Selasa, 29 November 2011

kuntowijoyo - raja, priyayi, dan kawula



judul : raja, priyayi, dan kawula : surakarta 1900-1915
penulis : kuntowijoyo
penerbit : ombak, 2004

kuntowijoyo adalah seorang sejarahwan sekaligus sastrawan, beliau adalah guru besar ilmu sejarah universitas gajah mada. semula kuntowijoyo berniat menulis buku yang komprehensif mengenai sejarah kota, “kota solo : 1900-1915” karena sebab yang tidak terhindarkan maka buku ini adalah cicilan dari rencana awal. dalam kata pengantar, kuntowijoyo menuliskan 7 alasan kenapa dia tertarik pada kota solo tahun 1900-1915. pertama, dua pemerintahan (kasunanan dan mangkunegaran) mempunyai karakteristik yang berbeda, kasunanan mementingkan simbol, mangkunegaran mementingkan ekonomi, sepertinya keduanya adalah pendahulu orde lama yang suka pada simbol dan orde baru yang mengutamakan pembangunan ekonomi. kedua, solo merupakan kota yang sangat literate dan maju, ada 4 koran jawa, 2 koran cina, 1 koran belanda, 1 majalah jawa, dan 2 majalah melayu—salah satunya “doenia bergerak” yang dipimpin oleh mas marco, dan ada gerakan kebudayaan “mardi basa”. ketiga, solo adalah tempat persemaian kebangkitan nasional, banyak tokoh yang berdomisili di solo seperti radjiman widiodipuro, tjipto mangoenkoesoemo, mas marco, dan samanhoedi. keempat, kurun 1900-1915 merupakan tahun2 penting karena adanya unities of discourse, kata “kemajuan” menjadi sihir yang menggerakkan orang jawa dan cina untuk memotong rambut/kuncir dan mengganti tahayul dengan ilmu alam. kelima, solo sudah menjadi kota multirasial, multikultural, dan pluralisme kepercayaan, dalam kesenian ada sandiwara barat, komidi stambul, sirkus, wayang orang, wiring, bioskop, pasar malam, wayang potehi, dan tayub. keenam, masyarakat solo sangat politis dan radikal, tidak heran terjadi revolusi sosial yang meruntuhkan 2 kerajaan pasca-proklamasi kemerdekaan. ketujuh adalah ikatan emosional kuntowijoyo dengan kota solo, ada semacam romantic journey ke masa lalu ketika beliau membaca arsip2, koran, dan hasil sastra mengenai solo.

saya membaca buku ini karena penasaran terhadap pakubuwana X (selanjutnya ditulis PB X) yang menjadi idola teman saya, antonio carlos. dan wow tidak hanya kejutan mengenai
kejiwaan pakubuwana X tapi kehidupan kaum priyayi dan kawula yang juga menarik.

kuntowijoyo menggunakan pendekatan sejarah kejiwaan—aplikasi psikoanalisis pada tokoh sejarah--untuk memahami kepribadian PB X, dan untuk kaum priyayi dan kawula
menggunakan pendekatan sejarah mentalitas—menulis mengenai keadaan, perilaku, dan bawah-sadar kolektif--dan secara keseluruhan tulisan ini menghasilkan sejarah sensibilitas—sejarah tentang kehidupan emosional manusia di masa lalu. dalam tulisan ini yang dimaksud dengan raja adalah PB X—raja kasunanan, priyayi adalah abdi dalem kerajaan kasunanan
dan kaum terpelajar, kawula adalah wong cilik atau rakyat jelata.

PB X lahir pada 29 november 1866, diangkat sebagai putra mahkota kasunanan sejak berusia 3 tahun dan diangkat sebagai raja surakarta adiningrat pada 30 maret 1893, meninggal
pada 20 pebruari 1939. PB X waktu masih muda bertubuh langsing dengan kumis dan bentuk bibir yang bagus, diumpamakan sebagai kresna titisan dewa wisnu. namun makin lama PB X menjadi gemuk karena banyak makan makanan enak, suka alkohol dan merokok, suka berpakaian kebesaran yang bagus, punya banyak istri dan selir (4 istri resmi, 20
selir, 63 anak), suka berpelesir keluar kota dan berdansa di societiet, hedonisme dan interkultural lekat dengan kehidupan PB X. secara politik dan hukum, PB X berada dibawah
kuasa pemerintah hindia belanda, jadi PB X sangat terbatas ruang geraknya. berdasarkan pendidikannya sebagai bangsawan PB X mempunyai emotional intelligence yang tinggi
maka dia memelihara dan mengeksploitasi simbol2 untuk kepentingan kekuasaannya. PB X memiliki IQ yang rendah, dia bodoh dalam matematika dan bahasa (PB X hanya menguasai
bahasa jawa dan melayu) tapi dia memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kesenian. PB X dicintai oleh rakyatnya karena menunjukkan nasionalisme jawa sekaligus pemberontakan
yang halus terhadap kolonial dengan mengutus orang ke ambon pada tahun 1915 untuk berziarah ke makam PB VI dan puncaknya pada perkawinan keduanya dengan puteri sultan
hamengkubuwana VII dari keraton yogyakarta yang menjadi pesta kolosal bagi seluruh keluarga raja, priyayi, dan kawula.

pada tahun 1900-1915 ada 3 jenis priyayi : priyayi yang bekerja pada raja, priyayi yang bekerja pada kerajaan, dan priyayi terpelajar. priyayi kerajaan mendirikan perkumpulan
abripraya yang bertindak sebagai ekspresi identitas sosial dan kultural dimana perilaku priyayi telah dibakukan dan mati di bawah kaki raja adalah kemuliaan yang dicari. kehidupan priyayi kerajaan lekat dengan mistisme simbolik kerajaan (meninggikan raja dalam banyak upacara, patron-client politics) dan hedonisme (alkohol dan tayub). sedangkan kaum priyayi
terpelajar mendirikan boedi utomo dimana pengetahuan dijunjung. kaum priyayi kerajaan dan priyayi terpelajar memelihara affirmative culture (budaya yang mendukung kekuasaan dan menjadi alat dominasi). struktur politik pada gilirannya membuahkan struktur sosial dimana raja berada di puncak, disusul sentana dalem (keluarga raja), kemudian abdi dalem priyayi dan yang berada di paling bawah adalah wong cilik.

kawula mempunyai jarak sosial-budaya dengan priyayi apalagi dengan raja sehingga simbol2 kekuasaan sangat lemah dalam kehidupan kawula, maka kawula mempunyai mentalitas tersendiri dan budaya tandingan. budaya tandingan muncul sebagai alternatif dari pengaruh kekuasaan dan dominasi budaya keraton yang sudah mengakar dalam dan budaya kota yang sedang tumbuh, budaya tandingan dalam bentuk kepercayaan2 aneh seperti mbok suradimeja—perempuan berusia 97 tahun tinggal di purwasari--dipercaya oleh wong cilik sebagai istri dari sunan kalijaga, menjadi pujaan wong cilik diluar keraton. juga kisah “soemoer elok” yang merupakan keinginan wong cilik yang tidak dapat dicapai dalam dunia nyata kemudian diwujudkan dalam dunia ilusi. ada satu kampung yang punya peranan penting dalam revolusi sosial yaitu kampung laweyan dimana para saudagar sebagai pusat hierarki. laweyan menjadi pusat gerakan sarekat islam (SI) yang didirikan oleh samanhoedi. gerakan SI adalah gerakan wong cilik yang menjalankan budaya kritis (budaya menolak kekuasaan dan tidak mau menjadi alat dominasi) terhadap stratifikasi sosial namun afirmatif terhadap kekuasaan sunan. mas marco menyayangkan pergantian pimpinan SI dari samanhoedi ke tjokroaminoto, sebab itu berarti perpindahan dari tangan wong cilik ke priyayi, dari populisme ke elitisme.

puncak dari hubungan antara raja dengan priyayi dan kawula nampak dalam perhelatan perkawinan PB X yang kedua pada tahun 1915, sekaligus peristiwa itu menunjukkan sikap priyayi dan kawula pada pemerintahan kolonial. boedi utomo dan SI menyambut dengan bersemangat peristiwa tersebut sebagai pertanda kesetiaan mereka terhadap nasionalisme
jawa, peristiwa ini menunjukkan sensibilitas orang surakarta pada umumnya pada tahun 1900-1915. karena PB X mengedepankan politik simbolis yang hanya memperkuat
kekuasaannya maka kerajaan surakarta runtuh saat revolusi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar