Minggu, 12 Agustus 2012

hong ulun basuki langgeng



hong ulun basuki langgeng

Kamis, 2 Agustus 2012

me : udah naek kereta? ..gue tidur dulu ya..jam 7gue jemput di pasar turi (12.52 am)
milla : tintaaa aku udh nyampe di pasar turi (05.10 am)
me : yah gue baru bangun..tungguin ya (06.01 am)

Gosok gigi dan buru buru naek angkot ke Stasiun Pasar Turi, jam 7 lewat baru nyampe, melihat Milla, NyietNyiet, dan Retha sedang asjik berfoto di depan monumen kereta api dengan Blackberry masing masing. Yay, senangnya kedatangan Milla dan dua kawannya yang berasal dari Semarang yang pastinya kenal juga dengan kawan kawan yang saya kenal di Semarang. Dari barang bawaan dan kostum mereka bertiga sepertinya siap naik Gunung Bromo, destinasi kami berempat adalah perayaan Kasada di Gunung Bromo. 

Naek angkot ke kost, dan kamar saya yang kecil dan penuh barang siap menyambut 3 kawan, begitu kami berempat masuk kami pun gak bisa ngapain ngapain selain diam dan ngobrol heheh rekor banget nih 4 orang dalam kamar saya! Setelah mandi, sarapan roti coklat dan teh, lalu berjalan kaki ke c2o library, Retha terlihat bersemangat berjalan kaki sementara Milla dan NyietNyiet pasang muka datar heheh. Nyampe c2o tercinta berisitirahat sejenak, Milla melihatt lihat buku Memories of Majapahit, NyietNyiet dan Retha semangat foto foto. Tengah hari kami melanjutkan perjalanan ke House of Sampoerna (HoS) dengan angkot. 

Sudah jam 12.55 dan begitu turun dari angkot saya memimpin perjalanan ke HoS berjalan kaki cepat, Retha berada di belakang saya, Milla dan NyietNyiet ada di belakang Retha, hehe maklum jalan cepat karena mengejar Heritage Trip jam 1 siang. Kami beruntung, sudah jam 1 siang tapi bis belum berangkat (biasanya tepat waktu banget), saya dapat 4 tiket, dan tiga tamu saya tiba di HoS dengan nafas naik turun. Kami berempat buru buru masuk ke bis merah yang apik dan mengikuti tur ke Pecinan. Kami hanya berhenti di satu titik yaitu Kelenteng Coklat, menikmati meriahnya kelenteng menyambut ulang tahun Dewi Kwan Im. Milla, NyietNyiet, dan Retha cukup menyukai trip ini. Kembali ke HoS sejam kemudian, trip pendek yang sejuk karena kami berada di dalam bis ber-AC. 

Kelaparan, kami berjalan kaki nyari rujak cingur, karena bulan puasa pastinya banyak warung yang tutup, lumayan gak jauh kami nemu gerobak ibu madura yang menjual rujak cingur, pesan 4 porsi, saya tanpa cingur. Dengan perut yang tidak terlalu kenyang, kami masuk museum HoS yang memamerkan sejarah keluarga Sampoerna dan kejayaan pabrik rokoknya serta para buruh pabrik yang sedang melinting rokok kretek, ini museum paling aneh yang pernah saya kunjungi, memamerkan manusia hidup hidup. Lanjut ke galeri, masih berlangsung pameran fotografi Bol Brutu, menikmati batu batu bersejarah melalui mata mereka, menyenangkan! Berjalan kaki ke JMP, naek angkot kembali ke c2o library, matahari juga sudah lelah menemani kami berjalan jalan, ketiga kawan saya juga terlihat lelah karena kami terlindas macet di Jalan Pasar Kembang.

Tiba di c2o disambut tumpukan sepeda motor, ternyata sedang berlangsung acara buka bersama yang diselenggarakan oleh Bhinneka. Para cecunguks juga hadir : Carlos, Ari, Deasy, Andreiw, Kat, Lukman, asjik rame. Kita dapat jatah makan gratisan dari Bhineka, 3 tamu saya selepas makan malam berisitirahat di dalam alias tidur di ruang baca, wuahh liat mereka saya merasa sedikit bersalah mengajak mereka berjalan kaki. Sampai acara Bhineka bubar dan sudah jam 9 malam, NyitNyit, Milla, Retha masih terlelap, terpaksa membangunkan mereka karena c2o akan segera ditutup. Dengan atmosfer hang ala bangun tidur, kami berempat kembali berjalan kaki pulang ke kost. Karena NyietNyiet berjenis kelamin laki laki yang dilarang menginap di kost oleh pemilik kost maka NyietNyiet didaulat untuk tidak mengeluarkan suara sedikit pun jadi dia mengikatkan bandana ke mulutnya hehhehe, saya menyelundupkan NyietNyiet, dan setelah kami berempat tidur empet empet, saya dan Milla tidur di kasur, Retha dan NyieNyiet tidur di lantai beralaskan sleeping bag. Tidak lupa memasang alarm jam setengah 4 pagi. 

Jumat, 3 Agustus 2012
Saya bangun duluan karena alarm saya bunyi duluan, tidak terlalu bersemangat untuk mandi, saya mandi duluan, gantian Retha, lalu Milla, dan NyietNyiet gak pake mandi langsung berangkat, sedikit drama adalah kemunculan ibu kost di dekat kamar mandi, dengan menutupi badan NyietNyiet yang jangkung kami menyelinap keluar, huhu sepertinya ibu kost saya tahu saya menyelundupkan seorang pria. Kami berjalan kaki cepat ke Stasiun Gubeng, baru berjalan 100meter NyietNyiet berteriak tertahan : "katok ku ketinggalan". Haha karena tadi buru cabut karena kemunculan ibu kost, NyietNyiet sampe lupa make celana panjang, dia masih memakai celana pendek yang dipake tidur semalam, dengan cepat saya sendirian kembali ke kost dan mengambil celana panjang dan kembali ke rombongan berjalan cepat ke stasiun, udah mepet banget nih.

Kami tiba di Stasiun Gubeng lama tepat saat kereta api Penataran datang, beli tiket jurusan Bangil seharga 4ribu rupiah dan meluncur masuk ke gerbong, hah pagi yang mendebarkan! Dengan santai menikmati perjalanan dengan kereta api yang lenggang penumpang ditemani udara sejuk. Tiba di Bangil 90 menit kemudian, berfoto ria di depan stasiun lalu lanjut naek bis jurusan Probolinggo seharga 10ribu rupiah. Menikmati matahari yang baru bergerak naik, melewati kampung halaman mama : Pasuruan, dan 90 menit kemudian bis masuk ke terminal Banyuangga, turun bis berjalan kaki ke shelter bison/elf yang biasa ke Bromo, tapi kami mampir dulu ke warung, sarapan nasi pecel dengan harga dan rasa yang pas budget (tapi pake nawar dulu sama sang pemilik warung). Sang kernek udah menawarkan harga, ke Cemoro Lawang 25 ribu per orang, wuihh mahal banget, seinget saya dulu gak sampai 10ribu, ditawar gak bisa, lumayan gak asjik nih abangnya, beberapa turis asing berdatangan dengan tujuan yang sama dengan kami, kami menunggu penurunan harga.

Kami berbincang dengan turis lain, turis asing semua, nah gini nih saya jarang nemuin turis lokal saat bepergian dengan transportasi umum ke tempat wisata yang hebat macam Ijen dan Dieng, memang tidak ada kawan saya yang naek angkutan umum saat berpelesir. Bison baru akan berangkat jika penumpang penuh (16 orang), sekarang baru 9 orang, dan sudah jam 11 siang, kami sudah lama menunggu, gak sabar ingin sampai di Bromo. Sang supir menawarkan harga 40ribu per orang dan Bison akan berangkat tanpa menunggu penuh penumpang, kami berempat bertukar muka kecewa, harga yang tidak bisa ditawar, turis lain pun hanya bisa setuju, tidak ada pilihan lain, makin sore harga akan meninggi, kami berempat pun ikutan setuju, yah tidak ada pilihan lain, naek ojek pun akan mahal.  

Sebelum berangkat, saya pipis dulu, numpang di warung ibu yang baik hati memberikan kami harga murah untuk sepiring nasi pecel. dan kejutannya adalah saya menstruasi, huhu, Retha membelikan pembalut di warung sebelah, ok ini jadi tambahan beban saat mendaki nanti. Perjalanan menuju Cemoro Lawang tentu saja sangat menyenangkan, menikmati udara sejuk dengan bukit bukit yang berlapiskan tumbuhan, gradasi hijau yang menawan. Hanya 90 menit perjalanan, kami memasuki desa Tengger, rumah rumah berukuran kecil, kebun kebun sayur, penduduk lokal yang lalu lalang dengan memakai sarung dan kain batik sebagai penahan dingin, spanduk spanduk ucapan selamat datang ke Nyadna Kasada, rokok 234 menjadi sponsor penting ritual tahunan ini karena umbul umbul nya berjaga di tiap ruas jalan (tidak hanya Nyadna Kasada, perayaan 1 Suro di Gunung Kidul juga didukung oleh korporasi rokok, rokok sudah ambil bagian dalam berbagai festival rakyat). Para politikus juga tidak mau kalah sama rokok, ikut menyambut para tamu dengan baliho berdesain buruk--hanya menampilkan muka para calon bupati Probolinggo dengan tulisan selamat atas perayaan Kasada. 

Hati sangat senang ketika menjejakkan kaki di Cemoro Lawang, suasana ramai dengan penduduk lokal yang berlalu lalang, turis hanya terlihat sedang bersantai makan di warung. Retha berpisah dengan kami, dia akan bersama kawan kawan nya memburu moment. Peter--turis asal Polandia--bergabung dengan kami menuju Gunung Bromo. Kami para turis lokal membayar biaya masuk kawasan wisata Bromo sejumlah 6500 rupiah, Peter karena turis asing dikenakan biaya masuk 25ribu dan dia bertanya tanya kenapa ada perbedaan harga antara turis lokal dengan turis asing, pertanyaan yang sering saya terima dari kawan kawan dari negara lain yang berpelesir ke Indonesia. Kami memasuki kawasan cagar alam Bromo-Semeru, Milla, NyietNyiet, Peter, dan saya terpukau oleh pemandangan di bawah kami, hamparan lautan pasir bersama dengan beberapa gunung, sangat magis! 

Ini baru pemandangan selamat datang, saya yang sudah pernah ke Bromo menjanjikan ke kawan kawan lain bahwa kita akan menemukan pemandangan magis lainnya. Kami berjalan kaki menuju lautan pasir, ini pengalaman pertama kami berjalan kaki di lautan pasir (dulu saya naek ojek) berasa di Timur Tengah. Wuahh kegirangan menemukan tempat berjalan yang asing, kami berempat saling bertukar senyum, ini mengagumkan. Motor dan mobil jeep lalu lalang membawa masyarakat Tengger yang akan dan telah memberikan sesajen kepada roh Gunung Bromo, tidak sedikit orang Tengger yang berjalan kaki untuk memberikan sesajen ke banyak situs. Pemandangan yang sama saya temui saat saya berpelesir ke Dieng, melihat orang orang gunung, mereka berbadan tidak kurus, bermuka bulat, berhidung tidak mancung, dan rona merah di pipi yang tampak, yah mereka tinggal di gunung, pipi merah menjadi salah satu tanda. 

Each year, just after midnight on the fifteenth day of the last month of the Tengger calendar year, thousands of villagers gather in the sand flats at the base of Mt. Bromo to celebrate a religious festival called by the name of the month, Kasada. Seated side-by-side on a cement platform at the base of the volcano, the twenty-eight priests of the region invoke the spirit of the montain, and present it with the offerings of food, crops, money, and small livestock brought to the site by the people of the region. Kasada's date is fixed in tradition so as to coincide with the full moon of the last month of the Tengger calendar year. (Robert W. Hefner - Hindu Javanese : Tengger Tradition and Islam)

Tidak hanya orang Tengger yang sibuk memberikan persembahan dan memberikan rasa hormat dan mengucap syukur pada roh Gunung Bromo--Sang Hyang Widi, para "pengemis" yang juga orang Tengger juga sibuk, sibuk mengepul persembahan yang dilemparkan ke kawah dan beberapa situs. Sesajen berisi nasi/ketan, jagung kering, kue, pisang seperti sesajen di masyarakat Kejawen dan Hindu. Ini pengalaman pertama saya menikmati festival Kasada yang berlangsung 3-4 Agustus 2012, saya semangat sekali melihat orang Tengger yang dengan semangat juga memberikan persembahan kepada leluhur mereka. Peter, Milla, dan NyietNyiet mendaki menuju kawah Gunung Bromo, saya tidka ikutan karena saya sudah pernah, saya memilih mengamati keramaian di dekat pura, ada pasar disana. Pasar kaget yang juga sering saya temui di Surabaya, menjual pakaian dan makanan, para pengunjung yang kebanyakan adalah warga lokal terlihat menikmati kemeriahan ini, para pemuda lokal menjadikan lautan pasir sebagai arena offroad, anak anak berguling guling menikmati taman bermain yang super-luas, para orangtua memberikan persembahan pada leluhur.  Salah satu yang menarik dari orang Tengger menurut Robert W. Hefner :

"the descent relationship is more a social spiritual fact than it is a genealogical one"

Sejam kemudian Peter menyapa saya, dia sudah selesai menikmati kawah. BIZARRE, itu kata pertama yang diucapkannya, haha iyah bener banget melihat landscape dari atas bagaikan tidak berada di bumi. Peter pun segera pamit kembali ke Probolinggo, NyietNyiet dan Milla masih betah di pinggir kawah sampai sore akan habis. Menemukan Milla dan NyietNyiet dalam wajah wajah gembira, yah mereka sangat menikmati pemandangan di kawah, melihat orang Tengger melempar persembahan ke dalam kawah, melihat sekumpulan orang (miskin) Tengger yang dengan lihai menangkap persembahan yang nyangkut di lereng kawah, melihat landscape lautan pasir dan gunung gunung, memang BIZARRE.  

Kami menghabiskan matahari dengan berjalan kaki di lautan pasir menuju satu pohon yang berdiri sendirian, menikmati angin super-sejuk, para turis kembali ke Cemoro Lawang, wuahh rasanya ingin berlama lama disini meskipun kami tidak tahan dingin, berada di antah berantah. Matahari pun hilang berganti halimun, udara makin dingin, masing masing kami segera memakai jaket, Milla tidak membawa penutup kepala, syal, sarung tangan, saya dan NyietNyiet membawa lengkap. Kami kembali ke Cemoro Lawang, menembus halimun dan debu yang beterbangan, mendaki, Milla pun kelelahan plus kebelet boker, jadinya mukanya udah gak jelas hhehe. Kami tiba di Cemoro Lawang segera menuju warung terdekat, kami kelaparan dan kedinginan, warung Tante Tolly ramai turis, kami bertiga buru buru masuk dan memesan teh panas sambil melihat harga makanan, masih dibawah sepuluh ribu, lumayan. Kami bertiga pesan nasi campur, setelah mereguk teh panas, Milla ke WC umum. 

Nasi campur kami cukup lama datang, lapar dan lapar, memang sedang banyak pengunjung, Tante Tolly tampak sibuk. Para turis kebanyakan kaum muda, mulai dari yang berniat melihat Nyadna Kasada sampai yang hanya ingin menikmati sunrise. Nasi campur kami tiba, cukup kecewa tidak seenak harapan, tapi cukup membuat perut kami hangat. Kami tidak henti hentinya membahas keanehan kawasan wisata ini, Milla menanyakan berapa bintang yang akan saya beri untuk Bromo, saya kasih 4 bintang, 5 bintang untuk kawah Ijen--situs terindah yang pernah saya lihat dengan mata sendiri. 4 bintang plus untuk kawasan wisata Bromo karena kedasyatan pemandangan saat matahari terbit dari puncak Gunung Penanjakan dan kehidupan orang Tengger. Sudah jam 8 malam, saya berniat menghadiri resepsi Nyadna Kasada di pendopo, Milla dan NyietNyiet tidak berminat bergabung, mereka akan mencoba beristirahat dengan memakai sleeping bag di deket WC umum.

Kembali memakai pakaian lengkap, kali ini saya terbilang siap sedia menghadang dingin, malam ini mencapai 4 derajat celcius, dua syal, dua jaket, topi kupluk dan sarung tangan lumayan membuat saya bertahan. Berjalan kaki ke pendopo Ngadisari, berjalan menurun, menapaki jalan yang sepi, sepertinya masyarakat Tengger sudah berkumpul di pendopo, di tengah jalan saya dipanggil seseorang yang mengendarai jeep, diajak gabung dan sharing cost, saya menolak dengan ramah, para penumpang di dalam jeep tetap mengajak saya karena perjalanan masih jauh menuju, imbuh mereka. Saya kembali menolak karena berniat berjalan kaki ke pendopo, ditambah dengan senyuman dan ucapan terimakasih. Salah satu penumpang mengucapkan dengan hangat : hati hati yah mbak :D

Berjalan kaki malam hari, membayangkan keindahan desa Tengger dalam malam yang sunyi, berpapasan dengan penduduk lokal yang menyapa saya, mungkin memastikan bahwa saya adalah manusia heheh. Perjalanan 45 menit tidak terlalu berat karena jalanan menurun, menemukan kerumunan di sekitar pendopo, tukang obat dan tukang pentol menarik banyak pengunjung, orang Tengger berselimutkan kain batik dan sarung, para turis dan fotographer berjaketkan kulit dan jaket outdoor merek eiger, consina. Resepsi belum dimulai, ada kursi kosong yang belum diduduki oleh para tamu, sebelum duduk saya ke WC umum yang gelap gulita. Saya duduk bersama ibu ibu Tengger yang menantikan suguhan resepsi : pertunjukkan sendratari. Sekitar jam 9 malam acara dibuka dengan tarian Panen Bromo oleh anak anak Tengger, dilanjutkan kata sambutan dari ketua panitia dan bupati Probolinggo, saya baru sadar kok gak ada sambutan dari kepala desa. Ada sesi penobatan sesepuh desa oleh dukun desa, anehnya yang diberi gelar sesepuh desa adalah para pejabat yang semuanya adalah laki-laki dan istri mereka juga dinobatkan sebagai sesepuh desa, saya sih emang gak tahu apa kontribusi mereka tapi yah gak seru banget kalo sesepuh desa adalah para pejabat -_-

Acara puncak adalah sendratari Nyadnya Kasada berdasarkan kisah Roro Anteng dan Joko Seger--leluhur orang Tengger--yang memiliki 25 anak setelah mereka semedi menghadap Gunung Bromo, perjanjiannya yaitu anak ke-25 harus dikembalikan kepada roh Gunung Bromo, mereka berdua melanggar kesepakatan itu dan berusaha melarikan diri bersama anak anak mereka, namun tak terelakkan anak ke-25 yang bernama Dewa Kusuma diambil oleh sang roh Gunung Bromo. Dewa Kusuma memohon kepada keluarga yang ditinggalkan untuk setiap tahun memberikan persembahan untuk mengingat peristiwa tersebut. Para tamu undangan dan orang Tengger sangat menikmati pertunjukkan meskipun terhalang oleh pantat pantat fotographer. Resepsi berakhir jam 11 malam, ditutup dengan salam orang Tengger : "hong ulun basuki langgeng". Dalam waktu 10 menit pendopo sudah lenggang, sepertinya para pengunjung buru buru kembali ke rumah dan penginapan masing masing karena udara makin dingin. Saya pun berjalan kaki kembali ke Cemoro Lawang, yah udara makin dingin dan saya lumayan ngos ngos-an karena jalan mendaki. 

Acara selanjutnya adalah ritual persembahan di pura di lautan pasir, saya tidak ikut kesana karena ngeri pas liat kondisi lautan pasir, halimun tebal menguasai lautan pasir, rasanya seperti menceburkan diri ke lautan yang tanpa dasar jika saya ke pura. Membangunkan Milla dan NyietNyiet yang tidur di taman, mereka pasti kedinginan, saya mengajak untuk menghangatkan diri ke warung. Dengan terkaku kaku mereka berdua berusaha merapikan sleeping bag dan memakai sepatu, hahah gilak dingin banget memang. Kami bertiga dengan lega hati tiba di warung Tante Tolly, memesan teh panas dan membahas kedinginan, berdasarkan info dari BB nya NyietNyiet, saat ini Bromo mencapai suhu 0 derajat celcius, wuihh untung saya masih hidup, Milla cukup merasa kewalahan. Bahkan kami bermalas malasan ngobrol dan ketawa, Milla dan NyietNyiet membatalkan rencana mendaki Gunung Penanjakan bersama saya, karena melihat halimun tebal di lautan pasir dan suhu 0 derajat celcius, mereka akan naik ojek. Yah karena saya memang niat mendaki Gunung Penanjakan, saya membulatkan tekad untuk mendaki sendirian, minjem senter NyietNyiet untuk menembus lautan pasir. 

Jam 3 pagi saya mulai turun ke lautan pasir, jiper sih tapi ada beberapa orang Tengger dan turis yang jalan kaki ke bawah, saya pun semangat menembus halimun. ternyata pas sampai di lautan pasir tidak separah bayangan saya tapi tetep berasa di antah berantah, sorot lampu jeep dan sepeda motor memberi nuansa magis, suara sang dukun terdengar jelas sedang menuturkan kisah asal asul Tengger : Tengger adalah akronim dari Roro Anteng dan Joko Seger. Saya ingin juga ke pura tapi lebih ingin melihat sunrise dari atas Gunung Penanjakan, dasar turis gampangan hhehhe. Yah semoga tahun depan bisa mengikuti ritual Kasada yang berlangsung dari tengah malam hingga matahari terbit. Tidak menyangka saya berjalan di atas lautan pasir selama 1 jam lebih berpapasan dengan banyak orang Tengger yang telah memberikan persembahan di Gunung Penanjakan. Tidak ada turis yang berjalan kaki, hanya saya, semuanya naek jeep dan sepeda motor, saya merasa aneh, mungkinkah saya salah rute, karena saya yakin banyak turis asing (turis asing loh bukan turis lokal) yang mendaki Gunung Penanjakan, yah saya nikmati saja perjalanan BIZZARE ini. 

Tahap 1 sudah terlewati : menembus lautan pasir, saya beristirahat sejenak di kaki Gunung Penanjakan, makan 2 keping Oreo yang rasanya enak banget, minum air putih, dan membersihkan pasir yang masuk ke sepatu saya. Tahap 2 seperti makin rumit, mendaki, jalan beraspal sudah rusak sana sini, jeep dan sepeda motor dengan lihai mendaki, saya mengumpulkan oksigen dan mulai mendaki.Bulan purnama mulai pucat pagi akan segera datang sementara saya baru mulai mendaki, yah saya akan telat sampai puncak. Tidak ada sinyal handphone, saya tidak bisa mencari kabar Milla dan NyietNyiet, kami janjian bertemu di puncak gunung, tapi saya pasti terlambat datang. Ternyata pendakian memakan waktu yang cukup panjang, saya kira hanya sekitar dua jam, sudah cukup gembira sampai di puncak ternyata masih menyusuri ujung puncak, view point berada di ujung puncak, wuahhhh perjalanan masih panjang dan matahari mulai datang, tapi asjik juga sih menikmati sunrise sembari mendaki, mendapati sudut sudut yang berbeda, vegetasi yang berbeda, melihat lautan pasir yang masih tertutupi halimun, melihat Gunung Bromo dan Gunung Batok sejajar dengan mata saya, menakjubkan! 

3 jam mendaki saya baru tiba di pintu masuk puncak Penanjakan, Retha yang membonceng ojek menemukan saya, memberikan informasi bahwa NyietNyiet dan Milla ada di Penanjakan 2, wah saya baru tahu ada Penanjakan 2, hanya tahu Penanjakan yang biasanya jadi  view point. Terus mendaki menuju arah Penanjakan 2, wah memang banyak sekali view point yang memberikan pemandangan menusuk hati dan pikiran, di Penanjakan 2 tidak menemukan mereka, hanya beberapa turis asing, saya mulai penasaran, di bawah melihat Cemoro Lawang sejajar dengan puncak Gunung Penanjakan, jadi seharusnya ada jalan pendek menuju puncak Gunung Penanjakan karena posisinya sejajar, wuahh saya telah mengitari kawasan wisata ini, makanya jauh banget saya berjalan kaki. Tapi saya senang sekali, saya telah mendaki Gunung Penanjakan, menelusuri punggung puncaknya!  

Seorang tukang ojek menawari saya untuk memakai jasanya, tarif ke Cemoro Lawang 75ribu rupiah, wuihh mahal banget, ditawar tawar hanya bisa jadi 40ribu rupiah, saya pun dengan berat hati menerima, karena sudah jam 7 pagi dan minibus ke Probolinggo berangkat jam 10 pagi, jika saya berjalan kaki turun maka tidak bisa mengejar keberangkatan minibus. Sang tukang ojek mengantarkan saya ke Penanjakan 1, sudah sepi turis disana, saya puas menikmati landscape yang selebar mata memandang dari kiri ke kanan, indah banget meskipun saya sudah pernah kesini. Hanya bisa menghabiskan kesempatan saya meraup kumpulan gunung dengan komposisi yang aduhai ditambah halimun yang memberikan efek magis dalam 30 menit, sang tukang ojek menghampiri saya untuk kembali ke Cemoro Lawang.

Perjalanan pulang hanya 30 menit, berpapasan dengan banyak orang Tengger yang mendaki gunung untuk memberikan persembahan ke beberapa situs leluhur. Tiba di lautan pasir, saya heran saya bisa menelusuri punggung Gunung Penanjakan yang sangat panjang. Sampai di Cemoro Lawang, mengaktifkan handphone dan menelpon NyietNyiet, mereka sedang di Tante Tolly, saya menyusul kesana. Menemukan mereka sedang melahap sarapan, kami langsung bertukar cerita yang BIZARRE. Mereka terpaksa naek ojek dengan harga yang mahal, 50ribu untuk ke Penanjakan 2, kalao Penanjakan 1 mencapai seratus ribu lebih, ternyata ada jalan pendek ke Penanjakan 2 lewat perkampungan yang saya lihat dari atas Gunung Penanjakan, dan itu adalah rute pejalan kaki, wuahhh sedikit menyesal baru mengetahui informasi itu, dan memang tidak ada signase untuk pejalan kaki di kawasan wisata Bromo! Kami bertiga terus terusan berbagi kekaguman dan ketidakpercayaan telah menikmati keindahan alam saat berada di puncak Gunung Penanjakan. Wah setidaknya kami tahu ada rute pejalan kaki ke Penanjakan. 

Sehabis sarapan kami bertiga ke pos minibus, sudah banyak turis asing yang akan menggunakan jasa minibus ke Probolinggo, yah memang hanya sedikit turis lokal yang menggunakan transportasi umum saat berpelesir. Retha menyusul belakangan karena dia masih mencari foto di Penanjakan. Dengan harga tetap 25ribu, satu minubus dijejali 17 penumpang, saya duduk berempat dengan sang supir dan 2 penumpang lain termasuk Milla, rasa kantuk menemani sepanjang jalan. Satu setengah jam kemudian tiba di terminal Bayuangga, Probolinggo, kami bertiga naek bis jurusan Surabaya. Lumayan tidur sedikit dan tiba selamat di Bungurasih, NyietNyiet naik bis ke stasiun Pasar Turi, keretanya berangkat jam 4 sore ke Semarang, saya dan Milla naek bis, turun di halte Pandegiling dan lanjut berjalan kaki ke kost, dan Milla sudah kelelahan, saya juga. 

oming : apakah dirimu sudah tau kalau dekker, anjing kecilnya KUNCI meninggal karena diare?
me : dari kemarin subuh di luar kota tanpa sambungan internet..huhu pasti dina sangat sedih..makasih udah dikasih tau..
oming : iya.. kami di cemeti juga kaget mendengarnya.. :(

Nyampe kost, mandi dan lanjut nyari makan dan charger buat BB-nya Milla, sore sudah hilang, Milla kembali ke kost beristirahat, saya lanjut berjalan kaki ke Taman Bungkul, menghadiri undangan kawan saya Yogi yang mengadakan bazaar. Jam 7 malam lewat saya pamit kembali ke kost, betis lumayan pegal berjalan kaki, tiba di kost bergabung dengan Milla berisitirahat. Esoknya saya menghantarkan Milla ke Stasiun Gubeng, Milla kembali ke Bandung dengan menumpang Kereta Api Pasundan.  
      
foto koleksi NyietNyiet
  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar