Senin, 29 Juni 2020

Berjalan-jalan di sepanjang Kali Gunungsari setelah membaca buku “Banjir di Kota Surabaya Paruh Kedua Abad ke-20”



Sarkawi B. Husain dan pemetaaan Kota Surabaya 

Februari 2020, saya bertemu muka dengan Sarkawi di Perpustakaan C2O, dosen Universitas Airlangga ini menjadi narasumber bedah buku biografi Dolorosa Sinaga. Selepas acara Sarkawi mengabarkan disertasinya tentang banjir di Surabaya akan terbit dalam waktu dekat, dan Juni ini saya memegang bukunya, diterbitkan oleh Penerbit Ombak, bertajuk “Banjir di Kota Surabaya Paruh Kedua Abad ke-20”. 

Sebagai pengantar dalam buku tersebut Sarkawi bercerita tentang pengalaman masa kecilnya menghadapi banjir di Tolitoli, kota pelabuhan di Sulawesi Tengah. Saya baru mendengar Kota ToliToli saat perjalanan menuju Palu dari Makassar dengan bus, sementara Tolitoli di Surabaya adalah sebuah toko kasur yang menempati sebuah rumah toko di Jalan Nyamplungan. 

Perkenalan pertama saya dengan Sarkawi adalah melalui karyanya “Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya, 1930-1960). Buku ini membuka mata saya lebar-lebar mengenai dekolonisasi di Surabaya melalui bangunan publik dan komersial, monumen, lambang kota, dan nama-nama jalan. Buku keluaran Penerbit Obor ini merupakan tesis yang ditulis Sarkawi dan meraih penghargaan penelitian terbaik LIPI tahun 2010. Buku ini tersedia di Perpustakaan C2O sudah sejak lama, tapi saya baru membacanya akhir tahun 2019. Hasil riset Sarkawi saya pakai habis-habisan dalam merancang pemetaan warung kopi tradisional. pasar rakyat, dan gang-gang (juga jalan) di 31 kecamatan di Surabaya.

Buku terbaru Sarkawi “Banjir di Kota Surabaya” membuat saya penasaran dengan perspektif “baru” dalam pemetaan di Kota Surabaya. Sarkawi memetakan kota pelabuhan ini berdasarkan sungai/kali, anak sungai, kanal, saluran irigrasi, telaga, dan bozem. Sarkawi juga memetakan kampung yang berada di bantaran sungai serta kebijakan pemerintah kolonial dan pemerintah kota Surabaya pasca-revolusi terkait pengendalian banjir. 

Peta-peta Kota Surabaya yang saya koleksi lebih fokus kepada jalan dan tetenger, tidak pada sungai atau kanal, termasuk peta kota tua Surabaya Pertigaan Map. Beberapa peta hanya mencantumkan Kali Mas, Kali Jagir, Kali Greges, dan Kali Surabaya. Dalam dokumen yang disusun oleh Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Surabaya tahun 2011, tercantum 25 sungai yang melintasi Kota Surabaya. Kali Jeblokan, Kali Kenjeran, Kali Pegirian, Kalibokor, Kalidami, Kali Mulyorejo, Kali Tambak Wedi, Kali Greges, Kali Mas, Kali Banyu Urip/Gunungsari, Kali Pakal/Sememi, Kali Kandangan, Kali Margomulyo, Kali Krembangan/Kali Anak, Kali Simo, Kali Kedurus, Kali Kebon Agung, Avoor (Kali) Wonorejo, Kali Medokan Ayu, Kalisumo, Kali Kepiting/Pacar Keling, Kali Perbatasan/Tambak Oso, Kali Surabaya, Kali Jagir (Sarkawi, 2020:39-40).

Sarkawi juga membawa saya mengenal banyaknya nama-nama kampung dan jalan yang berasal dari pengurukan atau reklamasi atas lahan-lahan berair atau dilewati aliran air, seperti Kedunganyar (kedung = telaga), Banyu Urip (banyu = air/sungai), Asemrowo (rowo = rawa), Gembong Sayuran (gembong = genangan), Manyar Sabrangan (sabrangan = tempat menyebrang), Tambaksegaran (segara = laut), Tambak Wedi (wedi = pasir laut/sungai), Pulo Wonokromo (pulo = delta), Kalimati (kali = sungai), Morokrembangan (moro = muara), Grogol Kalimer (meer = telaga/danau). 

Buku ini adalah sebuah harta karun setelah pengalaman pertama saya menjelajahi Kali Surabaya sebagai volunteer di Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation) pada tahun 2005-2006. Saat itu saya berkesempatan mengamati sejumlah mata air sebagai hulu Sungai Brantas di Kota Batu yang mengalir ke Surabaya melalui anak sungainya, Kali Surabaya. Sepuluh tahun kemudian saya baru menjelajahi Kali Mas dan Kali Pegirian, dua anak sungai Kali Surabaya. 

Banjir di Kota Surabaya 

Saya lahir dan besar di Jakarta, mengalami bolak-balik bencana banjir di Jakarta Selatan terutama akibat luapan Kali Pesanggrahan. Perjalanan pulang dari sekolah di Mayestik dan Bulungan di musim penghujan di Jakarta adalah cobaan yang sudah dianggap “normal” karena saya tidak punya pengetahuan tentang persoalan banjir di Kota Jakarta, tidak ada di mata pelajaran PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kebudayaan Jakarta), rumah saya pun kebanjiran.

Banjir kembali menjadi cobaan rutin setelah saya pindah ke Surabaya pada tahun 2001. Selama lebih dari sepuluh tahun tinggal di Kampung Darmawangsa (sepuluh menit berjalan kaki ke Kampus B Universitas Airlangga), banjir rutin menyapa setiap tahunnya. Jalan Darmawangsa tenggelam, air hujan yang tidak tertampung di Kalidami menjalar ke gang-gang di Kampung Gubeng Airlangga, Gubeng Klingsingan, Gubeng Jaya, Gubeng Kertajaya, Srikana, dan Darmawangsa. 

Tahun 2013 saya pindah ke Kampung Grudo di pusat kota Surabaya, menempel dengan kawasan perumahan Darmo—pemukiman pertama orang Eropa masa kolonial Belanda. Musim hujan berarti banjir di jalan-jalan kawasan Darmo, mulai dari Jalan Sambas, Jalan Indragiri, Jalan Dr Soetomo, Jalan Diponegoro, Jalan Kartini, hingga Jalan Teuku Umar. Banjir di kawasan Darmo mulai berkurang dengan perbaikan dan perawatan kanal-kanal dan drainase hingga tahun 2020 dan perbaikan tanggul Kali Gunungsari di sepanjang Jalan Kembang Kuning yang menjadi penyebab puluhan tahun banjir di Darmo. 

Banjir di Darmo terjadi sejak masa kolonial. Dalam buku ini,Sarkawi memamerkan satir-satir oleh surat kabar lokal kepada pemerintah kota, salah satunya di harian Pewarta Soerbaia tahun 1928. 

“Ada satoe nono katanya naek taxi minta pergi ke tempat pemandian. Dimaksudkan itoe tempat mandi di Tandjoeng Perak. Tetapi itoe chauffeur taxi bawa nona ka Koepang atawa Darmo, di mana ada terdapat satoe kobakan aer oedjan jang tida bisa mengalir pergi.”

Sarkawi juga menulis ulang satir dalam Harian Umum pada tahun 1955. 

“Djalan2 Kaliasin, Djambi, Tjisadane, dsb. seketika berobah keadaannya, tidak lagi merupakan djalan bagi kendaraan di daratan tetapi sebaliknja mendjadi sungai2 sesuai dengan nama-nama jang dipindjamnja. Tepat benar masanja waktu Panitiya jang diberi tugas menjusun nama djalan2 dikota Surabaja, memilih nama djalan2 tersebut.” 

Sarkawi mencatat penjebolan tanggul sungai oleh masyarakat di Kampung Pakis pada tahun 1955 menyebabkan banjir di kampung tersebut setinggi 50 sentimeter, sementara ketinggian air di Jalan Diponegoro dan Jalan Jambi setinggi 1 meter lebih, akibatnya penduduk harus mengungsi dan lalu lintas Kota Surabaya dari arah selatan tertutup sementara. 

Aksi warga lainnya yaitu pada 10 April 1966 “Team Mengatasi Daerah Banjir Darmo” dibentuk atas inisiatif Rukun Kampung di wilayah Lingkungan Darmo III. Tim ini menghimpun dan mengerahkan tenaga-tenaga dari penduduk Lingkungan Darmo III, Pramuka, Mahasiswa Universitas 17 Agustus, anggota ABRI dan Kepolisian. Tim juga dilengkapi dengan tenaga kesehatan dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya, Badan Kesehatan Ibu dan Anak, Ikatan Dokter Indonesia Wonosori Kidul. Penyediaan obat-obatan saat kerja bakti ditanggung oleh tiga apotek di Wonokromo-Ngagel dan Ngagel Jaya (Sarkawi 2020, 289-290). 

Tindakan dan usaha yang dilakukan tim ini meliputi delapan hal.
  1. Memperdalam kali irigasi Gunungsari Wonokitri
  2. Mengembalikan kali pada lebar semula (10 m)
  3. Memperbaiki dan mempertinggi tangkisnja (kanan)
  4. Melarang pembuangan sampah ke dalam kali, jang biasa menjebabkan dangkalnja kali itu 
  5. Membongkar rumah2 liar jang berdiri di dalam kali (dikerjakan oleh Team Rehabilitasi Kota)
  6. Membongkar rumah2 liar jang berdiri di atas tanah jang asalnja adalah tanah tangkis (dikerjakan oleh Team Rehabilitasi Kota)
  7. Menghapuskan (mengurangi) dan menertibkan kakus2 jang sekarang banyak berdiri di atas tangkis
  8. Menghapuskan banjak djembatan2 perorangan dan menertibkan djembatan2

Kerja bakti itu melibatkan tiga kecamatan, yakni Kecamatan Wonokromo, Sawahan, dan Tandes. Pelibatan tiga kecamatan itu karena saluran yang akan diperbaiki yang membentang dari Pintu Air Gunungsari sampai ke laut melewati daerah itu (Sarkawi, 2020:290).

Sarkawi juga mencatat banjir di kawasan lainnya. Dalam surat dari Camat Wonokromo, penyebab banjir tahun 1971 di Kecamatan Wonokromo yaitu saluran air Jalan Tales I sangat sempit, pintu air dekat waduk Bratang bocor dan belum berfungsinya Waduk Bratang, dangkalnya saluran Kalidami dan saluran Pucang Jajar dan saluran Manyar Sambongan dangkal, belum ada selokan di Jalan Ngagel Jaya Utara; saluran Gunungsari begitu dangkal dan pintu air Gunungsari tidak ditutup saat hujan (Sarkawi, 2020: 82). 

Periode 1977-2000 banjir berubah menjadi “hantu”, menjadi ancaman rutin dan merata. Banjir terjadi di 325 titik. Ketinggian air mencapai 1,5 meter. Lama genangan mencapai 72 jam. Frekuensi banjir menjadi 1-4 kali dalam setahun (Sarkawi, 2020: 292).

Loncat ke tahun 2020, banjir parah di Surabaya terjadi 28 Mei 2020 sepanjang siang hingga malam hari. Sejumlah ruas jalan tergenang, di antaranya Rungkut, Gununganyar, Ketintang, Semolowaru, Nginden. Selain karena curah hujan tinggi dengan intensitas yang cukup lama, diduga kerusakan pompa air menjadi penyebabnya. Kali Semampir meluap. Hingga malam mini genangan air di Jalan Semampir Barat masih setinggi 40 cm dan belum ada tanda-tanda surut (Surabaya dan Sidoarjo Banjir, Warga: Tak Pernah Separah Ini. 28 Mei 2020. www.kompas.com). Ada 5 penyebab banjir di Jawa Timur (termasuk Surabaya) pada 28 Mei 2020, yaitu Madden Julian Oscillation, Gelombang Equatorial Rossby, palung tekanan rendah, anomaly positif SST, dan Sirkulasi Eddy (MJO hingga Sirkulasi Eddy, Ini 5 Penyebab Banjir di Jawa Timur. 29 Mei 2020. www.kompas.com).

Banjir juga terjadi sebelumnya pada pertengahan Januari 2020 dan bisa dikendalikan dalam waktu 3 jam. Dalam artikel di Kompas.com pada tanggal 17 Januari 2020 bertajuk “Intip Strategi Pemkot Surabaya Atasi Banjir hingga Surut dalam 3 Jam”, Pemerintah Kota Surabaya memamerkan strategi mereka. 

“Surabaya memiliki 59 rumah pompa , setiap rumah pompa memiliki 5-8 pompa. Total, Pemkot Surabaya telah memiliki 204 pompa. Dua rumah pompa di kawasan Gunungsari I dan Gunungsari II memiliki 8 pompa yang dimaksimalkan untuk mengatasi banjir di kawasan Mayjen Sungkono dan Darmo Park, terendam hingga ketinggian 1 meter. Pemkot juga menyediakan 111 genset untuk rumah pompa dan 250 petugas penjaga rumah pompa. Pemkot Surabaya memfungsikan 72 alat berat untuk mengeruk saluran mulau daru tengah kota hingga ke laut. Pemkot Surabaya membentuk Satgas Pematusan yang beranggotakan 1.300 orang dan bertugas saat musim penghujan maupun musim kemarau.” 


32 titik banjir saat Surabaya diguyur hujan pada Rabu (15/1/2020): 
  1. Jalan Doho Keputran 
  2. Jalan WR. Keputran 
  3. Jalan Raya Rungkut Tengah 
  4. Jalan Zamhuri 
  5. Jalan Gunungsari Praja
  6. Jalan Villa Bukit Mas
  7. Jalan HR Muhammad
  8. Jalan Lontar
  9. Jalan Damo Indah Timur
  10. Jalan Simpang Darmo Permai Selatan 
  11. Jalan Raya Kupang Jaya 
  12. Jalan Simo Hilir Raya Utara
  13. Jalan depan Kelurahan Simomulyo
  14. Jalan depan Kelurahan Karang Poh
  15. Jalan Tandes Kidul
  16. Jalan Balongsari Tama Tengah 
  17. Jalan Sikatan AMD Manukan (60 cm)
  18. Jalan Tengger Kandangan 
  19. Jalan Raya Sememi
  20. Jalan Siwalankerto Timur
  21. Jalan Gayungan 
  22. Jalan Ketintang 
  23. Jalan Ploso
  24. Jalan Pacar Keling
  25. Jalan Sukolilo
  26. Jalan Raya Mulyorejo
  27. Jalan Mulyorejo Tengah
  28. Jalan Mulyorejo Barat
  29. Taman Galaxy
  30. Jalan Lidah Kulon 
  31. Jalan Lidah Wetan
  32. Perempatan Jalan Bangkingan 


Kota Surabaya dan banjir adalah sebuah perjalanan panjang dan terus berjalan, seperti dalam paragraf terakhir yang ditulis oleh Sarkawi dalam bukunya.

“Secara historiografis, studi ini menunjukkan pentingnya dilakukan kajian sejarah lingkungan dengan perspektif perubahan dan permasalahan lingkungan dengan fokus di perkotaan. Studi ini juga memperlihatkan bahwa pengendalian banjir yang tidak memperhatikan berbagai aspek lingkungan perkotaan lainnya, menyebabkan banjir dari waktu ke waktu menjadi ancaman rutin, merata, dan lebih merusak. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hingga 2020 ini banjir masih terus terjadi.”

Paragraf-paragraf selanjutnya dalam tulisan ini akan bercerita mengenai pengalaman saya berjalan-jalan menyusuri Kali Gunungsari dari Kampung Banyu Urip Wetan hingga Pintu Air Gunungsari. 

Kali Gunungsari 

Berjalan-jalan dalam KBBI artinya bersenang-senang dengan berjalan kaki (untuk melepaskan ketegangan otot, pikiran, dsb.), dalam bahasa Jawa disebut mlaku-mlaku. Selain melepaskan ketegangan otot dan pikiran di masa Surabaya menjadi episentrum kasus COVID-19, saya berjalan-jalan untuk mengenal kondisi geografis kota. 

Kamis, 25 Juni 2020
Setelah belanja di Pasar Pakis saya menyusuri Jalan Kembang Kuning hingga ujung utara bertemu dengan Jalan Diponegoro, mengikuti aliran Kali Gunungsari. Ujung utara Kembang Kuning adalah Pasar Burung Kupang. Hari Kamis hanya pedagang-pedagang yang sudah memiliki toko yang buka. Saat hari Minggu, pedagang burung bisa mencapai lebih dari 50 orang dengan menggunakan sepeda motor dan pikul bambu membuka lapak di jalan, bersandar di sepanjang tangkis Kali Gunungsari. Tangkis di bagian timur Kali Gunungsari baru saja dipertinggi, dibarengi dengan penggusuran bangunan di bantaran kali dan di atas kali. Tanggul dipertinggi di bagian timur karena bagian barat adalah daerah perbukitan yang didominasi kampung dan makam. Kemudian muncul ide untuk berjalan kaki besok pagi menyusuri Kali Gunungsari dari Pasar Pakis hingga Pintu Air Gunungsari. 



Jumat, 26 Juni 2020
Pukul 06.00, saya keluar dari rumah di Kampung Grudo menuju barat untuk menyusuri Kali Gunungsari. Matahari sudah terbit di timur, warnanya kuning yang bikin lapar, bagai telur mata sapi setengah matang. Masuk ke Jalan WR Supratman kemudian menyebrang ke Jalan Khairil Anwar, belok kiri ke Jalan Kembang Kuning sampai tiba di Pasar Pakis, tidak sampai 2 KM dari rumah. 

Terlihat jembatan-jembatan kecil melintasi Kali Gunungsari yang menghubungkan Kampung Kembang Kuning Makam, Kembang Kuning Kulon, Kembang Kuning Kramat, dan Pakis gang I dengan Jalan Kembang Kuning. Sejumlah pria menikmati pagi duduk di atas jembatan di muka gang Pakis I dengan pemandangan keramaian pasar yang tidak membosankan, sambil menikmati sinar matahari pagi.  

Di sisi timur Kali Gunungsari adalah Pakis Wetan gang I hingga IV yang memiliki jembatan penghubung ke Jalan Padmosusastro. Pakis Wetan gang I merupakan rute berjalan kaki banyak perempuan warga kampung Pakis Gunung menuju pasar krempyeng di Jalan Padmosusastro bagian utara. 

Dari Pasar Pakis saya masuk ke Jalan Pakis yang menanjak, melewati jembatan persis di muka Jalan Pakis gang II--rumah penjual sego jagung langganan saya di Pasar Pakis. Jembatan ini sebagai pengkolan dengan tukang becak yang mencari penumpang. Sepanjang pagi Jalan Pakis punya banyak pilihan untuk sarapan, seperti sari kedelai, sego campur, sego jagung, sego pecel, bubur ayam, dan beragam kue basah. Mereka membuka lapak dengan meja dan rombong di pinggir jalan. 

Setelah tanjakan, saya melihat ke utara dengan pemandangan pusat kota Surabaya dengan sejumlah gedung pencakar langit dan kabut. Tanjakan ini sepertinya satu-satunya titik paling tinggi dengan pemandangan pusat kota Surabaya mengingat secara general Surabaya memiliki kontur yang landai.  

Tiba di puncak bukit Wonokitri, Jalan Wonokiri Besar dengan bangunan rumah air PDAM Kota Surabaya dan kantor Radio Suara Surabaya. Saya berjalan kaki di belakang seorang pekerja konstruksi yang baru turun dari angkutan kota DA. Kami berjalan kaki ke arah yang sama, turun bukit masuk ke Jalan Wonokitri gang III, ada proyek konstruksi bangunan bertingkat di ujung selatan gang, di Jalan Mayjen Soengkono. 

Di tengah gang Wonokitri III saya kembali bertemu dengan Kali Gunungsari dengan patok-patok dari bambu untuk menahan badan sungai dari longsoran. Air sungai berwarna gelap, air tidak mengalir, banyak eceng gondok dan klorak-kangkung (tanaman yang tumbuh di tempat-tempat basah dan lembap seperti pematang sawah, bantaran sungai, dan rawa-rawa atau saluran air). Beberapa sampah mengambang berhadapan dengan punggung bangunan-bangunan rumah yang tidak selesai.  

Ujung selatan Jalan Wonokitri III adalah Jalan Mayjen Soengkono dengan fasilitas lampu lalu lintas pejalan kaki yang ramai digunakan para pekerja konstruksi lalu-lalang. Saya juga menggunakan pedestrian traffic light ini untuk menyebrang ke sisi selatan jalan, kemudian berjalan ke barat mengikuti aliran sungai masuk ke Jalan Wonokitri IV. Belok kiri di gang pertama, bertemu dengan jembatan yang menjadi tempat cangkruk warga dengan sejumlah koleksi burung dalam sangkar. Kondisi sungai di wilayah ini terbilang baik dengan minimnya sedimentasi maupun sampah.

Saya ambil jalan setapak selebar kurang dari 1 meter di timur sungai, melewati sejumlah jembatan yang menghubungkan ke rumah-rumah di bagian barat sungai. Keluar di Jalan Karangan bertemu dengan banyak sepeda motor lalu-lalang, masuk kembali ke Jalan Karangan II yang bebas kendaraan bermotor. Saya berpapasan dengan beberapa perempuan yang sibuk belanja dan ngobrol di sebuah lapak sayur di persimpangan Jalan Karangan III dengan Jalan Karangan IV, tambah ramai dengan kehadiran warung kopi dengan pelanggan bapak-bapak setempat. Masuk ke Jalan Karangan III kembali bertemu dengan Kali Gunungsari, saya menyebrang ke sisi barat sungai, berjalan di Jalan Pulosari III. Rute berjalan-jalan kali ini terbilang baru, lompat dari satu jembatan ke jembatan lainnya. 

Jalan Pulosari III terbilang lebar dibandingkan jalan-jalan lainnya di bantaran Kali Gunungsari, muat untuk dua mobil, banyak mobil parkir di sepanjang jalan ini.  Saya kembali menyebrang ke timur sungai melalui jembatan di depan Jalan Pulosari III-B, bertemu dengan Jalan Gunungsari III. Tepat di depan saya ada seorang pria tua berjalan kaki menenteng alat pancing, saya mengikutinya sampai keluar gang bertemu dengan hulu Kali Gunungsari yang menjadi tempat mancing warga. Hulu Kali Gunungsari adalah Kali Surabaya dengan pembatas Pintu Air Gunungsari. 

Akhirnya untuk pertama kali saya bertemu langsung dengan Kali Gunungsari, menyusuri sungai ini dari Kampung Kembang Kuning sampai ke Pintu Air Gunungsari. Setelah berjalan ke arah selatan hingga hulu Kali Gunungsari, saya berjalan kaki ke arah utara sungai. Masuk ke Jalan Gunungsari IV, ambil gang pertama di kanan jalan, berjalan kaki melewati beberapa rumah warga kemudian kembali ke Jalan Gunungsari III melewati jembatan. 

Kembali menyebrang jembatan ke ujung selatan Jalan Pulosari III, bertemu Pasar Krempyeng Gunungsari di muka Jalan Gunungsari gang Sekolahan. Pasar masih ramai pedagang dan pengunjung. Saya mampir ke lapak makanan jadi, terlihat menggiurkan dengan beragam pilihan. Saya memilih nasi merah, terong balado, urap daun kates dan kembang turi, ikan wader goreng, tahu bacem, dan sambal. 

Kembali berjalan ke arah utara, melewati jembatan-jembatan yang berbeda, masuk ke kampung-kampung yang sama, Kampung Gunungsari, Kampung Karangan, Kampung Wonokitri, Kampung Pakis Gunung, Kampung Pakis Wetan, berpapasan dengan warga manula berjemur di depan rumah dan anak-anak mengayuh sepeda angin di dalam gang-gang. 
Jembatan di Kampung Wonokitri 

Jalan setapak di bantaran Kali Gunungsari

Minggu, 28 Juni 2020
Satu jam selepas matahari terbit, saya berjalan kaki menuju Pasar Banyu Urip Wetan melalui Jalan Kartini, menyebrang ke Jalan Empu Tantular, bertemu sejumlah pedagang burung yang baru datang. Saya belok kiri, kemudian naik jembatan di Jalan Banyu Urip Wetan III dengan sebuah pohon peneduh dan warung kopi yang dipenuhi para pelanggan warga setempat. Terlihat di selatan jembatan, sejumlah warga gotong royong membersihkan sisa-sisa bangunan dan pohon di bantaran sungai yang baru saja digusur oleh pemerintah.  

Kampung Banyu Urip Wetan dengan nama kesayangan berupa akronim yaitu Buwet mempunyai gang-gang berliku seperti anak-anak sungai mengalir dari atas bukit dan bermuara di Kali Gunungsari. Sebuah perjalanan yang menarik dengan banyak pilihan gang untuk menuju Pasar Krempyeng Banyu Urip Wetan dan Pasar Putat Jaya. 

Pasar Krempyeng Banyu Urip Wetan berada di bagian barat bantaran Kali Gunungsari, di utara Jalan Banyu Urip Wetan I dengan penanda pintu air. Setelah pintu air, selanjutnya aliran sungai belok ke barat mengalir tepat di bawah Jalan Banyu Urip, kasat mata. Pasar berada di depan sebuah bangunan penting di Surabaya, Gedung Setan, bangunan kolonial dua lantai yang dihuni oleh lebih dari 40 keluarga. Banyak perempuan warga Buwet berjalan kaki dari rumahnya menuju pasar, moment ini mengingatkan saya bahwa berjalan kaki adalah multitude. 

Saya bergabung dengan keriuhan pasar, mondar-mandir mengamati apa-apa saja yang dijual. Saya membeli satu porsi sego jagung seharga Rp7000 berupa dua centong nasi sego jagung, setengah potong ikan tongkol balado, tiga lembar ikan asin goreng, satu dadar jagung, dua sendok makan lodeh manisa, dan sejumput urap daun papaya, tak lupa satu sendok teh sambal. 

Sebelum pulang, saya berjalan kaki ke selatan menyusuri badan sungai, masuk ke Jalan Banyu Urip Wetan IV dengan sebuah bangunan ponten umum di muka gang, tepat untuk melayani pedagang dan pengunjung Pasar Burung Kupang. Ponten umum ini memiliki signase cat merah mencolok dengan cat bangunan ponten yang berwarna hijau pastel. Kemudian saya bertemu dengan Jalan Banyu Urip Wetan V, belok kiri masuk gang Banyu Urip Wetan IV-B, berjalan kaki turun menuju sungai melalui gang Banyu Urip Wetan IV-A, melewati jembatan dan bertemu kembali dengan Pasar Burung Kupang yang mulai ramai pedagang dan pengunjung. Senyum-senyum sendiri setelah berjalan-jalan di gang-gang di Kampung Banyu Urip Wetan, labirin penuh kejutan.    
  
Pasar Krempyeng Banyu Urip Wetan diapit Kali Gunungsari dan Gedung Setan

-->

Selasa, 11 Februari 2020

Jalan Pandegiling Awal Tahun 2020

Seorang perempuan menyebrang di jalan Pandegiling 


In Surabaya, as throughout Indonesia, the day begins very early. As color creeps into the sky and streetlights fade, the streets begin to came to life. By the time the sun peeps over the over the horizon, around 5 A.M., there is already bustle in the local markets as women arrive on foot or by becak to buy daily needs of vegetables, fruit, eggs, chicken, soybean curd (tahu), and soybean cake (tempe). (Dick, 2002:19)

Dari jembatan Pandegiling, tempat manis menyaksikan matahari terbit, sejumlah perempuan bergantian keluar dari gang Kupang Segunting I, berpakaian santai membawa tas belanja, menyebrang jalan, berjalan kaki menuju pasar pagi di Pandegiling Tengah. Mereka masuk pasar melalui gang Pandegiling Stal dengan mushollah dan warung kopi (warkop) menjadi pintu. 

Surabaya, kota pelabuhan sekaligus kota terbesar kedua di Indonesia, hari dimulai sebelum pukul 06.00. Sebelum ratusan sepeda motor mencuat dari arah barat mendominasi jalan Pandegiling, sebelum polusi udara kembali datang, saya bersama sejumlah warga pria menikmati kopi panas di warkop di mulut gang informal pasar Pandegiling. Rombong kopi bercat biru dengan satu meja dan beberapa kursi panjang di trotoar, berhadapan langsung dengan pertigaan jalan Imam Bonjol dan Pandegiling dengan traffic light yang baru dipasang awal Februari 2020. Sama seperti traffic light di persimpangan lainnya di Surabaya, tidak ada fasilitas pedestrian,a car-centric culture. Perempuan-perempuan yang berjalan kaki keluar dari kampung Grudo dan Kupang Segunting merasa terancam hanya dengan menyebrang melalui zebra cross ke sisi utara jalan Pandegiling. 

Anak-anak sekolah berjalan kaki dan bersepeda kayuh menuju sekolah. Ada sejumlah sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di kampung Grudo, Kupang Segunting, dan Pandegiling. Mereka masuk sekolah pukul 07.00 dan pulang setelah pukul 12.00. Jalan Pandegiling tidak memiliki rambu kawasan sekolah, tidak ada speed-bump di area sekolah, tidak ada zebra cross di depan sekolah atau persimpangan yang dilalui oleh anak-anak.  

Saat saya makan siang di warung nasi mbak Yuyun, terlihat anak-anak sekolah menyebrang tanpa ada perlindungan dari gang Kupang Prajan III ke Tempel Sukorejo IV, sementara kendaraan bermotor terus melaju tidak mau mengalah dengan pejalan kaki. Jalan Pandegiling hanya ada rambu CCTV, dilarang parkir, dilarang berhenti, dilarang berjualan di trotoar, dilarang parkir di trotoar, dan selembar kertas pemberitahuan dari pihak kelurahan untuk tidak berjualan di sepanjang jalan Pandegiling. Kendaraan bermotor yang membahayakan bukan PKL.

Jalan Pandegiling dirancang oleh pemerintah kota Surabaya sebagai salah satu jalur utama dari Surabaya Timur ke Surabaya Barat. Pelebaran jalan di bagian timur sudah selesai dikerjakan di awal tahun 2020, dari 14 meter menjadi 20 meter dengan trotoar selebar 3 meter. Pemasangan lampu jalan, median jalan, trotoar, pohon peneduh, rambu lalu-lintas, dan CCTV dengan fitur face-recognation di sepanjang persimpangan Imam Bonjol hingga Urip Sumoharjo.

Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) sudah berdiri sebelum ada pemasangan zebra cross dan trotoar di jalan Pandegiling. JPO yang seharusnya diruntuhkan karena tidak selaras dengan zebra cross di persimpangan jalan Raya Darmo-Pandegiling, malah tahun 2019 dipercantik dengan lift mewah di kedua sisi tangga, JPO ini menghalangi fasad bangunan hotel Olympic, bangunan penting pasca-kemerdekaan. Memiliki bentuk menyerupai anjungan kapal, hotel ini dibangun tahun 1950-an sebagai salah satu upaya warga kota Surabaya untuk lepas dari pengaruh arsitektur bergaya Belanda. JPO sebagai tanda kita kembali dijajah, penjajahan oleh kendaraan bermotor, menjadikan car centric Surabaya. 

In Surabaya in 2010, construction was to begin on 13 new link roads that would cut through kampungs and market areas, five new malls were under construction, and street stall traders were being dragged away from roadsides and public parks during daily clearance operations (Peters, 2013: 15).

Jalan Pandegiling adalah salah satu jalan dengan kekuatan ekonomi yang signifikan. Memiliki empat pasar; pasar Keputran Selatan, pasar Pandegiling (pagi), pasar Pandegiling (sore), dan pasar Kupang. Masyarakat setempat banyak bergerak di sektor ekonomi informal, seperti warung nasi, warung kopi, tambal ban, toko kelontong, kedai jamu, rumah kost, penjahit, tukang becak, dan depot daur ulang plastik. Ekonomi kerakyatan tidak hanya nyata di sepanjang jalan Pandegiling, juga hadir di gang-gang kampung sekitarnya, 
alley-based informal economy.  

Jalan Pandegiling dan kampung-kampung yang bermuara di jalan tersebut didukung oleh fasilitas umum seperti puskesmas, pos pemadam kebakaran, apotek 24 jam, convenience store 24 jam, kantor polisi, masjid, gereja, dan vihara. Satu hal penting yang belum ada adalah transportasi umum. Ketiadaan transportasi massal di Surabaya adalah penyakit yang bersarang di kota ini sudah puluhan tahun. Bahkan transportasi informal pun enggan beroperasional di jalan Pandegiling, semata-mata becak. Warga terpaksa membeli sepeda motor, bagi yang tidak mampu membeli mobilitasnya dipasung.   

The inflation in transport costs restricted poor people’s movement around the city. Lacking money to pay the higher bus or bemo fares, poor Dinoyo residents lingered along the alleyways or adjacent streets; others walked or rode bicycles to get around the city, and some stakes a claim to patches of street side where the hawked, begged, busked, collected garbage or parked their becaks (Peters, 2013:119).   

Februari 2020, Pemerintah Kota Surabaya kembali “membersihkan” jalan Pandegiling dari rombong-rombong pedagang kaki lima (PKL). Pemerintah menyarankan warga untuk tidak menaruh furnitur atau barang-barang lainnya di trotoar yang baru saja dibangun. Sehari-hari warga kampung Pandegiling dan Keputran Panjunan secara natural menjadikan trotoar sebagai teras rumah dan suatu kesempatan baik untuk mendapatkan uang. 

Street vendors were now deemed to “not exist” and have no rights along the street. Surabaya’s director of administration for markets pointed this out early 2008 for the 1,200 traders along Jl. Pandegiling: “their market does not exist … there is no market building there” (Radar Surabaya, 16 January 2008). This logic of non-existence justified the pamong praja’s destruction of trader stalls (Peters, 2013:191). 

Pelebaran jalan dan urban beautification yang dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya merubah jalan Pandegiling dari tempat untuk menikmati masa, tempat untuk berlama-lama, tempat cangkruk  menjadi tempat yang hanya dilewati saja. Betapa membosankan dan mengerikan jika jalan Pandegiling tidak lagi menjadi tempat berkumpul warga, hanya sebagai jalan kendaraan bermotor.  

Street stalls, itinerant vendors and becaks were disappearing from the city and were now more commonly brought to life on canvas, being conjured from the painter’s memory or photographs (Peters, 2013:184).

Sebagai warga kampung Grudo, saya sangat dibantu oleh PKL. Saya sarapan kopi di warkop, makan siang di warung nasi mbak Yuyun, dan makan malam di rombong nasi di Keputran Panjunan V, makan dan minum di trotoar. Mereka menyediakan makanan dan minuman dengan harga terjangkau. Makan dan minum kopi di sepanjang jalan Pandegiling adalah sehari-hari warga, membuat jalan ini hidup. Bayangan menyedihkan di masa depan warga hanya bisa menyaksikan warung tenda, rombong, dan PKL di museum, dia atas kanvas, melalui foto dan film, atau di acara-acara nostalgia. 

Mobilitas warga dan ekonomi informal sepanjang jalan Pandegiling perlu didukung dengan fasilitas untuk pedestrian dan pedagang kaki lima. Trotoar yang baru selesai dibangun di awal tahun 2020 di sisi utara bagian timur jalan Pandegiling tidak bisa menampung semangat pedagang kaki lima dan mobilitas warga setempat. Trotoar hanya 2-3 meter perlu diperlebar, lajur kendaraan bermotor dikurangi, batas kecepatan kendaraan bermotor dibawah 40KM/jam, dan transportasi massal diadakan. 


REFERENSI
Basundoro, Purnawan. 2013. Merebut Ruang Kota, Aksi Rakyat Miskin kota Surabaya 1900-1960an. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Dick, H.W. 2003. Surabaya City of Work, A Socioeconomic History, 1900-2000. Singapore: NUS Press.
Peters, Robbie. 2013. Surabaya 1945-2010: Neighbourhood, State, and Economy in Indonesia’s City of Struggle. Singapore: NUS Press.  

Kawasan Pandegiling Surabaya Kini Makin Cantik. beritajatim.com. 28 Januari 2020. 10 Februari 2020.