Sabtu, 25 Februari 2012

manic street walkers #5 mlaku-mlaku nang tunjungan



Manic Street Walkers #5

25 Februari 2012

Memanggil semua pejalan kaki Surabaya untuk berkumpul besok pagi, hari Sabtu, 25 Februari 2012, pukul 06.30 di Grahadi, kita akan eksekusi Manic Street Walkers #5 edisi "mlaku-mlaku nang Tunjungan"

saya update status dan nge-tweet ajakan untuk bergabung dengan Manic Street Walkers (MSW), sebelumnya saya sudah mengajak Kami-Arsitek-Jengki untuk berkolaborasi lagi dengan MSW. Di Facebook ada yang menduga MSW adalah semacam jalan sehat, saya tertawa dalam hati karena MSW bukanlah jalan sehat malah sering membuat kaki lecet. Pukul 06.30 saya sudah memasuki halaman Grahadi (saya sempat mengira Grahadi itu adalah gedung DPRD kota Surabaya), kru TV One dan Risma--walikota Surabaya--sudah beraktivitas disana, anak2 MSW maupun KAJ belum datang. Iman menyusul datang, dia memarkir sepeda kayuhnya di CK, kawan lainnya pun berdatangan : Kat, Ardian, Atthur, Claudia. Sudah jam 7, Rendy belum datang, seharusnya dia bersama saya menjadi narasumber untuk talkshow pagi ini. Akhirnya Atthur yang menggantikan Rendy, Rendy and the gang baru datang 15 menit kemudian. Talkshow pagi ini bersama Risma dan Wirawan--sosiolog dari Fisip Unair--mengenai fungsi ruang publik di Surabaya. Risma sudah cukup banyak membangun taman kota dan fasilitas pedestrian--salah satunya trotoar yang lebar dan nyaman, tapi sayang yang menggunakan fasilitas pedestrian sangat minim. Mengutip twit kawan kami, Idha Saraswati : "kalau ada klub pejalan kaki di surabaya, itu bukan karena walikota udah perbaiki trotoar, tapi karena mereka memang pilih jalan kaki #manic street walkers". Yah memang MSW memilih berjalan kaki bukan karena adanya fasilitas pedestrian yang memadai melainkan itu cara kami mengenal dan menikmati kota Surabaya.

Setelah talkshow, Manic Street Walkers #5 dimulai dengan foto bersama di depan Grahadi--rumah dinas gubernur jawa timur, kami mulai berjalan menuju arca Budha Joko Dolog yang dibuat sekitar abad 12. Kami melalui jembatan penyebrang dan masuk ke Jalan Taman Apsari lalu tiba di areal situs arca Joko Dolog dengan pohon beringin yang membuat suasana adem dan nyaman untuk mengamati situs. Joko Dolog adalah titisan Prabu Kertanegara dari Kerajaan Singosari, saya masih bertanya-tanya siapa itu Joko Dolog, dan Kathleen menawarkan e-book mengenai Joko Dolog, kapan-kapan saya baca deh. Setelah mengamati arca Joko Dolog kami berjalan kaki menuju Jalan Tunjungan dengan menyebrang di zebra cross tanpa lampu lintas untuk pedestrian.

Dalam perjalanan keliling Tunjungan, kami melalui trotoar yang lebar, bersih, dan nyaman, serta menemukan banyak rambu dengan pictogram pedestrian, ironisnya di Surabaya sangat minim pejalan kaki. Fandy memberikan info yang menarik mengenai zebra cross yang ada diantara trotoar di pusat kota, zebra cross yang pro-pedestrian karena dibuat rata dengan trotoar sehingga memudahkan pejalan kaki saat menyebrang, ini adalah ide dari Johan Silas. Pagi itu Jalan Tunjungan cukup sepi apalagi trotoarnya, hanya ada kami. Destinasi selanjutnya adalah Hotel Majapahit, tengah berlangsung pameran "Pusaka Nusantara" yang memamerkan keris, batik tulis, dan miniatur kapal phinisi. Yah meskipun yang dipamerkan cukup asing tapi kami menikmatinya. Kami lanjut berjalan menguasai trotoar sepanjang Jalan Tunjungan, berhenti sejenak mendengar penjelasan Rendy mengenai bangunan kolonial yang pro-pedesterian yaitu kaki bangunan yang dibuat seperti atap yang melindungi trotoar dari panas dan hujan, ada beberapa bangunan kolonial yang seperti itu di sepanjang Jalan Tunjungan, trotoar jalan ini memang bercitarasa tinggi.

Destinasi ketiga adalah Siola yang sekarang namanya Tunjungan City, Siola adalah mall sejak era kolonial, Siola juga mempunyai kaki bangunan yang pro-pedestrian, sayang gedung ini sudah mengalami banyak renovasi sehingga interior Siola sama saja seperti mall lainnya. Kami menuju lantai 2 tempat berlangsungnya pameran DKV ITS yang bertajuk 'Atlantis", nanti malam salah satu anggota KAJ: Rendy akan tampil dengan bandnya : Papa Onta sebagai salah satu performer penutupan pameran. Kami keliling mengamati karya, setelah itu lanjut berjalan menuju Jalan Genteng Kali.

Kami berhenti sejenak mengamati bangunan bergaya kolonial "Balai Sahabat Surabaya"--sebuah restoran yang sudah tidak aktif lagi, bangunan tersebut adalah bekas rumah tinggal penulis kesayangan kami: Suparto Brata. Tepat disebelahnya adalah Taman Budaya Jawa Timur, kami istirahat sejenak disana ditemani sebuah kelompok teater yang sedang latihan di pendopo. Bagus Dwi Danto menyusul datang dengan sepeda kayuh, lalu kami lanjut berjalan memasuki Kampung Genteng. Saya terkejut masuk kampung Genteng, masih banyak rumah kolonial seperti di Kampung Peneleh dan Kampung Plampitan yang sudah pernah saya sambangi. Rendy menjelaskan salah satu ciri rumah kolonial adalah pemakaian material kayu untuk menyesuaikan dengan iklim tropis. Fandi menemukan satu rumah berasitektur jengki, kemudian Rendy menjelaskan mengenai ciri khas arsitektur jengki antara lain pemakaian batu alam untuk tembok dan posisi jendela yang tidak simetris, sementara di ujung jalan 2 kawan KAJ yaitu Rizki dan Ata terlihat kelelahan karena sepatu yang mereka pakai sangat tidak cocok untuk berjalan kaki, yah 2 "korban" MSW lainnya.

Kami keluar dari Kampung Genteng melewati Pasar Genteng yang ramai dan tidak lama kami sudah kembali ke Jalan Gubernur Suryo, Manic Street Walkers #5 pun berakhir dengan melepas lelah sambil ngobrol di trotoar depan SMA Trimurti. sekali lagi kami banyak belajar di jalanan, terimakasih atas partisipasi kawan-kawan KAJ (Rendy, Fandi, Faisal, Rizki, Ata, Adit) dan para anggota Manic Street Walkers (Kathleen, Andreiw, Erlin, Ari, Ardian, Mirna, Atthur, Zaldy, Iman), sampai bertemu di perjalanan selanjutnya! Sekali lagi terimakasih buat Kami-Arsitek-Jengki.


teks oleh anithasilvia

foto oleh erlin goentoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar