Mata terbuka, gawat matahari sudah bersinar, ini sudah pasti lewat dari jam 5 pagi, kenapa alarm hp saya gak nyala, dasar hp baru, buru buru liat jam tangan yang selalu saya letakkan di sebelah bantal, pukul 05.45, huhu waktu saya hanya 15 menit untuk sampai di Stasiun Gubeng, buru buru pipis karena memang kayaknya kebangun karena kebelet pipis, tanpa mandi dan gosok gigi langsung ganti baju, menyambar semua bawaan, pakai sepatu, dan segera jalan cepat menuju Stasiun Gubeng, 9 menit tersisa, dengan lari lari kecil akhirnya berhasil naek kereta Pasundan tepat sebelum berangkat, ya ampun kenapa kejadian ini selalu terulang sih, dan Solo adalah tujuan pertama perjalanan saya kali ini.
Solo, 30 Nopember 2012
Sepanjang perjalanan kelaparan, teringat semalam tidak makan dan pergi tanpa sarapan juga, malas membeli makan di kereta, berniat makan siang yang banyak di Solo. Tiba di Solo Jebres jam 11 kurang, langsung ke toilet, cuci muka dan gosok gigi, lalu Topik menjemput saya. Kami makan siang di depot langganan yang berada di depan UNS, namanya kalo gak salah Poek We, depot prasmanan dengan menu yang sangat beragam, enak nan murah. Saya udah jarang ke Solo, selalu hanya numpang lewat saat ke Yogyakarta, saya pengen jalan kaki keliling Solo, selama ini selalu sama anak2 Tugitu naek sepeda motor. Selanjutnya kami ke markas Tugitu yang berada di daerah Jagalan--banyak depot jagal babi dan sapi disana--tepatnya di Jalan Gotong Royong, yang adalah rumah peninggalan eyangnya Yohanes Prima alias Yopri, saat ini menjadi markas sejumlah kegiatan seperti Tugitu, Srawung Photo Forum, dan biro design-nya Kebo.
Lokasi rumah eyangnya Yopri sangat ok, masuk gang kecil, dan berada di pojokkan, cukup nyaman, dan ada ruang terbukanya sebagai "gudang" usaha dekorasi manten milik keluarga Yopri, disambut oleh Yopri dan Dayat, wah lumayan rapih markas mereka. Bowo masih tidur karena mereka habis begadang bikin mural dukungan anti-korupsi dan kampanye Jujur Itu Hebat. Sementara anak2 sholat Jumat, saya dan Yopri ngobrol soal forum fotografi di Indonesia, yang sudah terkenal adalah Chepas Photo Forum, di Bali dan Solo baru tahun ini terbentuk, dan Yopri adalah salah satu penggagasnya : Srawung Photo Forum, minggu ini mereka akan memamerkan karya di Car Free Day. Selepas Jumatan, obrolan dilanjutkan bersama Topik dan Hilman membahas merchandise yang masing masing kami produksi yang telah menjadi sumber pembiayaan proyek kolektif kami, bagaimana sejumlah para pembeli merchandise mengharapkan bonus atas barang yang kami jual, padahal barang yang kami jual itu udah bagus loh, menurut saya tidak perlu dapat bonus karena kami menjual barang yang bagus dan terbatas, meskipun dalam kenyataannya saya selalu memberi bonus berupa stiker dan zine tanpa mereka memintanya, malah kalo diminta bonus jadi malah males ngasih bonus. Saya membeli kalender 2013 terbitan Tugitu yang menggemaskan karena artworknya ajaib dan Tugitu edisi ke #12 yang berkolaborasi dengan Racun Cinta yang juga apik, dapat bonus banyak sticker :)
Siang sudah habis, saya dan Topik serta seorang kawan lagi yang saya lupa namanya meluncur ke Lokananta, menghadiri Festival Lokananta yang dikerjakan oleh Belukar, ingin mengikuti tur museum Lokananta yang menjadi salah satu rangkaian acara festival. Lokananta adalah perusahaan rekaman pertama di Indonesia dan masih aktif sampai sekarang. Begitu tiba di Lokananta, menelan ludah, festival ini disponsori oleh sebuah korporasi rokok, nama Festival Lokananta saja sampai tidak terlihat, logo korporasi rokok mendominasi muka gedung Lokananta, sangat bersyukur INF tidak jadi memasukkan proposal ke pihak tersebut. Menelan ludah lagi setelah membeli tiket dan bertanya mengenai jadwal tur museum Lokananta, sang penjual tiket tidak tahu, kami bertiga lanjut masuk Lokananta, bertanya kembali ke beberapa panitia, tidak ada yang tahu detil tur museum Lokananta, saya malah disuruh bertanya ke ketua penyelenggara.
Yah daripada melulu kesal tidak mendapatkan informasi mengenai tur museum, kami masuk ke toko Lokananta yang menjual kaset dan piringan hitam, sang petugas juga memutarkan lagu lagu rilisan Lokananta dalam format mp3, aduh wuapik nan unik cover album yang dipamerkan, kapan kapan mampir lagi kesini untuk membeli rilisan Lokananta. Lanjut ke museum yang memamerkan perlengkapan produksi, seperti alat perekam, alat pengganda, speaker, dan mesin mesin yang saya tidak tahu itu apa karena tidak ada penjelasan tertulis atas mesin tersebut, huhu kecewa nih gak ada tur museum Lokananta, kalo disuruh jalan sendiri itu mah bukan tur, mending ada brosur atau apalah ini gak ada sama sekali, saya yang awam dengan Lokananta perlu bantuan guide untuk menjelaskan Lokananta. Kami sempat mampir ke pameran e-gamelan, sebuah aplikasi maen gamelan, wuah. Hujan turun, di panggung utama tampil band yang saya tidak tahu, saya hanya tahu Down For Life. Workshop recording di gedung studio dan produksi juga belum dimulai, kami menuju ruang lainnya, ternyata ada pameran fotografi panggung, ada Denan yang memamerkan karya apik nan monumental yaitu Terbujurkaku dan Seeksixsick saat INFGIG. Ternyata ada film screening : Jago Tarung, dari poster filem nya menarik, kami bertiga masuk dan ternyata yang bikin filemnya adalah kenalannya Topik namanya Bani, kami melewatkan filem dokumenter band metal andalan Solo : Down For Life, kami menonton filem nya Bani berjudul Ealah, hahha filem pendek yang bikin saya ealah heheh.. dan pastinya Jago Tarung, waduh cantik ginih, menampilkan sambung ayam di Laweyan dengan adegan pertarungan manusia sebagai penutupnya, huhu cukup seram bagi saya yang tidak hobi nonton filem action ditambah aroma ciu yang menyelinap di ruang tonton. Tiba tiba ada yang nyapa, eh ternyata Dimas Billy Dean Street.
Diskusi atas 2 filem yang diputar : dokumenter Down For Life dan Jago Tarung dimoderatori oleh seorang mualaf metal : Nanang Musha yang dengan ganyeng membimbing para penonton yang tidak banyak jumlahnya (sayang banget padahal filem nya bagus loh). Dari hasil diskusi, saya tahu kalo dokumenter Down For Life tidak fokus, terlalu macam macam yang diambil, dan adalah tugas akhir dari Tomi--sang sutradara, pertanyaannya apakah Tomi bisa membuat yang lebih serius dan bukan terpaksa karena ini adalah syarat kelulusannya. Jago Tarung adalah moment dimana para scenester lintas-genre di Solo berkumpul, mereka menjadi tokoh dalam fiiem tersebut, hal yang sangat langka. Bani lahir dan besar di kampung tersebut, dia ingin membuat tribut untuk kampungnya, dan sepertinya berhasil karena warga setempat menyukai Jago Tarung, dan tetap bisa menjadi hipster meskipun pelihara ayam. Selepas diskusi saya membeli DVD Jago Tarung senilai 30k bonus poster, dijual juga sih kaosnya, tapi duit cash saya gak cukup. Sambil kenalan langsung dengan Bani, Tomi, dan Nanang, dan memberi mereka Indonesian Netaudio User Manual, ternyata mereka tahu Indonesian Netaudio Festival dan Nanang pun datang, Tomi pun tertarik karena dia kerja di Solo Radio.
Hujan masih turun, sudah mendekati jam 6--jadwal keberangkatan kereta Senja Utama Solo menuju Jakarta. Tomi menawarkan bantuan mengantarkan saya ke Stasiun Balapan Solo dengan sepeda motor plus jas hujan, saya pun mengiyakan, meninggalkan Topik di Lokananta, dia gak bawa jas hujan jadi tertahan di Lokananta. Berpamitan dengan sejumlah kenalan baru lalu menuju halaman depan Lokananta yang menjadi parkir motor dadakan, dan bertemu dengan Denan dan Ashari, wuahh buru buru bilang bahwa karya Denan sangat mengharukan dan bagus, lalu mengucapkan sampai jumpa, saya dan Tomi menembus hujan yang makin deras menuju Solo Balapan sambil ngobrol soal kegiatan masing masing. Hanya dalam waktu 15 menit saya sudah tiba di stasiun, mengucapkan sampai jumpa dan berhutang nonton filem dokumenternya. Tujuan selanjutnya adalah Jakarta. Cukup kelaparan karena tidak ada ransum dan malas membeli makanan di restorasi, berniat besok sarapan besar : roti Tan Ek Tjoan di Cikini.
Jakarta, 1 Desember 2012
Tiba jam 4 pagi di Stasiun Pasar Senen dan memang jadinya bingung, masih pagi banget. Diputuskan untuk mandi, melihat papan bertuliskan "toilet gratis", saya menuju kesana dan mandi, dari kemarin gak mandi. Meskipun ada tulisan "toilet gratis" tapi ada seorang pria duduk di depan muka pintu toilet sambil memegang setumpuk duit ribuan, yah terpaksa saya melepas 2000rupiah. Sebenernya saya senang dengan sejumlah kebijakan baru PT KAI, seperti pembatasan jumlah tiket untuk kereta ekonomi, pengantar dilarang masuk ke peron, fasilitas charger dan toilet gratis. Jam 5 pagi mulai berjalan kaki ke Cikini, Jakarta habis hujan semalam, separator busway ditinggikan dan dicat warna kuning, melewati bioskop Grand, menyusuri Jalan Kramat, lalu masuk ke Jalan Raden Saleh. Tan Ek Tjoan buka jam 7 pagi pas dengan kedatangan saya, wuahh ini pertama kalinya saya berkunjung ke Tan Ek Tjoan di Jalan Cikini, roti favorit yang menjadi menu sarapan hampir setiap pagi sejak saya kecil sampai SMA, tukang roti Tan Ek Tjoan dengan sepeda roda tiga membawa box berisi beragam roti, tapi Bapak selalu membeli roti tawar, roti tawar isinya banyak dan lebih murah daripada roti isi, sampai sekarang saya pun selalu membeli roti tawar, meskipun roti isi selalu menarik visualnya.
Maka pilihan saya jatuh ke roti tawar, harganya masih terjangkau, 10ribu, dengan ukuran yang cukup besar, saya juga beli roti coklat jahe yang leluconnya bisa dipakai sebagai palu karena rotinya keras, tapi enak! Sarapan roti yang enak ditambah aroma roti yang menemani saya duduk di dalam toko, beberapa properti vintage membuat toko ini ciamik. Cukup lama saya di Tan Ek Tjoan, lanjut jalan kaki ke Jalan Johar, ngitarin Jaksa, wah baru kali ini nih, dan banyak losmen yang murah, kapan kapan bisa cari losmen disini, lalu beristirahat di warnet. Melihat jadwal Europe on Screen, jam 1 nanti ada screening di Goethe Institut, mengabarkan ke Oxal saya akan kesana. Sebenernya mau makan siang gado gado tapi gak nemu akhirnya mendarat di sebuah depot, makan sayur asem, sayur asem Jakarta emang yang paling top :)
Di Goethe ternyata juga ada pameran fotografi dalam rangkaian Chop Shots, ada dua fotografer yang memamerkan pencarian mereka atas bioskop lokal. Philip Jablon mendokumentasikan bioskop lokal yang masih aktif maupun yang sudah mati di Burma, Thailand, dan Laos, memang tidak berbeda jauh dengan kondisi bioskop lokal di Yogyakarta yang didokumentasikan oleh Feri Latief yaitu Bioskop Permata. Jam 1 siang diputar "El Bulli: Cooking in Progress"--filem dokumenter tentang sebuah restoran di Italia yang menutup restorannya selama 6 bulan untuk melakukan penelitian menu baru, sangat sangat menarik menyaksikan proses kreatif mereka sebagai sebuah tim koki. Selepas menonton, saya dan Oxal bersama Titing dan Macan beristirahat sambil makan roti Tan Ek Tjoan sambil baca zine sambil ngisi task notebook Titing yang adalah hadiah ulang tahunnya dari Oxal, handmade-task-notebook yang menggemaskan :)
Wuahh sudah jam 4, sebenernya saya janjian sama anak anak Tugitu cabang Jakarta (Pakdeath, Dilla, Shiro) di Dia.Lo.Gue untuk menikmati bersama SmArt Dialogue dan pembukaan pameran Personal Project. Mengobrol kilat nan padat sama Oxal dan Titing sambil nunggu kopaja, saya menuju Kemang. Perjalanan dengan kopaja 2 jam karena Kemang macet, mobil memenuhi jalan jalan sempit di Kemang. Tiba dengan selamat dan cemas karena kawan kawan Tugitu sudah menunggu saya sejak sore, buru buru masuk ke Dia.Lo.Gue yang cukup menawan karena di dalamnya cukup luas dan apik, menemukan Pakdeath, Shiro, Dilla, Towel, dan Kebo berkumpul di satu meja, melegakan melihat mereka dan kami cukup lama tidak bertatap muka, buru buru minta maap atas keterlambatan saya yang amat ini. Tidak lama Pakdeath, Towel, Kebo mengundurkan diri karena sejak siang sudah di Dia.Lo.Gue. Saya dan Dilla keliling pasar seni, ada boothnya Ika Vantiani, Simalakamma, dan Muka Malas, dan masih banyak lagi booth asjik lainnya. Bersua dengan geng Yogyakarta : Wok The Rock, Elia, Moki, dan saya akhirnya membeli dompet Simalakamma :)
Selanjutnya adalah pembukaan pameran Personal Project oleh sang kurator : Mia Maria, mengundang para artist yang hadir malam itu untuk sedikit berbicara : Wok The Rock, Tisa Granicia, Radi Arwinda, Kinez Riza. Personal Project adalah eksebisi dari 10 seniman yang membuat proyek personal sebagai instrumen mencapai pemahaman (dan kebahagiaan), sebagai self-expression, self-enhancement, self-exploration, dan self-extension. Angki Purbandoro membuat instalasi buku bertajuk "Hot Book", buku buku tebal yang dengan cover majalah porno didalamnya; Saya kelewatan tidak melihat karyannya Agung Kurniawan (belakangan saya sadar pas Wok posting foto handphone yang tergeletak di lantai Dia.Lo.Gue dan sedang di-charge); Wok The Rock memamerkan kios Burn Your Idol; Kinez Reza menampilkan sejumlah notebook yang penuh dengan diari grafis dan teks perjalanannya di Kayan Mentarang, Borneo; proyek Tisa sangat apik dengan membuat semacam taplak dengan kantong plastik; Keke Tumbuan menyebarkan koleksi foto fotonya dan artwork Superbad; Anton Ismael memberikan kejutan dengan kolase fotonya; Radi Arwinda berbicara dengan sang bantal; Reza Afisina menggemakan produk apparel yang diproduksi di berbagai negara.
Bertemu dengan Novan Indra, Gooodit, Ghalis, dan Sawi Lieu dan menikmati Sigmund yang telah menjadi band yang hangat dibicarakan dan segera dirilis oleh Yes No Wave Music dan saya yang baru pertama kali melihat Sigmund langsung terkesima! Jam 9 malam acara menuju akhir, Retha mengabarkan menuju Kemang, kami berdua lanjut supper di Kedai--restoran milik Tika Jahja--yang hanya berjarak 100 meter dari Dia.Lo.Gue. Wah memang oke nih Kedai, saya baru pertama kali kesini, Kedai mengabungkan barang barang vintage (dan bekas) menjadi properti restoran. Saya pesan grill tempe, Retha pesen bakwan, Retha bertanya panjang lebar mengenai INF dan dia bercerita panjang mengenai jatuh bangunnya dia bekerja untuk TI, pertengahan 2013 akan resign, dan sejauh ini cukup puas dengan pencapaian TI terutama kepada anak muda dengan gerakan "Jujur Itu Hebat" dan saat ini dipakai oleh KPK serta gerakan anak muda lainnya (http://jujurituhebat.net).
Yendi menawarkan menginap di kostnya di Jalan Bangka, wah dengan senang hati saya menerimanya, karena saya berpikir untuk nyari losmen di Jaksa sekalian besok datang ke acaranya ruru. Berpisah dengan Retha, menuju kost Yendi naek ojek, dan Kemang tetap macet meskipun sudah lewat tengah malam. Yendi menyambut dengan badannya yang panas, dia lagi flu dan berniat pulang ke rumah orangtuanya di Bekasi, jadi saya akan memakai kamarnya selagi dia pergi. Mandi dan segera tidur, makasih Yendi saya tidur nyenyak di kamarmu.
Jakarta, 2 Desember 2012
Terbangun jam 8 pagi, ahh berasa tipikal hari minggu kelas pekerja : nonton TV kabel, yah tanpa meninggalkan kasur saya nonton serial Sherlock Holmes. Sarapan roti selai coklat, mandi, dan meninggalkan Jalan Bangka jam 11 siang. Mampir ke warnet yang sangat lemot, makan siang gado gado yang pastinya enak, dan membeli buku di Yard Sale Aksara, naek kopaja ke Blok M, oper bis kota ke Sarinah, jalan kaki ke Galeri Kunstkring, menghadiri pameran The Sweet and Sour Story of Sugar yang adalah sebuah proyek kolaborasi antara ruangrupa dan Noorderlicht. Disambut petugas keamanan yang langsung menggiring saya ke lantai 2, wih megah bangunan kolonialnya. Diskusi sudah dimulai, huhu saya kelamaan di jalan, Andi Achdian sedang berbicara mengenai perubahan sosial budaya dengan diterapkannya Tanam Paksa dan kehadiran pabrik gula. Saya duduk disebelah Toro Elmar--seniman muda favorit saya, kami janjian bertemu disini. Jompet melanjutkan dengan memutar video art yang merespon monotonitas aktivitas mesin pabrik gula dengan seorang pria menari jaran kepang, Jompet juga share tradisi lokal warga sekitar Pabrik Gula di Yogyakarta yang disebut Cembengan. Wah saya yang menyukai sastra kolonial yang kebanyakan ber-seting pabrik gula dan sering melihat pabrik gula di Jawa Timur sangat menikmati diskusi ini.
Bubar diskusi saatnya menikmati karya karya, meskipun sedikit terganggu oleh pendapat seorang kenalan saya anak Surabaya Tempo Dulu, dia bilang ngapain mamerin foto foto pabrik gula dan para administrator yang bisa diakses di website Museum Tropen dan LKITV, saya menimpali bahwa ini adalah bagaimana mengeksplor media dan menyajikan sejarah ke publik, saya jadi bete. Menikmati sejumlah video hasil workshop ditemani lagu mars Sugar Town yang diulang ulang tanpa membuat bosan. Lanjut memasuki kelontong Sugar Town, wuahh bikin gemes merchandise nya, saya beli bantal dengan sarung bercap Pabrik Gula Garoem, huuhu kenangan manis saya denga Blitar. Giliran barter dengan Toro, memesan Amuk Redam, saya membawa paket zine, lalu Toro pulang duluan. Saya di balkon sambil ngobrol sama Paul, Andan dan Jompet, lalu jam 6 kami bubar. Menuju Stasiun Pasar Senen naek kopaja dan tiba sebelum kereta Bogowonto melaju ke Yogyakarta, ini pengalaman pertama saya naek kereta ekonomi AC, tampilan cukup ok, hanya kursinya sama dengan kursi kereta api kelas ekonomi jadi tetep bikin pegel karena perjalanan jauh. Yang sangat berbeda adalah penumpangnya, karakteristiknya sama dengan penumpang kereta eksekutif, pria pria ber-laptop, wanita wanita ber-tab, sebelah saya adalah pria muda ber-iPhone, dengan bantal Goela Garoem saya tidur sepanjang jalan.
Yogyakarta, 3 Desember 2012
Subuh di Stasiun Tugu, menunggu matahari terbit dengan melahap 1984, bahagia sekali bisa membaca karya sastra hebat ini, saya yakin Soeharto juga membaca novel ini. Menuju kost dengan trans jogja, lanjut cuci baju dan istirahat lagi, saya masih mengantuk. Siang baru jalan, pertama ke Jogjatronic beli softcase buat macbook air saya, lumayan dapat yang murah. Lanjut jalan kaki ke Popeye nyari master tape tapi kehabisan stock. Tujuan utama hari ini adalah Taman Budaya Yogyakarta (TBY), sedang berlangsung 7th Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF), jam 1 siang berlangsung seminar "Re-dreaming Asia" dengan menghadirkan Garin Nugroho--founder JAFF, Tank--film maker asal Filipina, dan founder Netpac yang saya lupa namanya, dengan moderator Dina Rumah Sinema. Dengan ganyeng Garin menjelaskan kecenderungan film dokumenter di Asia yang saat ini bisa dilihat dari pergerakan film di Filipina meskipun tema yang diambil masih isu kelas marginal (terutama kemiskinan), tapi Tank memilih tema yang berbeda, tema yang lebih personal dan yang ada di lingkungan keluarganya, jadi lebih ke pengalaman personal. Sang Netpac kembali ke Asia setelah melanglang di festival film Barat, dia memutuskan untuk membantu film festival di Asia karena disinilah dia lebih berguna, di Barat sudah banyak orang yang membantu.
Bubar seminar, nonton maraton film Filipina dan Srilangka : Mondomanila - Kahun Dela Cruz, August Drizzle - Aruna, Cartas de la Soledad, sayang banget dikit yang nonton, padahal film film yang apik, terutama karyanya Tank. Audience JAFF memang paling banyak saat fillm Indonesia yang diputar, entah ini kemajuan atau kemunduran, pdahal film film Asia itu banyak yang bagus, malah saya yakin para film maker Indonesia terinspirasi dengan film maker Asia macam Abbas Kiarostami. Saya gak enak badan, memutuskan kembali ke kost, makan malam di angkringan langganan, dan segera tidur.
Yogyakarta, 4 Desember 2012
Wok The Rock menginformasikan mencari master tape di Bulletin Ambarukmo Plaza (Amplaz), cukup siang baru berangkat kesana naek trans jogja, ini pertama kalinya masuk Amplaz, terbilang mal mewah, mulai keliling nyari Bulletin sampai pusing gak nemu, akhirnya menemukan counter informasi, sang petugas menginformasikan Buletin sudah lama tutup, huhu. Makan siang di depan Amplaz, naek trans jogja ke TBY, nonton Obscured Histories, abis film bertemu Alia di lobby Societet, dan sedang berlangsung diskusi "Menatap Indonesia dari Tepi", terlihat Paul Agusta, dan lumayan banyak para pemuda pemudi yang menyimak diskusi. Setelah ngobrol singkat dengan Alia membahas persiapan Festival Film Dokumenter (FFD) saya nonton Ex-Press dan sangat menikmati karena saya menyukai Kereta Api dan apa apa saja yang bisa kita rasakan saat berjalan di jalan besi.
Rangga menyusul datang, kami akan melihat filmnya Paul Agusta: Parts of My Heart. Kami dapat tiket karena mengantri awal, tidak lama tiket pun habis. Sambil menunggu jadwal pemutaran, saya meminta Rangga menemani mencari master tape di Malioboro Mal, tapi ternyata Bulletin juga sudah tutup, Rangga mengajak mencari di Ramai, dan memang ada Buletin disana, dan satu satunya di Yogyakarta yang masih beroperasional meskipun dengan kondisi yang cukup menyedihkan, banyak ruang kosong di display, dan tidak ada master tape, hanya sejumlah kaset kosong, kembali kecewa, kami buru buru kembali ke TBY. Antrian waiting list ada di lobby Societet, kami langsung masuk dan dapat kursi paling depan, yah gini kalo filem Indonesia pasti banyak peminatnya. Bertemu dengan banyak kawan : Ocha1, Ical, Ocha2, Komang, Harrys. Sang sutradara Paul Agusta kemudian memberikan banyak kata dengan suara pemalu dan sedikit grogi, doi sharing Parts of My Heart adalah pengalaman personalnya, terdiri dari 7 filem pendek, dan filem pun dimulai.
Karena pengalaman personal, Parts of My Heart menceritakan perjalanan hidup seorang gay bernama Peter, mulai dari cinta monyet sampai pernikahannya, tentu saja banyak audience yang tertawa dengan karakter Peter dan sejumlah pasangannya, melihat dua pria berkasih kasihan masih menjadi hal yang tabu di Indonesia. Sebenernya saya gak terlalu suka sama filemnya, melulu soal cinta, meskipun cinta juga menjadi hal penting dalam hidup saya, dan soundtracknya ok punya. Selepas filem lanjut sesi tanya jawab, lumayan bermacam macam pertanyaannya, mulai dari bagaimana mendapatkan soundtrack filemnya sampai bagaimana para aktor menjiwai peran sebagai seorang gay--pertanyaan yang dibenci oleh Paul Agusta karena tidak ada pertanyaan bagaimana menjiwai peran seorang straight. Segera disudahi moment emosional ini dengan tepuk tangan untuk Paul Agusta dan dua aktor yang juga datang.
Komang, Harrys, Rangga, dan saya lanjut makan mie godok di Jalan MT Haryono sambil membahas Parts of My Heart dan para gay yang ada di scene musik dan filem Indonesia. Sudah lewat tengah malam, kami bubar, saya nebeng Rangga sampai Janti, sekalian kembali ke Surabaya naek bis ekonomi tarif biasa : Sumber Selamat. Segera akan kembali ke Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar