bermain musik di atas panggung. Kami tidak tuntas menonton Ketoprak Tobong, rombongan pulang ke BPR, yah kami cukup lelah, saya buru buru tidur dengan Tiger Balm teroles di perut.      

Bantul, 13 Desember 2012
Saya merasa lebih sehat, segera mandi, dan berkunjung ke rumah ibu Heni Marlina yang memasak makanan kami selama pertemuan nasional ini, mereka tengah menyiapkan sarapan tahu guling, wah potongan tahu tempe bacem dan irisan seledri begitu menggoda. Sambil curi curi bicara dengan mereka, mereka senang dengan adanya BPR, ada keramaian di dusun mereka, dan tentu saja menambah pemasukan, saya juga berharap demikian, BPR tidak menjadi asing dengan warga sekitar. Sarapan dimulai, habis sepiring tahu guling dan sejumlah potongan kue oleh oleh dari Batam yang dibawa Marco.

Acara terakhir pertemuan nasional ini adalah presentasi evaluasi yang kami kerjakan kemarin. Dimulai dari kelompok kami, Daeng Ipul menjadi juru bicara sekaligus juru gambar, memaparkan hasil bincang bincang kami. Evaluasi untuk geng Makassar adalah cakupan masih online, struktur tim masih lemah, kekurangan pengetahuan teknis mengenai tata kota. Evaluasi untuk geng Semarang adalah koordinasi antara warga kampung dengan pelaksana masih kurang, belum ada gerakan online, belum ada pertautan antara dua daerah penelitian dan dengan kota secara keseluruhan. Evaluasi geng Surabaya adalah pilihan isu yang berbeda dengan 2 kota yang lain (bukan isu masalah perkotaan), terlalu banyak kegiatan dalam dalam program UKD, hambatan dalam pemetaan komunitas karena masih adanya kecurigaan. Evaluasi Pertemuan Nasional UKD : sharing antarkota menambah pengetahuan baru, perlunya pertukaran (saling kunjung) antarkota. 

Tim Andriew saya skip karena agak membingungkan, langsung ke tim Kathleen yang memaparkan Kekuatan Geng Makassar :  pengelolaan media sosial (dan massa) yang baik; pengalaman, modal sosial, kepercayaan telah ada; tidak ada penokohan, egaliter; ethos online bisa dengan mudah diterapkan ke offline; keikutsertaan mahasiswa, tidak hanya dosen. Kelemahan : teman2 media melihat Makassar Nol Kilometer sebagai bisnis; kurang SDM dan beragam gender.  Kesempatan : ISSN untuk website; Wiki Makassar; membuat buletin; memakai lisensi Creative Commons; membuat versi bahasa Inggris; cek etnohistori.org sebagai pembanding. 

Kekuatan Geng Semarang : situs yang menarik nan kompleks. Kelemahan : belum ada benang merah antara dua pilot project (Kampung Bustaman & Kampung Tugu). Kesempatan : sejarah kampung sangat menarik untuk dikerjakanl fokus 1 tempat (pertimbangan SDM dan waktu). Kekuatan Geng Surabaya : cikal bakalnya beragam bentuk media; batasan jelas untuk komunitas dan ruang berbagi; unggul dalam visualisasi; proyek lintas-bidang. Kelemahan : kurang modal sosial dan belum ada jaringan media massa mainstream. Kesempatan : ISSN untuk website ayorek; ISBN untuk buku ayorek; publikasi bulanan; volunteership; membuat kelas menulis dengan jangka belajar yang cukup panjang; inventarisasi ahli berbagai disiplin ilmu.

Dian melanjutkan dengan rencana UKD selanjutnya, diputuskan untuk membuat platform bersama yaitu website, dengan koordinator proyek: Daeng Ipul dan saya sebagai asistennya, Andriew didaulat untuk membuat logo, wuahh ini bakal jadi tugas tambahan kami di tahun 2013, tapi seneng juga sih karena memang pengen bisa menyebarkan ide pengetahuan perkotaan ini ke kota lainnya di Indonesia. Pertemuan nasional UKD ditutup dengan saran kritik untuk BPR, seperti lantai kamar mandi yang licin,dan aturan larangan merokok di bawah atap yang cukup ketat. Geng Surabaya makan siang dengan kilat karena kami akan turun ke Yogyakarta segera, mengucapkan sampai jumpa ke geng Makassar dan Semarang karena kami akan berkunjung ke kota mereka tahun depan. Kami menghabiskan hari di Yogyakarta, berkunjung ke IVAA, nyore bersama Yoshi dan Iwan, lanjut ke KUNCI istirahat sampai malam datang lalu sendirian ke FFD, janjian sama Rangga, setelah makan malam kami melihat filem dokumenter : Himself He Cooks tentang aktivitas para relawan di sebuah kuil di India saat mempersiapkan 1000 porsi makanan untuk orang yang tidak mampu, bagaikan sebuah tarian massal yang indah. 

Karena mengantuk dan duduk di kursi empuk di ruangan ber-AC yaitu Societet saya sempat tertidur karena terbuai dengan visual dan monotonitas gerakan manusia yang indah dari Himself He Cooks. Rangga mengantar saya ke Stasiun Tugu. Tengah malam Kat, Andriew, dan Iwan bergabung menunggu kereta Bima jam 1 pagi, berharap kami tidur nyenyak di kereta.  

Tentang BPR bisa diintip di http://bumipemudarahayu.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar