Selasa, 10 Juli 2012

jakarta : endless exploitation

 

Senin, 18 Juni 2012

Kat mengabarkan sudah berkumpul dengan RUJAK di Bakmi GM Sarinah, saya menyusul kesana, naek KRL ekonomi dari Bogor, turun di Manggarai, oper busway ke Sarinah. Tiba di Sarinah jam 2an, sudah ada Kat, Andreiw, dan Elisa, wah di Bakmi GM sudah ada menu sayuran yang banyak, kami pesan cah sawi dan tauge, rasanya sip meskipun bakminya masih enakan langganan kami di Surabaya : Mie Manyar. Bayu menyusul datang lalu rombongan Makassar (Jimpe, Madi, Ime, Ipul) dan Semarang (Ami, Openg, Bayu, Andi) dan workshop Urban Knowledge Dynamics dimulai!

Workshop Urban Knowledge Dynamics dimulai dengan tur tol dalam kota (axis utara – selatan). Kami naek minibus, bertigabelas mengarungi jalan tol yang terbilang sepi karena kami meluncur jam 3 sore. Wihh cukup aneh sih turnya, pertama kalinya keliling tol dalam kota, Elisa dengan baik menjelaskan sejarah dan fenomena kota Jakarta seperti makin banyaknya gudang sepeda motor di Sunter dan pastinya mal, wah pas banget lah saya barusan baca bukunya Abidin Kusno dimana doi menjelaskan bahwa mal-mal telah menjadi ruang yang paling disukai oleh kelas menengah karena ruang ini bukan hanya cukup nyaman tapi juga jauh dari jalanyang penuh ancaman, sebagai dampaknya jalan-jalan tol telah menjadi jalan-jalan yang penting untuk keluar masuk mal.

Yang cukup oke adalah jalan tol Ir Wiyoto Wiyono (beberapa jalan tol dinamakan sesuai dengan nama designer atau pejabat PU) yang menggantung alias semacam fly over, jadi bisa liat cityscape Jakarta. Keluar tol, kami tiba di Kota Lama, melewati Kali Angke (Jakarta dibelah oleh Kali Ciliwung dan Kali Angke), sedikit mengenai Kali Angke, Angke dalam bahasa Hokkian berarti sungai darah, yah sungai tersebut menjadi tempat pembuangan mayat hasil pembunuhan massal masyarakat Tionghoa oleh Belanda pada tahun 1970. Selain melirik Kali Angke, Elisa menunjukkan sisa-sisa rumah mula mula masyarakat Tionghoa yaitu atap yang khas. Kami turun sejenak menjelajahi Kota Lama dan pastinya gak bisa berkunjung ke museum soalnya hari ini hari Senin. Sore ini Jakarta lumayan gak macet (sedikit heran gak macet), lanjut check-in ke Wisma PGI–tempat kami menginap sekaligus tempat workshop–di Jalan Teuku Umar 17 kawasan Menteng, berdekatan dengan rumahnya Megawati dan banyak kedubes, yah Marco sengaja memilih tempat menginap di kawasan pemukiman “elit”. Saya sekamar dengan Kat, rasanya seperti retreat (soalnya ada ornamen salib dan lagu lagu kristiani).

Kembali naek minibus, makan malam di kedai nasi uduk yang katanya terkenal di Kebon Kacang, lumayan udah lama gak makan nasi uduk ditambah sayur asin, sipp dah. Nasi uduk, tahu tempe goreng, dan sayur asin baru masuk ke lambung, Elisa langsung mengajak kami ke Ragusa di Jalan Veteran I, wah ini pertaama kalinya saya ke Ragusa, kami makan es krim dengan ditemani visual yang apik yaitu kereta api yang lewat dengan background kubah masjid Istiqal (esoknya Marco cerita kalo di depan Ragusa di era kolonial adalah taman kota, sekarang diokupasi oleh masjid dan infrastruktur transportasi), di jalan tersebut juga ada kantor Balai Pelestarian Purbakala Indonesia. Perut hampir meledak, saya yakin berat badan akan bertambah selama workshop, kami dipulangkan ke Wisma PGI, saya pun super-ngantuk, langsung terlelap. Hari ini berakhir tanpa kemacetan.

Selasa, 19 Juni 2012

Memulai hari dengan lari pagi, heheh karena saya baru pertama kali tinggal di Menteng, jadi niat banget mengenal Menteng dengan lari pagi, tujuan pagi ini adalah Taman Suropati, setelah mengecek jalan via maps pake iPad-nya Kat, saya gak bawa peta hijau Menteng, dari wisma PGI tinggal lurus aja, ok menyapa Menteng pagi pagi, lumayan ada beberapa warga yang juga lari pagi, kendaraan bermotor masih lenggang, petugas kebersihan “SOB” yang berseragam putih membersihkan daun daun yang berserakan di jalan, para security di banyak kedubes dan rumah pejabat masih berjaga dengan seragam lengkap, pedagang “minuman panas” berkeliling dengan sepeda, dan saya tiba di Taman Suropati yang asri.

Dengan semangat mengitari Taman Suropati, mengamati patung yang mengisi lapangan rumput, ada 6 patung karya 6 seniman ASEAN, menikmati pohon pohon tua, wah ini salah satu taman kota yang ideal. Esoknya Marco menginformasikan bahwa Taman Suropati adalah titik tertinggi di kawasan Menteng, hehe iyah memang menuju taman ini saya sedikit mendaki. Setelah 3 putaran dan lumayan berkeringat, mencoba track berbatu yang biasanya disukai oleh kaum manula, yang ini hanya cukup satu putaran saja, hehe sakit. Lanjut lari lari santai pulang ke wisma. Sekilas jelajah Menteng, kawasan ini adalah wajah cantik nan bersejarah di ibukota. Sampai di wisma segera mandi dan sarapan, workshop dimulai tepat waktu 08.30 karena Elisa dan Marco datang tepat waktu. Marco datang dari rumahnya yang juga di kawasan Menteng dengan menggunakan sepeda lipat, yah Marco adalah pejalan kaki dan pesepeda (doi menjadi pembina akun @JalanKaki dan @SupirTaksiJKT, Marco juga sering menggunakan taksi) dan pastinya Marco dan Elisa adalah urbanist.

Professor Abdoumaliq Simone tentang Urban Majority, Maliq memaparkan bahwa bangunan dan infrastruktur menjadi aspek penting yang membentuk dan dibentuk oleh kota. Infrastuktur transportasi (seperti jembatan layang, jalan tol, rel kereta api) telah menciptakan ruang ruang yang dimamfaatkan oleh warga kota (sebagai tempat tinggal dan berdagang) dengan cara cara yang tidak dapat diantisipasi atau dipahami oleh pembuat infrastruktur. Oh iyah Maliq memberikan materi dalam bahasa Inggris yang bagi saya adalah susah dipahami, Marco menugaskan kami untuk bergantian menerjemahkan materi yang diberikan oleh Maliq, hahah kami semua pun deg degan, harus siap untuk sewaktu waktu diminta menerjemahkan, Dian Tri Irawaty–salah satu personel RUJAK–turut bergabung dan menjadi sukarelawan untuk menjadi translator, makasih Dian.

Setelah menelan Urban Majority kami observasi ke lapangan, destinasi pertama adalah Pasar Bunga Rawa Belong, kami naik taksi kesana, turun di kantor Jakarta Post, bertemu sebentar dengan wartawan yang ingin interpiu dengan Elisa, lalu jalan kaki sekitar 1,9KM ke pasar bunga, sore sudah datang, dan kami tiba di kampung Betawi yang sudah banyak berubah. Tiba di Pasar Bunga Rawabelong lumayan sepi, ternyata ada hari hari aktifnya yaitu Kamis-Minggu, bunga bunga segar akan datang dari Lembang di hari hari tersebut dan tentunya pembeli juga berdatangan. Kami menikmati tumpukan anggrek potong (di sekitar pasar banyak warga lokal menjadi petani anggrek) dan bunga bunga sisa kemarin tapi masih segar dan cantik, sempat mengobrol dengan salah satu pedagang bunga, elisa membeli bunga kesukaannya (saya lupa namanya). Kami juga berkunjung ke sisi lain pasar yaitu yang menyediakan jasa ronte bunga melati yang biasanya dipakai untuk kawinan adat jawa.
Lanjut berjalan kaki menuju Binus–universitas swasta yang perkembangan cukup hebat selama 10 tahun terakhir. Mengamati bisnis bisnis yang muncul di sekitar kampus seperti kost-kostan, minimarket, laundry, kedai. Elisa menginfokan bahwa Binus menjadi pemicu perubahan di Rawa Belong, sudah tidak lagi menjadi kampung Betawi namun areal bisnis. Observasi selanjutnya adalah Central Park (jadi inget New York, Jakarta memang sudah berusaha banget jadi global city), kami naik taksi kesana. Melewati Mal Taman Anggrek dengan screen yang gede banget, aduh inilah pemandangan kota Jakarta. Ternyata Central Park bersebelahan dengan MTA, alamak nih dua mal saingan nyari mangsa. Central Park dibangun oleh Agung Podomoro Group, mau masuk aja harus melewati gerbang pengamanan dan pastinya diperiksa, kami turun di lobby, pastinya harus melewati mesin detektor, buset mau masuk mal aja kayak berkunjung ke penjara. Dan selamat datang di Central Park yang ramai gempita (inget mal mewah di Surabaya : Grand City yang sepi pengunjung), kami langsung menuju tengah mal yaitu ruang terbuka dimana para pengunjung dengan aman dan riang bermain bersama keluarga, ya ampun masak warga Jakarta dipaksa kayak gini, mau rekreasi aja harus di mal dengan keamanan super-ketat. Nama nama gedung di Central Park sangat New York seperti Tribeca, jadi ini yang disebut sebagai global city, menamakan tempat pemberlanjaan, perumahan, sekolah, rumah sakit dengan nama nama kota dunia, parah sekali.

Setelah observasi mal, kami makan malam di Warung Daun di Cikini, naik taksi lagi kesana. Elisa merekomendasikan restoran ini karena strategis berada di depan TIM dan memakai bahan baku organik. Elisa memesan banyak makanan yang menjadi andalan restoran ini, saya memesan strawberry juice plus yogurt dan makan nasi merah dengan tempe dan tahu, tidak lupa menghabiskan oseng oseng touge dan daun pakis. Kami berjalan kaki pulang ke wisma dengan perut kekenyangan, di pelataran parkir TIM terlihat pertunjukkan musik Betawi, atmosfer menjelang ulang tahun Jakarta.

 

Rabu, 20 Juni 2012

Bersyukur memiliki kesempatan untuk lari pagi, di Surabaya saya jarang olahraga. Pagi ini lari pagi ke Situ Lembang yaitu danau buatan yang dibangun tahun 1926, cukup dua putaran mengelilingi Situ Lembang yang terawat, lanjut lari lari kecil menelusuri Jalan Cendana–lokasi rumah mendiang Soeharto, mampir ke Stasiun Gondang Dia mengamati lalu lalang penumpang KRL. Lanjut menuju Masjid Cut Mutiah yang menempati bangunan kolonial bekas kantor pengembang yang membangun Menteng, masuk ke Jalan Cut Nyak Dien yang disambut oleh Galeri Kunstkring yang menempati bekas kantor imigrasi era kolonial, sebelumnya bangunan kolonial tersebut dipakai menjadi Buddha Bar yang mendapat banyak protes. Lanjut masuk ke Jalan Jeruk dan tiba di wisma dengan keringat yang lumayan. Bergegas mandi dan sarapan, memulai sesi pertama tepat pukul 08.30 .

Materi pertama pagi ini adalah Urban Conspiracy oleh Suryono Herlambang–dosen Tarumanegara. Sang narasumber memborbardir peserta workshop dengan analisis analisis mengenai konspirasi developer/real estate dan tata ruang perkotaan, bagaimana developer tersebut menawarkan solusi final atas masalah perkotaan yaitu superblock. Dalam superblock, kebutuhan manusia dipenuhi mulai dari kelahiran sampai kematian, ahh mengerikan, hidup dalam kubangan yang sama dan itu disebut sebagai global city! (mungkin) kebanyakan kelas atas dan kelas menengah perkotaan (mungkin) menyukai solusi tersebut, hidup mereka akan “aman”. Di Jakarta, telah dibangun beberapa superblock, yang hangat adalah Epicentrum buatan oleh Bakrie, uhhhh dan tragedi Porong tetap berlangsung! Kuliah Urban Conspiracy yang memaparkan mega-developments di Jabodetabek bikin kami gelisah karena di Surabaya, superblock juga akan segera hadir, yaitu pembangunan The Peak yang akan menjadi Tunjungan Plaza 5 bagian dari superblok Tunjungan City yang dikelola oleh Pakuwon Group, The Peak akan menjadi gedung tertinggi di Surabaya, superblock mengerikan. Materi ditutup dengan pernyataan dari gerakan Occupy Wall Street : We Are 99 Percent (wearethe99percent.tumblr.com).

Karena kemarin saya lemot banget buat nangkep materi kuliah Maliq, jadi semalam baca tulisannya Maliq mengenai Urban Revolution di http://villes-noires.tumblr.com/ yah lumayan nyambung dengan dibantu penjelasan dari Kat sebelum berhadapan lagi dengan Maliq siang ini. Setelah kami menjadi gelisah karena Urban Conspiracy, Maliq hadir memberikan materi mengenai Urban Revolution dimana proses pembangunan kota harus memberi ruang bagi orang untuk melakukan adaptasi terus menerus, Maliq memaparkan usaha kelas menengah (kebawah) untuk hidup di Jakarta yaitu dengan melakukan pekerjaan sampingan dan memamfaatkan interaksi dengan warga lainnya (keuntungan dari populasi yang heterogen).
Kami makan siang di wisma, sama seperti kemarin siang, masakan wisma lezat (dibandingkan beberapa restoran yang kami kunjungi untuk makan malam), menyajikan sayuran yang segar dan tahu yang maknyus. Kenyang makan siang, materi selanjutnya adalah penelitian sosial yang diberikan oleh Anggriani Arifin–seorang peneliti sosial. Materinya berupa metode penelitian sosial, yang semangat disini sepertinya hanya Ime karena dia sedang mengerjakan skripsi.

Selanjutnya yang sepertinya sangat menarik adalah jalan jalan sore ke Sanggar Ciliwung di Kampung Bukit Duri, kami bertigabelas naek 3 taksi, turun di Jalan Bukit Duri, kata sang supir taksi yang kami tumpangi, daerah tersebut rawan, jarang taksi yang mau lewat situ, widih. Kami masuk gang yang sudah menyajikan tumpukan rumah dan penghuni, yah ini yang sering disebut sebagai pemukiman kumuh, kumuh bagi siapa? saya rasa tidak bagi masyarakat sekitar. Kami tiba di Sanggar Ciliwung, sebuah rumah 2 lantai dengan design yang apik (belakangan saya tahu bahwa rumah ini dibuat oleh Romo Sandyawan, gak heran arsitekturnya seperti Romo Mangunwijaya), disambut oleh (mantan) Romo Sandyawan dan seorang perempuan muda namanya Ivanna. Saya dan Openk tergoda untuk menuju bantaran Kali Ciliwung, menikmati atmosfer Kali Ciliwung, wah ini pengalaman saya pertama berada di kawasan Kali Ciliwung, kali yang cukup deras dan tidak terlalu kotor dengan anak anak riang gembira berenang disana, terlihat juga WC yang mengapung di sungai dan ibu ibu mencuci baju di sungai, mereka punya ikatan yang kuat dengan sungai mungkin sama seperti masyarakat Kali Code.

Kami berdua dipanggil untuk bergabung ke dalam Sanggar Ciliwung melihat presentasi dari Romo Sandyawan dan Ivanna–volunteer di Sanggar Ciliwung– mengenai kegiatan sanggar ini. Cukup banyak yang telah mereka lakukan bersama masyarakat setempat mulai dari mural kampung, pengolahan sampah secara mandi, pembangunan kamar mandi umum, yang memang bisa merubah wajah kampung yang dikenal garang (karena disana banyak preman dan pekerja sektor informal yang dipandang setengah mata) menjadi ramah dan nyaman. Sanggar Ciliwung telah menghasilkan festival Kali Ciliwung yang menampilkan pertunjukkan musik dan teater oleh warga setempat, saya terharu melihat video yang di-sharing-kan, masyarakat yang tinggal di tanah ilegal (bantaran Kali Ciliwung) memiliki kerinduan untuk tetap bisa tinggal dan hidup di bantaran Kali Ciliwung. Saat ini mereka dihadapkan oleh kebijakan terbaru mengenai penataan Kali Ciliwung, pemerintah akan merelokasi kampung ke rusun, mungkin sama dengan PWSS (Paguyuban Warga Stren Kali Surabaya) yang tidak setuju dengan relokasi tapi mengajukan renovasi (renovasi rumah menghadap ke sungai bukan membelakangi sungai). Relokasi akan menghilangkan pekerjaan dan keahlihan warga, di kampung ini dengan keterbatasan ruang membuat warga menjadi kreatif dan mempunyai keahlihan2 baru, tercatat lebih dari 40 profesi (keahlihan) warga Kampung Duri, jika mereka tinggal di rusun maka kesempatan dan ruang yang telah diciptakan akan hilang, terkurung dalam kekakuan satu bangunan tinggi bernama rusun. Kunjungan kami ditutup dengan pertunjukkan perkusi oleh sekelompok gadis muda, wah sanggar ini sangat berfungsi sebagai ruang belajar bersama mulai dari musik, menjahit, memasak, apapun! Menyapa segerombolan anak kecil yang sudah berpakaian bersih habis mandi sore, mereka dengan semangat bercerita kepada saya mengenai buaya putih yang sering berkeliaran di Kali Ciliwung, wah dongeng lokal yang menarik!

Keluar Kampung Duri kami menuju tempat makan malam yaitu Bakmi Gondangdia dengan mencarter satu angkot, hhehe lebih seru daripada naek taksi, kami bertigabelas dalam satu angkot menuju Cikini. Marco bergabung bersama kami karena Bakmi Gondangdia adalah salah satu kedai favoritnya. Saya pesan bakmi goreng vegetarian dan liang tea yang hangat, rasanya sip! Yang lainnya juga tampak puas dengan makan malam hari ini, anak2 Makassar lanjut melancong ke Semanggi Plaza bertemu kawan mereka, anak2 Semarang berjalan kaki pulang ke wisma, kami rombongan Surabaya juga berjalan kaki bersama Marco, mengambil arah ke Stasiun Gondangdia via Jalan Cut Nyak Dien. Marco menjelaskan beberapa situs yang kami lewati, salah satunya pusat pengolahan sampah yang sekarang dijadikan lahan parkir, kami “memaksa” Marco menjadi tour guide kami, mengantar kami ke sebuah minimarket di dekat stasiun Gondangdia untuk membeli snack, lalu lanjut berjalan sambil mendengar Marco bercerita mengenai kota Jakarta. Kami berpisah dengan Marco setelah tiba di wisma.

Hampir jam 9 malam, saya akan melihat Teman Sebangku dan Bottlesmoker yang akan tampil di Pasar Festival dalam acara RadioShow, setelah menyalin google map khusus pejalan kaki dari Jalan Teuku Umar hingga Pasar Festival Kuningan, tercantum jarak 3,7KM ditempuh selama 47 menit dengan berjalan kaki, yay ternyata dekat juga ke venue! Bayu bilang bahwa google map Jakarta masih bisa diandalkan tapi kalau Surabaya belum karena masih banyak jalan yang salah. Berjalan kaki sesuai peta, melewati Jalan Madiun, melihat sejenak masjid Sunda Kelapa, masuk Jalan Halimun dan tiba di Jalan Kawi Raya dengan pemandangan gedung gedung pencakar langit, masuk Jalan Rasuna Said, berjalan kaki di trotoar dengan pemandangan baliho baliho terbaru (ada yang model balok gituh jadi ada 4 sisi balihonya) dan tiba di Plaza Festival satu jam kemudian (wah meleset dari perkiraan maps, padahal saya jalan kaki nya lumayan cepat), lah kok udah jadi plaza, tidak lagi Pasar Festival, kejutan lainnya yaitu Plaza Festival adalah bagian dari Epicentrum, aduh ini mah jadinya observasi lapangan abis kuliahnya Herlambang soal Urban Conspiracy. Setelah mengelilingi Plaza Festival yang dipenuhi dengan restoran restoran terkini, 7-11, dan Universitas Bakrie, berbeda dengan Pasar Festival yang saya kunjungi jaman SMA, dulu hanya ada stand stand makanan yang kecil. Lanjut berjalan keliling superblock ini, gelanggang olahraga masih ada, tapi juga dibangun sport club elite, berjalan kaki di trotoar dari batu andesit dengan penutup gorong gorong buatan Prancis (ya ampun di Indonesia kan juga bisa bikinnya), Bakrie Tower menjulang tinggi sendirian menjadi salah satu bentuk keangkuhan Bakrie atas tragedi Porong, sedih banget saya menyaksikan gedung dengan arsitektur yang meliuk liuk, berusaha menjadi iconic building.

Doly mengabarkan rombongan Bandung sudah bersiap siap di venue, saya meluncur kembali ke Plaza Festival, bertemu Upi yang sedang belanja di 7-11, lalu Nobie dan banyak kawannya yang berprofesi sebagai jurnalis. Menunggu pertunjukkan sambil ngobrol seru dengan beberapa kawan Nobie (yang saya lupa namanya) mengenai kota Jakarta. Jam 11 malam pertunjukkan dimulai dengan satu lagu dari Teman Sebangku, wah saya takjub dengan suara Sarita yang berat nan aduhai dan petikan gitar akustik yang nyaman oleh Doly, mereka tampil memukau. Bottlesmoker melakukan bincang bincang dengan dua presenter Radio Show (salah satunya Sandy Pas Band) mengenai batalnya Java Rocking Land, turut diundang untuk menjadi narasumber dari G Production yang barusan menggelar Joyland Festival, hehee saya belum pernah sama sekali liat Radio Show, konsep acara yang bagus tapi stasiun TV ini milik Bakrie -_-. Teman Sebangku melantunkan puji pujian dari EP perdana mereka yang saya belum beli dan membawakan “Mosi Tidak Percaya – Efek Rumah Kaca”  (setelah pertunjukkan usai, Sarita mendapatkan pesan singkat dari Cholil yang memberikan pujian atas pertunjukkan Teman Sebangku). Klimaks dari pertunjukkan ini adalah kolaborasi Teman Sebangku dengan Bottlesmoker, Yudha Nada Fiksi, Firman, dan Baya, mereka memusikalisasi puisinya Sapardi Djoko Darmono yang judulnya “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari”

Pertunjukkan berakhir jam 1 pagi dengan bahagia, cuma Angkuy yang sedikit sedih karena salah satu mainannya tidak berfungsi karena baterai habis jadi gagal menambahkan efek harpa dalam kolaborasi tadi. Saya pulang ke wisma menumpang minibus rombongan Bandung, sangat menikmati pertunjukkan kalian!  Nyampe wisma jam 3 pagi masih terjaga karena lanjut twitter-an, Mbenk menyambut tweet saya:

@anithasilvia sepertinya sedang di jkt nih?
@BranandiWMadyaK iyah lg di jkt sampai tgl 22 utk workshop urban knowledge development, aku nginep di jl teuku umar, deket cikini nih 
@ayu ketemuan, aku juga lagi di cikini
@BranandiWMadyaK ayok ketemu sekarang, bentar nyalain hp dulu, ketemu di masjid cut meutia biar oke hehe
@anithasilvia jalan teuku umar deket taman suropati kan?
@BranandiWMadyaK iyah deket taman suropati, ketemuan disana? atau dimana?
@anithasilvia taman suropati aja, aku berangkat sekarang
@BranandiWMadyaK ok aku jalan kaki ke taman suropati, ciao

yay, tidak menyangka bertemu Mbenk karena bertemu kawan di Jakarta adalah ribet maklum Jakarta luas dan macet. Kami mengobrol di Taman Suropati ditemani segerombolan anak muda yang melantunkan lagu lagu pop terkini. Mbenk sedang mempersiapkan filem untuk final test, dia sedang fokus membuat filem filem dokumenter, saya yakin Mbenk tidak akan kembali ke Surabaya jika dia telah lulus dari IKJ, yah setidaknya dia berminat untuk memberikan workshop di Surabaya bersama anak anak Kinetik. Kami berdua mencintai Surabaya, berharap Surabaya menjadi semarak dengan kegiatan kreatif. Puas berbincang kami kembali ke tempat masing masing, sampai jumpa Mbenk.

 Kamis, 21 Juni 2012

Saya bergabung dengan peserta workshop lainnya jam 7 pagi di meja makan untuk sarapan bersama, setengah jam kemudian kami berjalan kaki ke Hotel Morrissey di Jalan KH Wahid Hasyim 70, masih dalam kawasan Menteng. Ok hotel ini memang yahud, pertama kali melewati hotel ini cukup kaget dengan namanya apalagi saat itu Morrissey memang akan konser di Jakarta. Materi pertama diberikan oleh Elisa Sutanudjaja, memaparkan konsep Urban Knowledge Dynamics, menekankan pentingnya kelas menengah memproduksi pengetahuan perkotaannya dan mendistribusikannya. Materi selanjutnya oleh Ardi Yunanto–salah satu personel Ruang Rupa–yang dengan santai menjelaskan proses menulis di Karbon Jurnal. Sudah lama Karbon Jurnal menjadi referensi kami di c2o library, senang sekali bisa bertemu langsung dengan pelakunya. Tulisan tulisan dalam Karbon Jurnal mengulik fenomena sehari-hari seperti portal, odong odong, yah hal hal sederhana yang menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat urban.

Kami makan siang bersama di lantai dasar, menunya sip bener, banyak jamur. Kat kedatangan tamu dari GuBuk (Gudang Buku) namanya Yuga, sambil makan siang, Yuga sharing mengenai GuBuk yang baru dirintisnya, berlokasi di rumahnya di daerah BSD, bagaimana dia berencana resign untuk fokus mengembangkan GuBuk sebagai perpustakaan dan toko buku kecil. Yuga memberikan banyak oleh oleh mulai dari sambal buatan Sitok Simorangkir, mug dan topi dengan label GuBuk, serta pembatas buku sebagai media promosi GuBuk, wah dia sepertinya sangat bersemangat sekali. Makan siang harus berakhir cepat karena kami akan memulai sesi selanjutnya bersama Maliq.

Maliq memberikan materi Urban Endurance, Maliq berpendapat bahwa kita cenderung berpikir bahwa kelas menengah lebih tahu, lebih memiliki akses, sumber dana dan sebagainya untuk lebih mengenal kotanya, sementara penduduk miskin tidak memiliki sumber daya ataupun keinginan untuk bertualang. Tapi, menurut Maliq, seringkali kelas menengah Jakarta ia dapati tidak memahami kotanya sama sekali. Seringkali generasi tua dan muda di kampung lah yang memiliki pandangan yang luas mengenai Jakarta. Menjadi warga sebuah kota adalah harus sadar bahwa dirinya turut punya andil dalam kota, contohnya adalah kelompok pemuda dari Kampung Rawa (aduhh agak lupa nama kampungnya), mereka aktif hadir dalam pertemuan pertemuan penting dan sharing mengenai kampungnya. Salut dan terimakasih kepada Maliq yang telah memberikan pandangan dan pengetahuan yang berbeda mengenai perkotaan.

Sesi terakhir di Morrissey adalah pertemuan dengan warga Menteng, wah ini juga menarik karena selama workshop kami tidak hanya bertemu warga kelas bawah dan kelas menengah, tapi juga warga kelas atas Jakarta. Sekitar sepuluh warga Menteng yang hadir dengan ramah menjawab pertanyaan pertanyaan kami. Diawali dengan perkenalan dan kesan selama tinggal di Menteng baik oleh warga Menteng maupun kami peserta workshop yang telah tinggal di Menteng selama 4 hari. Warga Menteng kecewa dengan perkembangan Menteng saat ini yang cenderung komersil, bisa dilihat di sepanjang Jalan Cokroaminoto, tumpukan ruko, kafe, dan mal, juga beberapa rumah dijadikan markas partai politik, padahal Menteng hanya ditujukan sebagai kawasan tempat tinggal. Terlihatlah betapa lemahnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat berhadapan dengan kepentingan bisnis. Kami yang baru tinggal 4 hari di Menteng melihat Menteng menjadi bagian Jakarta yang cantik tanpa kemacetan dan nyaman karena banyak sekali pohon dengan trotoar yang apik. Satu kabar kembira adalah mereka akan menyelenggarakan festival 100 tahun Menteng, yah tahun ini adalah 100 tahun keberadaan Menteng sebagai kawasan pemukiman sejak era kolonial. Mereka juga telah membuat direktori Menteng : 1001 Menteng, kami pun dihadiahi satu buku 1001 Menteng tiap kota.

Pertemuan ditutup jam 6 sore, saya berkesempatan berkenalan langsung dengan salah satu warga Menteng yang hadir yaitu M.A. Rohadi Subardjo–SekJen United Nations Association of Indonesia, Pak Rohadi adalah anak dari Ahmad Subardjo : Menteri Luar Negeri pertama, kami bisa berkunjung ke rumahnya yang berarsitektur kolonial di Jalan Cikini Raya 80-82 (tentu saja dengan perjanjian sebelumnya). Selanjutnya evaluasi workshop bersama Elisa dan Marco. Kami para peserta workshop mendapatkan banyak pengetahuan baru untuk jadi referensi dalam membuat program di kota masing masing. Setelah itu kami makan malam di Ya Udah Bistro, cukup berjalan kaki kesana karena dekat dengan Morrissey. Saya pesan pasta basil dan juice kiwi, Elisa memesan ayam grill dan sosis andalan Ya Udah untuk para peserta workshop, Marco memesan bir dingin untuk kami, yay.

Lagi lagi kekenyangan, anak anak kota lain duluan kembali ke wisma, rombongan Surabaya kembali berjalan kaki bersama Marco, hehe kembali memaksa Marco menjadi tour guide berkeliling Menteng. Kali ini kami menuju Jalan Tanjung, ke rumah mendiang Sudjatmoko yang sekarang ditempati oleh anak perempuannya. Sudjatmoko adalah duta besar pertama RI untuk Amerika Serikat dan Rektor Universitas PBB di Tokyo. Marco cerita pengalamannya saat berjalan kaki melewati rumah Soeharto di Jalan Cendana, dia sangat kaget melihat Soeharto duduk di kursi roda di halaman rumah dengan hanya ditemani satu orang ajudan dan pagar rumah terbuka, dengan otomotis Marco menunduk memberikan hormat kepada Soeharto, yah Soeharto terbilang hidup sederhana, lihat saja rumahnya di Menteng, biasa saja, anak anak Soeharto yang hidup mewah. Marco kembali mengingatkan kami untuk tidak mengejar target satu kota secara utuh tapi menggerakkan kota kota, maksudnya adalah menggerakkan komunitas komunitas yang sudah ada, jadi ada banyak titik pergerakan. Berjalan kaki bersama Marco menjadi penutup hari yang menyenangkan.

 Jumat, 22 Juni 2012

Selamat ulang tahun Jakarta! Pagi ini saya lari pagi ke Taman Menteng, taman yang kurang disetujui oleh warga Menteng karena kebanyakan beton/bangunan, kurang pohon. Taman Menteng dulunya adalah Stadion Menteng, namun dialihfungsikan menjadi taman, dibayar dengan hilangnya bangunan bersejarah. Taman Menteng berada di pinggir Jalan Cokroaminoto, tepat di seberang 7-11, saya yakin jika malam taman ini jadi tempat nongkrong. Taman Menteng terdiri dari lapangan basket, dua bangunan transparan tempat penyelenggaraan pertemuan dan pameran, lapangan futsal indoor, jadi memang minim tanah resapan air, sejumlah warga juga lari pagi, sekelompok anak muda bermain basekt, saya hanya berkeliling dua putaran, melanjutkan lari lari santai melewati Taman Kodok yang sedang dalam pembangunan, masuk ke Jalan Imam Bonjol dan menemukan markas sebuah partai politik yang secara visual merusak pemandangan, di pagar, atas dan bawah pagar dipenuhi tumpukan spanduk partai tersebut. Menjelajahi Jalan HOS Cokroaminoto yang penuh dengan pertokoan, tepat seperti yang dikeluhkan oleh warga Menteng, kawasan ini menjadi hiruk pikuk barang konsumsi, manusia, dan polusi udara, ditambah hadirnya markas partai politik bentukan Tommy Soeharto dengan spanduk yang memamerkan muka Soeharto sebagai figur yang dirindukan oleh bangsa Indonesia, hah siapa juga yang merindukan Orde Baru!

Lanjut berlari di trotoar Jalan Sam Ratulangi, menemukan Goethe Institute dan kembali masuk ke Jalan Teuku Umar. Tiba di wisma segera mandi, teringat museum di depan wisma PGI yang tidak sempat saya kunjungi yaitu Museum Ahmad Yani–rumah Ahmad Yani yang menjadi saksi bisu peristiwa G30SPKI/GESTOK. Tidak hanya Museum Ahmad Yani yang tidak sempat saya kunjungi, sangat banyak museum di kawasan Menteng, seperti Museum Joeang 45, Mueseum Proklamasi, Museum Adam Malik, tur museum Menteng akan menjadi tujuan kunjungan ke Jakarta selanjutnya.

Tepat pukul 08.30 kami melanjutkan workshop, dimulai dengan exercise pemetaan komunitas/lembaga/individu/pemerintah yang memiliki kepentingan dan berpengaruh atas kota. kami dibagi dalam 4 kelompok yang terdiri dari 3 orang dari masing masing kota, supaya kami bertukar informasi mengenai aktor aktor di kota Surabaya, Makassar, dan Semarang. Selanjutnya exercise pemetaan di masing masing kota, saya, Kat, Andreiw, dan Bayu bergabung untuk memetakan individu/komunitas/lembaga di Surabaya lalu mengukur tingkat kepentingan dan pengaruh dalam kota. Wah kami belum pernah membuat pemetaan seperti ini, cukup membantu kami untuk melakukan langkah nyata, yaitu berusaha menggapai pihak yang berpengaruh atas kota seperti Bappeko, Walikota, para ahli tata kota, budayawan, dan media massa. Setelah itu masing masing kota presentasi pemertaan dan rencana aksi. Kelompok Semarang menyajikan rencana yang berbeda dari presentasi rencana program di hari pertama workshop, mereka akan melakukan penelitian dan advokasi atas konflik Tempat Pembuangan Akhir di Semarang. Surabaya akan mengusahakan melakukan pertemuan dengan orang orang penting dan berpengaruh, Makassar juga akan melakukan hal yang sama.

Sudah jam 1 siang, kami berempatbelas naek taksi menuju Gado Gado Boplo untuk makan siang sekaligus press conference Revolusi Perkotaan yang diselenggarakan oleh RUJAK menyambut ulang tahun kota Jakarta. Lokasi Gado Gado Boplo masih di kawasan Menteng, Jalan Gereja Theresia, tapi karena bawaan kami banyak (membawa serta tas karena setelah acara ini kami kembali ke kota masing masing) maka kami naek taksi tidak berjalan kaki. Siap menyantap gado gado Boplo yang katanya Marco menjadi makanan favoritnya Antariksa karena gado gadonya memakai kacang mente, disebut gado gado Boplo karena dekat dengan kantor Boplo–pengembang mula mula kawasan Menteng. Turut hadir Aryo Darusini–visual antropolog, wah kebetulan yang menyenangkan, dan beberapa akademisi yang tidak kami kenal, tentu saja turut hadir beberapa wartawan.

Gado Gado Boplo yang kami makan tidak sesuai harapan kami yang tinggi, rasanya biasa saja. Saya dan Kat memperkenalkan diri ke Aryo Danusiri, membahas rencana pemutaran filemnya di c2o library, dia menyambut dengan baik rencana kami dan memberikan saran untuk membuat silabus mengenai koleksi buku (dan juga filem) c2o library sehingga memudahkan pengunjung pemula untuk menikmati koleksi c2o library. Sekitar jam 2 siang, press conference dimulai dengan kata pengantar dari Marco Kusumawijaya sebagai direktur RUJAK, lalu presentasi oleh Elisa Sutanudjaja mengenai Revolusi Perkotaan :
“Revolusi perkotaan adalah revolusi atas cara diri kita sendiri memahami dan mengkonseptualisasi urban secara bersama-sama. Revolusi perkotaan hanya bisa terjadi jika ada pendekatan partisipatif dan masyarakat turut aktif berperan serta, dan tidak akan pernah terjadi jika hanya bergantung pada para Ahli.”
Workshop Urban Knowledge Dynamics resmi berakhir, rombongan Semarang naek taksi ke bandara Soekarno-Hatta, saya bersama rombongan Makassar satu taksi juga menuju Bandara, Kat, Andreiw, dan Bayu masih memperpanjang observasi mereka di ibukota. Hanya sejam perjalanan, lumayan gak macet, pesawat saya 18.30, jadi masih cukup panjang menunggu, ternyata pesawatnya tertunda satu jam, huhu akan melewatkan Obral Obrol bersama Bol Brutu di c2o library malam ini.

foto bersama Maliq oleh Ipul 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar